Ketidaklangsungan Ekspresi
Dikemukakan oleh Riffaterre (1978:1) bahwa puisi itu
dari dahulu hingga sekarang selalu berubah karena evolusi selera dan konsep
estetik yang selalu berubah dari periode ke periode. Riffaterre berbicara dalam
kaitannya dengan pemaknaan puisi, tetapi sesungguhnya dapat dikenakan jugapada
prosa. Jadi, ketaklangsungan ekspresi itu merupakan konvensi sastra pada
umumnya. Karya sastra itu merupakan ekspresi yang tidak langsung, yaitu
menyatakan pikiran atau gagasan secara tidak langsung, dengan cara lain.
Ketidaklangsungan ekspresi itu menurut Riffaterre
(1978:2) disebabkan oleh tiga hal, yaitu pertama penggantian arti (displacing
of meaning), penyimpangan arti (distorting of meaning), dan penciptaan arti
(creating of meaning).
a.
Penggantian arti
Penggantian arti ini menurut Riffaterre disebabkan
oleh penggunaan metafora dan metonimi dalam karya sastra. Metafora dan metonimi
ini dalam arti luasnya untuk menyebut bahasa kiasan pada umumnya, tidak
terbatas pada bahasa kiasan metafora dan metonimi saja. Hal ini disebabkan oleh
metafora dan metonimi itu merupakan bahasa kiasan yang sangat penting hingga
untuk mengganti bahasa kiasan lainnya. Di samping itu, ada jenis bahasa kiasan
yang lain, yaitu simile (perbandingan), personifikasi, senekdoki, perbandingan
epos, dan alegori.
Metafora itu bahasa kiasan yang mengumpulkan atau
mengganti sesuatu hal dengan tidak mempergunakan kata pembanding: bagai,
seperti, bak, dan sebagainya. Contohnya sebagai berikut.
Bumi ini perempuan jalan (dalam sajak Subagio Satrrowardojo
“Dewa Telah Mati”).
Sorga hanya permainan sebentar (Chairil Anwar “Tuti
Artic”).
Aku boneka engkau boneka/penghibur dalang mengatur
tembang (Amir Hamzah “Sebab Dikau”).
Contoh-contoh tersebut disebut metafora eksplisit,
yang dibandingkan (tenor) dan pembandingnya (vehicle) dinyatakan. Disamping
itu, ada metafora implisit, yang disebutkan hanya pembandingnya, sebagai beriku
contohnya.
Di hitam matamu kembang mawar dan melati
(“Sajak
Putih”, Chairil Anwar).
Serasa apa hidup yang terbaring mati
memandang musim yang mengandung luka
(Toto
S. Bachtiar “Pusat”)
Dua belas ekor serigala
muncul dari masa silam
merobek0robek hatiku yang celaka.
(W.S.
rendra “Kupanggili Namamu)
Penggantian arti disebabkan oleh metafora dan
metonimi (Riffaterre 1978:2). Yang dimaksudkan dengan metafora dam metonimi
adalah bahasa kiasan pada umumnya, yaitu simile (perbandingan), metafora,
personifikasi, sinekdoki, dan metonimi. Misalnya, dalam sajak Subagio
Sastrowardoyo berikut dipergunakan banyak metafora.
Dewa
telah mati
Tak ada dewa di rawa-rawa ini
Hanya gagak yang mengakak malam hari
Dan siang terbang megitari bangkai
Pertapa yang terbunuh dekat kuil
Dewa telah mati di tepi-tepi ini
Hanya ular yang mendesirdi dekat sumber
Lalu minum dari mulut
Pelacur yang tersenyum dengan bayang sendiri
Bumi ini perempuan jalang
Yang menarik laki-laki jantan dan pertapa
Ke rawa-rawa mesum ini
Dan membunuhnya pagi ini
(Sastrowardoyo,
1975:9)
b.
