Rabu, 25 Februari 2015

Ketidaklangsungan Ekspresi



Ketidaklangsungan Ekspresi
Dikemukakan oleh Riffaterre (1978:1) bahwa puisi itu dari dahulu hingga sekarang selalu berubah karena evolusi selera dan konsep estetik yang selalu berubah dari periode ke periode. Riffaterre berbicara dalam kaitannya dengan pemaknaan puisi, tetapi sesungguhnya dapat dikenakan jugapada prosa. Jadi, ketaklangsungan ekspresi itu merupakan konvensi sastra pada umumnya. Karya sastra itu merupakan ekspresi yang tidak langsung, yaitu menyatakan pikiran atau gagasan secara tidak langsung, dengan cara lain.
Ketidaklangsungan ekspresi itu menurut Riffaterre (1978:2) disebabkan oleh tiga hal, yaitu pertama penggantian arti (displacing of meaning), penyimpangan arti (distorting of meaning), dan penciptaan arti (creating of meaning).
a.     Penggantian arti
Penggantian arti ini menurut Riffaterre disebabkan oleh penggunaan metafora dan metonimi dalam karya sastra. Metafora dan metonimi ini dalam arti luasnya untuk menyebut bahasa kiasan pada umumnya, tidak terbatas pada bahasa kiasan metafora dan metonimi saja. Hal ini disebabkan oleh metafora dan metonimi itu merupakan bahasa kiasan yang sangat penting hingga untuk mengganti bahasa kiasan lainnya. Di samping itu, ada jenis bahasa kiasan yang lain, yaitu simile (perbandingan), personifikasi, senekdoki, perbandingan epos, dan alegori.
Metafora itu bahasa kiasan yang mengumpulkan atau mengganti sesuatu hal dengan tidak mempergunakan kata pembanding: bagai, seperti, bak, dan sebagainya. Contohnya sebagai berikut.
Bumi ini perempuan jalan (dalam sajak Subagio Satrrowardojo “Dewa Telah Mati”).
Sorga hanya permainan sebentar (Chairil Anwar “Tuti Artic”).
Aku boneka engkau boneka/penghibur dalang mengatur tembang (Amir Hamzah “Sebab Dikau”).
Contoh-contoh tersebut disebut metafora eksplisit, yang dibandingkan (tenor) dan pembandingnya (vehicle) dinyatakan. Disamping itu, ada metafora implisit, yang disebutkan hanya pembandingnya, sebagai beriku contohnya.

Di hitam matamu kembang mawar dan melati
(“Sajak Putih”, Chairil Anwar).

Serasa apa hidup yang terbaring mati
memandang musim yang mengandung luka
                                                            (Toto S. Bachtiar “Pusat”)

Dua belas ekor serigala
muncul dari masa silam
merobek0robek hatiku yang celaka.
                                                            (W.S. rendra “Kupanggili Namamu)
           
Penggantian arti disebabkan oleh metafora dan metonimi (Riffaterre 1978:2). Yang dimaksudkan dengan metafora dam metonimi adalah bahasa kiasan pada umumnya, yaitu simile (perbandingan), metafora, personifikasi, sinekdoki, dan metonimi. Misalnya, dalam sajak Subagio Sastrowardoyo berikut dipergunakan banyak metafora.
Dewa telah mati
Tak ada dewa di rawa-rawa ini
Hanya gagak yang mengakak malam hari
Dan siang terbang megitari bangkai
Pertapa yang terbunuh dekat kuil

Dewa telah mati di tepi-tepi ini
Hanya ular yang mendesirdi dekat sumber
Lalu minum dari mulut
Pelacur yang tersenyum dengan bayang sendiri

