Sabtu, 03 Oktober 2015

Makalah "Hasil-hasil Budaya Sulawesi Selatan"

BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar belakang
Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi.  Budaya terbentuk dari banyak unsur yang rumit,termasuk sistem agama dan politik, adat, istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan karya seni. Bahasa, sebagaimana juga budaya, merupakan bagian tak terpisahkan dari diri manusia sehingga banyak orang cenderung menganggapnya diwariskan secara genetis. Ketika seseorang berusaha berkomunikasi dengan orang-orang yang berbeda budaya dan menyesuaikan perbedaan-perbedaannya, membuktikan bahwa budaya itu dipelajari.
Budaya adalah suatu pola hidup menyeluruh. budaya bersifat kompleks, abstrak, dan luas. Banyak aspek budaya turut menentukan perilaku komunikatif. Unsur-unsur sosio-budaya ini tersebar dan meliputi banyak kegiatan sosial manusia. Hasil dari kebudayaan bisa berupa benda - benda, lagu, puisi, dll. sebagai contoh hasil dari kebudayaan ialah di Sulawesi Selatan itu ada bentuk rumah, pakaian tradisional, perahu, ragam hias dan masih banyak lagi. Di Indonesia setiap daerah memiliki kebudayaan masing - masing.
Kebudayaan adalah hasil manusia baik yang bersifat materi, maupun yang nonmateri.Seperti detailnya bahwa kebudayaan itu mempunyai tujuh unsur, yakni sistem mata pencaharian hidup (ekonomi), peralatan hidup (tehnologi), ilmu pengetahuan, sistem sosial, bahasa, kesenian, dan sistem religi. Jika dihubungkan dengan sejarah, maka kebudayaan sangat erat kaitannya karena sejarah adalah suatu ilmu yang selalu membahas ketujuh unsur kebudayaan dilihat dari segi “time”nya. Jadi detailnya jika kita melihat kebudayaan dari kaca mata sejarah, berarti dalam pembahasannya kita akan mencoba membahas sejumlah peninggalan-peninggalan kebudayaan yang tersebar di seluruh Nusantara ini.
B.      Rumusan masalah
1.      Bagaimana model atau bentu rumah suku BMT.
2.      Seperti apakah pakaian tradisional BMT.
3.      Bagaimana bentuk perahu-perahu BMT.
4.      Bagaimana model ragam hias sul-sel.
C.      Tujuan
1.      Untuk mengetahui bentuk-bentuk rumah BMT.
2.      Untuk mengetahui seperti pakaian tradisional BMT.
3.      Untuk mengetahui perahu-perahu BMT.
4.      Untuk mengetahui ragam hias sulawesi selatan.










BAB II
PEMBAHASAN
A.   BENTUK RUMAH BMT
1.      Suku makassar
Salah satu suku di Indonesia yang memiliki konsep rumah tradisional adalah suku Makassar. Rumah tradisional suku Makassar, karena memiliki kemiripan morfologis dengan rumah tradisional suku Bugis seringkali disatukan dibawah istilah rumah tradisional Bugis-Makassar. Rumah tradisional Bugis-Makassar merupakan prototi perumah Asia Tenggara, yaitu rumah panggung dari kayu yang atapnya berlereng dua, dan kerangkanya berbentuk huruf “H” terdiri dari tiang dan balok yang dirakit tanpa pasak atau paku; tianglah yang menopang lantai dan atap sedangkan dinding hanyadiikat pada tiang luar (Schefold dalam Pelras, 2006: 265-267).
Rumah, bentuk, dan konstruksinya, muncul dalam tradisi manuskrip Sulawesi-Selatan (Paeni dan Robynson, 2005: 277) pada abad ke-17 hingga kini (Pelras, 2006:267). Merujuk pada data tersebut, kita bisa berkesimpulan bahwa tradisi membangun rumah di Sulawesi Selatan adalah sebuah tradisi yang telah berlangsung lama dan telah mengakar dalam masyarakat Sulawesi Selatan.