Penyimpangan arti
Dikemukakan oleh riffaterre (1978:2) bahwa
penyimpangan arti itu disebabkan oleh tiga hal, yaitu pertama oleh ambiguitas,
kedua oleh kontradiksi, dan ketiga oleh nonsense.
Pertama, ambiguitas disebabkan oleh bahasa sastra itu berarti ganda
(polyinterpretable), lebih-lebih bahasa puisi. Kegandaan arti itu dapat berupa
kegandaan arti sebuah kata, frase, ataupun kalimat. Sebuah contoh adalah
Chairil Anwar “Doa”.
Untuk jelasnya dikutip sebagian.
Tuhanku
Aku hilang
bentuk
remuk
Tuhanku
aku
mengembara di negeri asing
Tuhanku
Dipintumu
mengetuk
Aku tidak bisa berpaling
“hilang bentuk” berarti ganda meskipun arti pokoknya
itu ‘penderitan’, yaitu menderita, sedih dan penderitaannya tidak dapat
digambarkan lagi, dan sebagainya.
“remuk” berarti hancur luluh hidupnya, dalam arti
hidupnya tanpa harapan, penuh penderitaan, malang, dan sebagainya.
“mengembara dinegeri asing” berarti sangat bingung,
tidak tahu arah, tidak tahu apa yang akan dikerjakan, terasing, kesunyiang, dan
sebagainya.
“tidak bisa berpaling” dalam arti tidak dapat pergi
lagi, tidak ada pilihan lain lagi, tak mungkin meninggalkan-Nya lagi.
Kedua, kontradiksi berarti
mengandung pertentangan, disebabkan oleh paradoks dan atau ironi. Paradoks
misalnya yang berikut.
Serasa apa hidup yang terbaring mati: hidup tetapi
mati, pengertian ini sangat bertentangan, berlawanan. Artinya hidup tanpa
harapan, tanpa perubahan, selalu menderita.
Ironi menyatakan sesuatu hal secara kebalikan,
biasanya untuk mengejek atau menyindir suatu keadaan, misalnya tampak dalam
sajak Subagio Satrowardojo “Afrika Selatan”. Dalam sajak itu digambarkan bahwa
orang kulit putih yang menyebarkan
ajaran Yesus Kristus yang berupa ajaran cinta kasih itu justru melakukan
kebiadaban, menjalankan politik apartheid, ras diskriminasi, merampok orang
kulit hitam, bahkan melakukan pembunuhan secara biadab,. Mestinya orang
(bangsa) kulit putih sesuai dengan ajaran Kristen dan ajaran cinta kasihnya,
tidak melakukan kebiadaban itu, melainkan harus cinta kepada sesama, tidak
membeda-bedakan bangsa, dermawan, dan melakukan perbuatan yang baik sesuai dengan ajaran tersebut.
Ketiga, nonsense adalah “kata-kata”yang secara linguistik tidak mempunyai arti
sebab hanya berupa rangkaian bunyi, tidak terdapat dalam kamus. Akan tetapi
dalam puisis nonsense itu mempunyai makna, yaitu arti sastra karena konvensi
sastra, misalnya konvensi mantra. Nonsense itu untuk menimbulkan kekuatan gaib
atau magis, untuk mempengaruhi dunia gaib. Nonsense itu banyak terdapat dalam
puisi mantra atau puisis bergaya mantra, misalnya sajak Sutardji Calzoum Bachri. Sajak bergaya mantra memang untuk
berhubungan dengan dunia gaib, dunia yang bersifat mistis, atau yang biasa disebut puisi
sufistik.
Penyimpangan atau pemencongan arti
Penyimpangan
atau pemencongan arti ini disebabkan oleh
a.
Ambiguitas,
b.
Kontradiksi, dan
c.
Nonsense (Riffaterre, 1978:2)
a.
Ambiguitas disebabkan oleh penggunaan kata-kata, frase, kalimat,
atau wacana yang paksa atau ambigu, yaitu mempunyai makna yang lebih dari satu
(polyinterpretable), bisa ditafsirkan bermacam-macam menurut konteksnya.