Bumi ini perempuan jalang
Yang menarik laki-laki jantan dan pertapa
Ke rawa-rawa mesum ini
Dan membunuhnya pagi ini
                             (Sastrowardoyo, 1975:9)
b.     Penyimpangan arti
Dikemukakan oleh riffaterre (1978:2) bahwa penyimpangan arti itu disebabkan oleh tiga hal, yaitu pertama oleh ambiguitas, kedua oleh kontradiksi, dan ketiga oleh nonsense.
Pertama, ambiguitas disebabkan oleh bahasa sastra itu berarti ganda (polyinterpretable), lebih-lebih bahasa puisi. Kegandaan arti itu dapat berupa kegandaan arti sebuah kata, frase, ataupun kalimat. Sebuah contoh adalah Chairil Anwar “Doa”.
Untuk jelasnya dikutip sebagian.
                        Tuhanku
Aku hilang bentuk
remuk

Tuhanku
aku mengembara di negeri asing

Tuhanku
Dipintumu mengetuk
Aku tidak bisa berpaling
“hilang bentuk” berarti ganda meskipun arti pokoknya itu ‘penderitan’, yaitu menderita, sedih dan penderitaannya tidak dapat digambarkan lagi, dan sebagainya.
“remuk” berarti hancur luluh hidupnya, dalam arti hidupnya tanpa harapan, penuh penderitaan, malang, dan sebagainya.
“mengembara dinegeri asing” berarti sangat bingung, tidak tahu arah, tidak tahu apa yang akan dikerjakan, terasing, kesunyiang, dan sebagainya.
“tidak bisa berpaling” dalam arti tidak dapat pergi lagi, tidak ada pilihan lain lagi, tak mungkin meninggalkan-Nya lagi.
            Kedua, kontradiksi berarti mengandung pertentangan, disebabkan oleh paradoks dan atau ironi. Paradoks misalnya yang berikut.
Serasa apa hidup yang terbaring mati: hidup tetapi mati, pengertian ini sangat bertentangan, berlawanan. Artinya hidup tanpa harapan, tanpa perubahan, selalu menderita.
Ironi menyatakan sesuatu hal secara kebalikan, biasanya untuk mengejek atau menyindir suatu keadaan, misalnya tampak dalam sajak Subagio Satrowardojo “Afrika Selatan”. Dalam sajak itu digambarkan bahwa orang kulit putih  yang menyebarkan ajaran Yesus Kristus yang berupa ajaran cinta kasih itu justru melakukan kebiadaban, menjalankan politik apartheid, ras diskriminasi, merampok orang kulit hitam, bahkan melakukan pembunuhan secara biadab,. Mestinya orang (bangsa) kulit putih sesuai dengan ajaran Kristen dan ajaran cinta kasihnya, tidak melakukan kebiadaban itu, melainkan harus cinta kepada sesama, tidak membeda-bedakan bangsa, dermawan, dan melakukan perbuatan yang baik sesuai  dengan ajaran tersebut.
Ketiga, nonsense adalah “kata-kata”yang secara linguistik tidak mempunyai arti sebab hanya berupa rangkaian bunyi, tidak terdapat dalam kamus. Akan tetapi dalam puisis nonsense itu mempunyai makna, yaitu arti sastra karena konvensi sastra, misalnya konvensi mantra. Nonsense itu untuk menimbulkan kekuatan gaib atau magis, untuk mempengaruhi dunia gaib. Nonsense itu banyak terdapat dalam puisi mantra atau puisis bergaya mantra, misalnya sajak Sutardji Calzoum  Bachri. Sajak bergaya mantra memang untuk berhubungan dengan dunia gaib, dunia yang bersifat  mistis, atau yang biasa disebut puisi sufistik.
Penyimpangan atau pemencongan arti
     Penyimpangan atau pemencongan arti ini disebabkan oleh
a.    Ambiguitas,
b.    Kontradiksi, dan
c.    Nonsense (Riffaterre, 1978:2)