Dalam bahasa Makassar, rumah disebut Balla atau Bola dalam bahasa Bugis. Rumah khas Makassar ( dan juga Bugis ) berbentuk rumah panggung yang tingginya sekitar 3 meter dari tanah. Disanggah oleh tiang-tiang dari kayu yang berjejer rapih.
Rumah atau balla berbentuk segi empat dengan lima tiang penyangga ke arah belakang dan 5 tiang penyangga ke arah samping. Untuk rumah milik bangsawan yang biasanya lebih besar, jumlah tiang penyangganya berjumlah lima ke samping dan enam atau lebih ke arah belakang. Atap rumah adat Makassar berbentuk pelana, bersudut lancip dan menghadap ke bawah. Biasanya bahannya terdiri dari nipah, rumbia, bambu, alang-alang. ijuk atau sirap. Jaman sekarang bahan penutup atapnya sudah lebih modern tentu saja. Bagian depan dan belakang puncak atap rumah yang berbatasan dengan dinding dan berbentuk segitiga disebut timbaksela. Dari timbaksela ini bisa dikenali derajat kebangsawanan pemiliknya.
Timbaksela yang tidak bersusun menandakan pemiliknya adalah orang biasa, bila bersusun tiga ke atas menunjukkan pemiliknya adalah bangsawan. Bilsa susunan timbaksela-nya lebih dari lima atau bahkan sampai tujuh maka menunjukkan sang pemilik adalah bangsawan yang menduduki jabatan di pemerintahan. Untuk bisa naik ke atas rumah tentu saja ada tangga atau yang dalam bahasa Makassar disebut tukak. Tangga juga ada dua macam, yaitu :
·         Sapana, dibuat dari bambu. Induk tangganya tiga atau empat dan anak tangganya dianyam. Sapana ini memiliki coccorang ( pegangan ). Tangga jenis ini hanya digunakan oleh para bangsawan.
·         Tukak, dibuat dari kayu atau bambu. Induk tangganya ada dua dan ada juga yang tiga untuk bangsawan. Untuk warga biasa tangga jenis ini tidak memiliki coccorang atau pegangan. Anak tangganya selalu ganjil.
Tapi jaman sekarang semua aturan tentang tangga itu tampaknya mulai kabur, seiring dengan modifikasi tangga yang menggunakan bahan-bahan yang lebih modern seperti batu dan semen. Sedangkan pembagian ruang untuk rumah khas Makassar adalah sebagai berikut :
·         Dego-dego : ruangan kecil dekat tangga sebelum masuk ke dalam rumah atau pada rumah modern disebut sebagai teras. Biasanya digunakan untuk bersantai atau menunggu pemilik rumah keluar.
·         Tambing : ruangan yang berbentuk lorong yang letaknya di samping kale balla ( rumah induk ) yang letaknya lebih rendah.
·         Kale Balla : rumah induk atau badan rumah. Terdiri dari paddaserang atau ruangan. Ruangan paling depan yang digunakan untuk menerima tamu disebut paddaserang dallekang ( ruangan depan ), sedangkan bagian tengah disebut paddaserang tangnga ( ruangan tengah ) yang digunakan untuk kegiatan yang lebih privat. Bagian belakang disebut paddaserang riboko ( ruangan belakang ) yang fungsinya untuk kamar, utamanya kamar anak gadis.
·         Balla pallu/dapur, digunakan untuk kegiatan masak memasak dan menyimpan alat masak. Biasanya ketinggiannya lebih rendah dari paddaserang.
Sedangkan untuk kegiatan mandi, cuci dan kakus biasanya terpisah dari bangunan rumah dan terletak agak di belakang. Tiap rumah biasanya punya sumur sendiri-sendiri atau biasanya sebuah sumur digunakan oleh beberapa rumah.
Rumah khas Makassar biasanya tidak menggunakan plafond dan di bagian atas antara dinding dan atap biasanya dibuat sebuah ruang yang disebut pammakkang. Fungsinya adalah menempatkan benda-benda khusus atau biasanya padi yang sudah siap dijadikan beras. Bagian bawah rumah disebut siring dan biasanya digunakan untuk bersantai dengan menempatkan balai-balai. Beberapa rumah juga menggunakannya sebagai gudang.