Misalnya, dalam sajak diatas, kata rawa-rawa, tepi-tepi bisa ditafsirkan
sebagai tempat yang penuh kejahatan, kemesuman, tempat melakukan KKN dan
maksiat. Pelacur: orang yang menjual harga dirinya, yaitu para penjilat,
kolusi, manipulasi, korupsi, dan sebagainya.
b.
Kontradiksi disebabkan oleh penggunaan ironi, paradoks, dan
antitesis. Ironi menyatakan sesuatu secara kebalikan, biasanya untuk mengejek
atau memperolok. “dewa telah mati” itu ironi, disitu justru hati manusia sudah
tidak percaya pada Tuhan, dewa tidak pernah mati; yang mati adalah “jiwa”
manusia.
c.
Nonsense adalah “kata-kata” yang tidak mempunyai arti, yang tidak
ada dalam kamus. Nonsense itu tidak mempunya arti, tetapi mempunyai arti gaib,
atau juga mempunyai makna lain sesuai dengan konteks. Nonsense itu merupakan
deretan bunyi tanpa arti. Nonsense ini banyak terdapat dalam mantra atau sajak
bergaya mantra seperti sajak-sajak Sutardji Calzoum Bachri. Nonsense ini untuk
mempengaruhi dunia gaib. Nonsense juga dapat bermakna lucu atau kebalikannya.
Contoh nonsense dalam penggalan sajak Sutardji “Amuk” berikut bermakna
mempengaruhi dunia gaib.
Hey kau
dengar mantraku
Kau dengar kucing memanggilMu
Izukalizu
Mapakasaba itasatali
Tutulita
Papaliko
arukabazaku kodeg zuzukalibu
Tutukaliba
dekodega zamzam lagutokoco
................
Kuzangga
zegezegezege aahh........!
Nama
kalian bebas
Carilah
Tuhan semaumu
(Bachri,
1981:68)
Kata yang dibalik itu tidak mempunyai arti,
tetapi berdasarkan konvensi, didalam karya sastra dapat mempunyai makna, yaitu
makna kebalikan dari arti kata yang dibalik.
c.
Penciptaan arti
Seperti telah dikemukakan di depan, penciptaan arti
ini merupakan konvensi kepuitisan yang berupa bentuk visual yang secara
linguistik tidak mempunyai arti, tetapi menimbulkanmakna dalam sajak (karya
sastra). Jadi, penciptaan arti ini merupakan organisasi teks diluar linguistik.
Diantaranya adalah pembaitan, enjambement, persajakan (rima), tipografi dan
homologues.
Tipografi zigzag itu
memberi sugesti bahwa perkawinan yang semula bermakna kebahagiaan itu, setelah
melalui jalan yang berliku-liku, yang penuh bahaya, pada akhirnya terjadilah
bencana, terjadi tragedi.
Contoh homologues,
adalah bentuk sajak pantun yang berisi baris-baris yang sejajar. Baris-baris
yang sejajar baik bentuk visualnya ataupun bentuk kata-katanya, perjajaran
suara itu menyebabkan timbulnya arti yang sama. Contoh pantun berikut, sampiran
itu mensugestikan isinya.
Berakit-rakit ke hulu
Berenang-renang ke
tepian
Bersakit-sakit dahulu
Bersenang-senang
kemudian
Begitu juga bait sajak W.S. Rendra dari sajak “Ada Tilgram Tiba Senja”.
Elang yang gugur
tergeletak
Elang yang gugur terebah
Satu harapku pada anak
Ingatkan pulang apabila
lelah
Penciptaan arti
Penciptaan arti disebabkan oleh
pengorganisasian ruang teks, diantaranya
a.
Enjambement
b.
Sajak
c.