a.    Ambiguitas disebabkan oleh penggunaan kata-kata, frase, kalimat, atau wacana yang paksa atau ambigu, yaitu mempunyai makna yang lebih dari satu (polyinterpretable), bisa ditafsirkan bermacam-macam menurut konteksnya. Misalnya, dalam sajak diatas, kata rawa-rawa, tepi-tepi bisa ditafsirkan sebagai tempat yang penuh kejahatan, kemesuman, tempat melakukan KKN dan maksiat. Pelacur: orang yang menjual harga dirinya, yaitu para penjilat, kolusi, manipulasi, korupsi, dan sebagainya.
b.    Kontradiksi disebabkan oleh penggunaan ironi, paradoks, dan antitesis. Ironi menyatakan sesuatu secara kebalikan, biasanya untuk mengejek atau memperolok. “dewa telah mati” itu ironi, disitu justru hati manusia sudah tidak percaya pada Tuhan, dewa tidak pernah mati; yang mati adalah “jiwa” manusia.
c.    Nonsense adalah “kata-kata” yang tidak mempunyai arti, yang tidak ada dalam kamus. Nonsense itu tidak mempunya arti, tetapi mempunyai arti gaib, atau juga mempunyai makna lain sesuai dengan konteks. Nonsense itu merupakan deretan bunyi tanpa arti. Nonsense ini banyak terdapat dalam mantra atau sajak bergaya mantra seperti sajak-sajak Sutardji Calzoum Bachri. Nonsense ini untuk mempengaruhi dunia gaib. Nonsense juga dapat bermakna lucu atau kebalikannya. Contoh nonsense dalam penggalan sajak Sutardji “Amuk” berikut bermakna mempengaruhi dunia gaib.
Hey kau dengar mantraku
                   Kau dengar kucing memanggilMu
                   Izukalizu
Mapakasaba                                        itasatali
                   Tutulita
Papaliko arukabazaku kodeg zuzukalibu
Tutukaliba dekodega zamzam lagutokoco
................
Kuzangga zegezegezege aahh........!
Nama kalian bebas
Carilah Tuhan semaumu
                                      (Bachri, 1981:68)
Kata yang dibalik itu tidak mempunyai arti, tetapi berdasarkan konvensi, didalam karya sastra dapat mempunyai makna, yaitu makna kebalikan dari arti kata yang dibalik. 
c.      Penciptaan arti
Seperti telah dikemukakan di depan, penciptaan arti ini merupakan konvensi kepuitisan yang berupa bentuk visual yang secara linguistik tidak mempunyai arti, tetapi menimbulkanmakna dalam sajak (karya sastra). Jadi, penciptaan arti ini merupakan organisasi teks diluar linguistik. Diantaranya adalah pembaitan, enjambement, persajakan (rima), tipografi dan homologues.
            Tipografi zigzag itu memberi sugesti bahwa perkawinan yang semula bermakna kebahagiaan itu, setelah melalui jalan yang berliku-liku, yang penuh bahaya, pada akhirnya terjadilah bencana, terjadi tragedi.
            Contoh homologues, adalah bentuk sajak pantun yang berisi baris-baris yang sejajar. Baris-baris yang sejajar baik bentuk visualnya ataupun bentuk kata-katanya, perjajaran suara itu menyebabkan timbulnya arti yang sama. Contoh pantun berikut, sampiran itu mensugestikan isinya.
            Berakit-rakit ke hulu
            Berenang-renang ke tepian
            Bersakit-sakit dahulu
            Bersenang-senang kemudian

Begitu juga bait sajak W.S. Rendra dari sajak “Ada Tilgram Tiba Senja”.
            Elang yang gugur tergeletak
            Elang yang gugur terebah
            Satu harapku pada anak
            Ingatkan pulang apabila lelah