Salah satu rumah adat yang masih tersisa dan masih bisa dilihat serta dikunjungi adalah Balla Lompoa ( rumah besar ) yang merupakan rumah peninggalan kerajaan Gowa. Rumah ini terletak di kawasan istana kerajaan Gowa. Pemerintah kabupaten Gowa membuat sebuah rumah besar yang digunakan sebagai museum dan tempat pusat penyelenggaraan acara-acara khusus. Seperti pada gambar dibawah ini :

2.      Suku bugis
Rumah bugis memiliki keunikan tersendiri, dibandingkan dengan rumah panggung dari suku yang lain ( Sumatera dan Kalimantan ). Bentuknya biasanya memanjang ke belakang, dengan tanbahan disamping bangunan utama dan bagian depan [ orang bugis menyebutnya lego - lego ].
Bangunan rumah tradisional Bugis – Makassar termasuk bangunan profan, yaitu rumah-rumah tinggal dalam istana. Berbentuk tertutup dan tunggal, berkonstruksi bambu dan kayu, namun ada bagian-bagian tertentu yang dianggap sakral, seperti tiang tengah (posi’) dan loteng (rakkeang). Seni rancang bangun yang diciptakan turun-temurun oleh masyarakat tertentu itulah yang disebut “rumah adat”, tanpa memandang status atau golongan sosial pemiliknya. Namun, dalam konteks ini, pengertian rumah adat dibatasi hanya pada rumah atau bekas istana raja dan bangsawan, karena mampu bertahan sampai kini dan berkaitan dengan suatu peristiwa sejarah. Mengapa mampu bertahan? karena memiliki kualitas tinggi baik dari aspek teknologi maupun kualitas bahan yang digunakan.
Tipe rumah adat Bugis-Makassar merupakan rumah panggung yang berdiri diatas tiang kayu. Atapnya berbentuk pelana untuk memudahkan aliran air hujan, mengingat daerah Sulawesi Selatan mempunyai intensitas curah hujan yang tinggi. Menurut Mangungwijaya (1980), bahwa bentuk rumah panggung, adalah jenis bangunan yang sangat umum dan tersebar dari Bima sampai ke Hawaii, Indonesia dan Jepang. Begitupula dengan bentuk atapnya. Tipe rumah Bugis-Makassar ini merupakan perkembangan dari tujuan semula sebagai tempat berlindung dari hujan dan panas, gangguan binatang buas serta gangguan dari serangan manusia (suku lain).
Disadari atau tidak, tipe rumah panggung ini memberikan efek fisik yang cukup baik sesuai kondisi iklim Indonesia yang tropis dan lembab, sehingga penghuninya merasa nyaman, aman dan tenteram serta sehat. Selain itu, bahan-bahan yang digunakan dan konstruksinya dirancang elastis, sehingga bangunan rumah seperti ini tahan goncangan gempa dan cukup mampu bertahan dari terpaan angin kencang.
Rumah orang Bugis-Makassar juga digolongkan menurut lapisan sosial pemiliknya. Berdasarkan hal itu, maka ada tiga macam rumah, yaitu:
1.      Sao Raja  dalam bahasa Bugis atau Balla’ Lompo dalam bahasa Makassar, adalah rumah besar yang didiami oleh keluarga kaum bangsawan. Rumah ini biasanya mempunyai ciri-ciri antara lain; berpetak lima atau tujuh, timpa laja’ (bubungan)-nya bersususn lima bagi Raja berkuasa dan bersusun tiga bagi bangsawan lainnya. Mempunyai sapana, yaitu tangga beralas bertingkat dibagian bawah dengan atap diatasnya. Pada orang Bugis, sao raja yang berpetak lebih dari tujuh khusus bagi tempat kediaman raja besar disebut salassa’.
2.      Sao piti’ dalam bahasa Bugis atau tarata’ dalam bahasa Makassar, berbentuk lebih kecil dari sao raja, adalah rumah tempat kediaman yang berpetak tidak lebih dari empat, tanpa sapana dan mempunyai bubungan yang bersusun satu atau tiga. Biasanya didiami oleh orang baik-baik, orang kaya atau orang berkedudukan dan terpandang dalam masyarakat.