Tipografi
d. Homologue
Dalam teks biasa (bukan teks sastra), ruang
teks itu tidak ada artinya, tetapi dalam karya sastra, khususnya sajak dapat
menimbulkan makna atau menciptakan arti atau makna.
a.
Enjambement, perloncatan baris dalam sajak, membuat intersitas arti
atau perhatian pada kata akhir atau “yang diloncatkan” ke baris berikutnya.
b.
Sajak menimbulkan intensitas arti dan makna liris,, pencurahan
perasaan pada sajak yang berpola sajak itu.
Tuhanku,
aku hilang bentuk
Remuk
(penggalan “Doa”
Chairil Anwar)
c.
Tipografi adalah tata huruf.
Tata huruf dalam teks biasanya tidak ada artinya, tetapi dalam sajak dapat
menciptakan makna, misalnya tipografi dalam sajak Sutardji Calzoum Bachri yang
berjudul “Tragedi Winka dan Sihka”. Huruf-huruf dari kata kawin dan kasih
ditata, dipotong-potong, dan dibalik, secara keseluruhan membentuk lukisan
jalan yang zigzag. Berliku-liku penuh bahaya. Tipografi ini memberikan makna
jalan kehidupan yang berliku-liku penuh bahaya.
d.
Homologue adalah persejajaran bentuk atau persejajaran baris. Bentuk
yang sejajar itu menimbulkan makna yang sama, misalnya tampak dala pantun
berikut.
Berakit-rakit ke hulu
Berenang-renang
ke tepian
Bersakit-sakit
dahulu
Bersenang-senang
kemudian
Sampiran pantun berhomologue dengan isinya.
Kesejajaran bentuk itu menimbulkan arti yang sama.
Kerangka
Teori
Semiotika, ilmu tentang tanda-tanda, mempelajari fenomena sosial-budaya,
termasuk sastra sebagai sistem tanda (Preminger, 1974:980)
Tanda mempunyai dua aspek, yaitu penanda (signifier/signifiant) dan
petanda (signified, signifie) (Preminger, 1974:981-1982). Penanda adalah bentuk
formal tanda itu, dalam bahasa berupa satuan bunyi, atau huruf dalam sastra
tulis, sedangkan petanda (signified) adalah artinya, yaitu apa yang ditandai
oleh penandanya itu.
Berdasarkan hubungan antara penanda dan petandanya ada tiga jenis tanda,
yaitu ikon, indeks, dan simbol.
Ikon adalah tanda penanda dan petandanya menunjukkan ada hubungan yang
bersifat alamiah, yaitu penanda sama dengan petandanya, misalnya gambar, potret,
atau patung. Gambar rumah(penanda) sama dengan rumah yang ditandai (petanda)
atau gambar rumah menandai rumah yang sesungguhnya.
Indeks adalah tanda yang penanda dan petandanya menunjukkan adanya
hubungan yang alamiah yang bersifat kausalitas, misalnya, asap menandai api,
mendung menandai hujan. Kalau dilangit ada mendung petanda kalau ada hujan.
Simbol adalahpenanda dan petandanya tidak menunjukkan adanya hubungan
alamiah; hubungannya arbitrer (semau-maunya) berdasarkan konvensi. Misalnya
kata “ibu” (penanda) menandai “orang yang melahirkan kita”, dalam bahasa
Inggris:mother, dalam bahasa Prancis la mere dan sebagainya. Sebagaian besar
tanda bahasa berupa simbol. Hubungan antara penanda dan petanda bersifat
konvensional, yaitu artinya ditentukan oleh konvensi.
Disamping ketiga tanda itu, ada tanda yang disebut simtom (gejala), yaitu
penanda yang menunjukkan (petandannya) belum pasti, misalnya suhu panas orang
sakit tidak menujukkan penyakit tertentu. Suhu panas itu hanya menunjukkan
bahwa orang itu sakit tetapi apakah sakit malaria, tifus, atau influenza belum
jelas sebab semua penyakit mesti diikuti suhu panas badan.
0 komentar:
Posting Komentar