Penciptaan arti
Penciptaan arti disebabkan oleh pengorganisasian ruang teks, diantaranya
a.    Enjambement
b.    Sajak
c.    Tipografi
d.    Homologue
Dalam teks biasa (bukan teks sastra), ruang teks itu tidak ada artinya, tetapi dalam karya sastra, khususnya sajak dapat menimbulkan makna atau menciptakan arti atau makna.
a.    Enjambement, perloncatan baris dalam sajak, membuat intersitas arti atau perhatian pada kata akhir atau “yang diloncatkan” ke baris berikutnya.
b.    Sajak menimbulkan intensitas arti dan makna liris,, pencurahan perasaan pada sajak yang berpola sajak itu.
Tuhanku, aku hilang bentuk
Remuk
                             (penggalan “Doa” Chairil Anwar)
c.     Tipografi adalah tata huruf. Tata huruf dalam teks biasanya tidak ada artinya, tetapi dalam sajak dapat menciptakan makna, misalnya tipografi dalam sajak Sutardji Calzoum Bachri yang berjudul “Tragedi Winka dan Sihka”. Huruf-huruf dari kata kawin dan kasih ditata, dipotong-potong, dan dibalik, secara keseluruhan membentuk lukisan jalan yang zigzag. Berliku-liku penuh bahaya. Tipografi ini memberikan makna jalan kehidupan yang berliku-liku penuh bahaya.
d.    Homologue adalah persejajaran bentuk atau persejajaran baris. Bentuk yang sejajar itu menimbulkan makna yang sama, misalnya tampak dala pantun berikut.
                              Berakit-rakit ke hulu
                              Berenang-renang ke tepian
                              Bersakit-sakit dahulu
                              Bersenang-senang kemudian
Sampiran pantun berhomologue dengan isinya. Kesejajaran bentuk itu menimbulkan arti yang sama.






Kerangka Teori
Semiotika, ilmu tentang tanda-tanda, mempelajari fenomena sosial-budaya, termasuk sastra sebagai sistem tanda (Preminger, 1974:980)
Tanda mempunyai dua aspek, yaitu penanda (signifier/signifiant) dan petanda (signified, signifie) (Preminger, 1974:981-1982). Penanda adalah bentuk formal tanda itu, dalam bahasa berupa satuan bunyi, atau huruf dalam sastra tulis, sedangkan petanda (signified) adalah artinya, yaitu apa yang ditandai oleh penandanya itu.
Berdasarkan hubungan antara penanda dan petandanya ada tiga jenis tanda, yaitu ikon, indeks, dan simbol.
Ikon adalah tanda penanda dan petandanya menunjukkan ada hubungan yang bersifat alamiah, yaitu penanda sama dengan petandanya, misalnya gambar, potret, atau patung. Gambar rumah(penanda) sama dengan rumah yang ditandai (petanda) atau gambar rumah menandai rumah yang sesungguhnya.
Indeks adalah tanda yang penanda dan petandanya menunjukkan adanya hubungan yang alamiah yang bersifat kausalitas, misalnya, asap menandai api, mendung menandai hujan. Kalau dilangit ada mendung petanda kalau ada hujan.
Simbol adalahpenanda dan petandanya tidak menunjukkan adanya hubungan alamiah; hubungannya arbitrer (semau-maunya) berdasarkan konvensi. Misalnya kata “ibu” (penanda) menandai “orang yang melahirkan kita”, dalam bahasa Inggris:mother, dalam bahasa Prancis la mere dan sebagainya. Sebagaian besar tanda bahasa berupa simbol. Hubungan antara penanda dan petanda bersifat konvensional, yaitu artinya ditentukan oleh konvensi.
Disamping ketiga tanda itu, ada tanda yang disebut simtom (gejala), yaitu penanda yang menunjukkan (petandannya) belum pasti, misalnya suhu panas orang sakit tidak menujukkan penyakit tertentu. Suhu panas itu hanya menunjukkan bahwa orang itu sakit tetapi apakah sakit malaria, tifus, atau influenza belum jelas sebab semua penyakit mesti diikuti suhu panas badan.

0 komentar:

Posting Komentar