3.      Bola to sama’ atau barum-parum dalam bahasa Bugis atau balla’ dalam bahasa Makassar, merupakan rumah tempat kediaman rakyat kebanyakan. Rata-rata berpetak tiga, berbubungan lapis dua dan tidak mempunyai sapana.
Semua rumah Bugis-Makassar yang berbentuk adat, mempunyai satu panggung di depan pintu yang disebut tamping, adalah tempat bagi para tamu menunggu sebelum dipersilahkan oleh tuan rumah untuk masuk ke dalam ruang tamu.
Sao piti sekarang ini telah hilang dari perbendaharaan kata Bugis-Makassar pada akhir-akhir ini, yang populer sekarang hanyalah istilah sao raja atau balla’ lompo dan bola atau balla’. Istilah sao raja atau balla’ lompo dipakai baik untuk raja pusat maupun rumah untuk raja vasal (arung lili’) dan bangsawan lainnya.
Tipe ini masih bervariasi, seperti diuraikan berikut:
1.      Bola Siwali (Bugis) atau Kambara’na (Makassar), adalah kamar dibangun disampingemperan yang disebut tamping (Bugis) dan jambang (Makassar). Bola Siwali ini hanya mempunyai satu kamar dan beratap sendiri yang dihubungkan oleh titian atau alleteng (Bugis) dan tete (Makassar). Kamar tersebut diperuntukkan khusus  tamu agung.
2.      Jongke’ dalam bahasa Bugis maupun bahasa Makassar, adalah rumah yang lebih kecil daripada rumah induk yang berfungsi sebagai dapur. Dibangun agak kebelakang sejajar atau melintang dengan rumah induk. Seperti bola Siwali, Jongke’ ini juga dihubungkan dengan titian ke rumah induk. Jongke’ yang sejajar dengan rumah induk, disebut pula bola tonda (rumah gandeng)
Antara tanah dan badan rumah dihubungkan oleh tangga dengan istilah yang beracam-macam pula, seperti:
1.      Sapana, yaitu tangga yang berjejer ganda (dua), tebuat dari bambu dengan lapisan dasar bambu utuh yang diberi lubang kemudian ditusukkan berjejer.
2.      Coccorang, yaitu tangga yang terbuat dari bahan kayu dengan memakai penghalang pada bagian sisi sebagai pegangan. Tangga ini digunakan pada rumah bangsawan.
3.      Addeneg, yaitu tangga untuk rumah biasa baik dari kayu maupun dari bambu, berdiri tunggal tanpa pegangan yang disebut coccorang pada bagian sisinya.
Perkembangan tipe rumah tersebut diatas berlansung sekitar abad XVIII dan XIX. Rumah-rumah telah diberi dekorasi dari bunga rambat, colli paku, bunga delima dan lain-lain. Pola bunga rambat di Sulawesi Selatan dikenal berkembangnya pada abad XVIII.
Adapun bagian-bagian dari rumah panggung suku bugis diantaranya :
1.    Alliri (Tiang)
Model rumah bugis pada mulanya hanya diperuntukkan bagi kalangan bangsawan. Misalnya, hanya mereka yang boleh menggunakan tiang segi empat atau segi delapan, sedangkan orang biasa hanya boleh menggunakan tiang bundar. Tiang rumah (alliri) bertumpu di atas tanah dan berdiri hingga ke loteng serta menopang berat atap. Tetapi sekarang, makin banyak rumah besar yang tiangnya tidak di ditanam lagi, tetapi ditumpukan di atas pondasi batu. Biasanya terdiri dari 4 batang setiap barisnya. jumlahnya tergantung jumlah ruangan yang akan dibuat. tetapi pada umumnya, terdiri dari 3 / 4 baris alliri. Jadi totalnya ada 12 batang alliri.
2.      Awa Bola (Kolong Rumah)
Awa bola ialah kolong yang terletak pada bagian bawah, yakni antara lantai dengan tanah. Kolong ini biasa pada zaman dulu dipergunakan untuk menyimpan alat pertanian, alat berburu, alat untuk menangkap ikan dan hewan-hewan peliharaan yang di pergunakan dalam pertanian.
3.      Arateng dan Ware’ ( Penyangga Lantai dan Penyangga Loteng )
Pada setiap tiang dibuat lubang segi empat untuk menyisipkan balok pipih penyangga lantai (arateng) dan balok pipih penyangga loteng (ware’), yang menghubungkan panjang rangka rumah. Dahulu, rumah yang tiangnya ditanam tidak menggunakan balok penyangga loteng, dan balok penyangga lantai tidak disisipkan pada tiang, tetapi diikat.
4.      Ale Bola ( Badan Rumah )
Ale bola ialah badan rumah yang terdiri dari lantai dan dinding yang terletak antara lantai dan loteng. Pada bagian ini terdapat ruangan-ruangan yang dipergunakan dalam aktivitas sehari-hari seperti menerima tamu, tidur, bermusyawarah, dan berbagai aktifitas lainnya. Badan rumah tediri dari beberapa bagian rumah seperti:
Lotang risaliweng, Pada bagian depan badan rumah di sebut yang berfungsi sebagai ruang menerima tamu, ruang tidur tamu, tempat bermusyawarah, tempat menyimpan benih, tempat membaringkan mayat sebelum dibawa ke pemakaman.
5.      Posi’ Bola ( Pusat Rumah )
Rumah Bugis memiliki struktur dasar yang terdiri atas 3 kali 3 tiang (3 barisan tiang memanjang dan 3 baris melebar) berbentuk persegi empat  dengan satu tiang ditiap sudutnya, dan pada setiap sisi terdapat satu tiang tengah, serta tepat di tengah persilangan panjang dan lebar terdapat tiang yang disebut ”pusat rumah”(posi bola). Umumnya, rumah orang biasa terdiri atas empat tiang untuk panjang dan empat untuk lebar rumah.
6.      Timpa’ Laja
Berbagai ciri khas juga ditambahkan pada rumah-rumah kalangan bangsawan tinggi untuk menunjukkan status sosial mereka. Ciri paling menonjol adalah jumlah bilah papan yang menyusun dinding bagian muka atap rumah (timpa’ laja’, dari bahasa Melayu tebar layar): Dua lapis untuk tau deceng, Tiga untuk ana’cera’, lima untuk ana’ ma’tola,dan tujuh untuk penguasa kerajaan-kerajaan utama bugis,luwu’,bone, wajo’,soppeng, dan sidenreng. Sementara itu, hanya golongan ana’ cera’ ke atas yang berhak menggunakan tangga yang naik membujur.
7.      Addengeng (Tangga)
Sementara itu, hanya golongan ana’ cera’ ke atas yang berhak menggunakan tangga yang naik membujur. Dan hanya kalangan bangsawan tertinggi boleh menggunakan tangga berupa latar miring tanpa anak tangga, terbuat dari bila-bila bambu yang, notabene, sangat licin dan disebut sapana ( bahasa Sansekerta yang mungkin diadopsi lewat bahasa Melayu: Sopana ’tangga’).
8.      Tamping
Pada sisi panjang (bagian samping badan rumah) biasanya ditambahkan tamping, yakni semacam serambi memanjang yang lantainya sedikit lebih rendah, dengan atap tersendiri; pintu masuk bagian depan berada di ujung depan tamping dan jika ruang dapur tidak terpisah dapurnya berada di ujung di belakang tamping. Kalaupun ada tambahan lain, dengan rancangan lebih kompleks, bentuk segi empat tetap jadi pola dasar.
9.      Rakkeang ( Langit-langit )
Rakkeang, adalah bagian diatas langit - langit (eternit). Dahulu biasanya digunakan untuk menyimpan padi yang baru di panen.
10.  Anjong
Selain sebagai hiasan rumah, anjong juga memiliki makna tertentu bagi orang bugis. Anjong merupakan salah satu ciri khas orang bugis, dimana pada rumah orang bangsawan memiliki lebih dari dua anjong.Sedangkan anjong pada rumah orang biasa tidak lebih dari dua.
Pada dasarnya, rumah tersebut memiliki atap (pangate’) dua latar dengan sebuah bubungan lurus (alekke’), yang berbeda dengan bubungan lengkung yang terdapat pada rumah toraja, Batak, dan Minangkabau, serta pada rumah Jawa. Dindingnya (renring) terbuat dari bahan ringan, sementara lantainya (salima) berjarak sekitar 2 meter / kadang-kadang lebih dari permukaan tanah dan kolong rumah (awa bola) biasanya dibiarkan terbuka.
Dari bentuk denahnya yang berbentuk persegi empat memanjang ke belakang..Bagi orang Bugis, empat adalah angka sakral…segala sesuatu dapat dikatakan sempurna jika genap berjumlah empat atau sulapa’ eppa’, berangkat dari falsafah hidup mencari kesempurnaan ideal untuk mengenali dan mengatasi  kelemahan  manusia dengan dunia empat sisi (Elizabeth Morell,2005:240).
Menurut budayawan Prof Mattulada, Sulapa eppa (empat sisi) adalah bentuk mistis kepercayaan Bugis-Makassar klasik yang menyimbolkan susunan semesta, api-air-angin-tanah. Falsafah empat inilah yang kemudian dimanifestasikan dalam membangun rumah yang biasa disebut “bola genne” atau “rumah sempurna” yang  berbentuk persegi empat. Masyarakat Bugis juga mengenal strata sosial, hal ini terlihat pula dalam bentuk rumah yang terdiri atas Saoraja (rumah untuk raja dan kalangan bangsawan) dan Bola (rumah rakyat biasa) .  Perbedaan rumah Saoraja dan Bola hanya terletak pada ukuran bangunannya, dimana Saoraja lebih besar dibandingkan Bola sehingga jumlah tiang pada Saoraja 40-48 tiang, sedangkan bola 20-30 tiang, sedangkan pada timpa’laja, seperti pada gambar, memperlihatkan bahwa pada saoraja memiliki timpa’laja yang bertingkat-tingkat, sedang bola biasa saja.
Material Rumah Bugis
Dalam pemilihan material struktur, masyarakat Bugis sangat teliti dalam pemilihan material untuk dipakai membangun rumah, tidak ketinggalan pula nilai filosofinya.
1.      Aju Panasa (Kayu Nangka) biasa digunakan untuk tiang pusat rumah yang biasa disebut possi bola.
  1. Aju bitti, aju amara, dan aju jati, ketiga jenis kayu ini dapat digunakan untuk tiang rumah atau possi bola. Namun, jika menggunakan kayu jati harus lebih dari satu karena, menurut orang bugis jati dari kata maja ati, sehingga jika menggunakan kayu jati dapat membuat orang iri dan dengki pada si empunya rumah
  2. Aju ipi, aju seppu, dan batang kelapa. Ketiga jenis kayu ini dipakai untuk arateng, yaitu berupa  balok pipih berderet yang memanjang ke belakang untuk mengikat tiang pada bagian tengah rumah. Ketiga kayu ini juga digunakan untuk pattolo riawa yaitu balok pipih panjang yang berfungsi mengikat deretan tiang bagian tengah dari arah kanan ke kiri; dan aju lekke yang berfungsi menyangga dan menahan kerangka atap.
  3. Aju tippulu dan batang lontar, kedua jenis kayu ini digunakan untuk membuat pare’, balok pipih panjang berderet ke belakang sejajar dengan arateng, yang berfungsi mengikat tiang-tiang sebelah atas. Panjangnya sama dengan aju lekke. Kayu jenis ini juga dipakai untuk membuat padongko atau pattolo riase yaitu balok pipih panjang yang dipakai mengikat ujung tiang bagian atas sejajar dengan pattolo riawa; dan tanneba, yaitu balok berukuran kecil sebagai dasar dari lantai rumah dan menahan papan yang akan menjadi lantai rumah.
  4. Aju cendana, dipakai untuk membuat barakkapu, yaitu dari balok kecil untuk membuat rakkeang atau loteng.
  5. Bambu untuk dinding, tangga, atau lantai.
  6. Daun rumbia, Khusus untuk ijuk dan nipah digunakan pada rumah saoraja, sedang bola biasa menggunakan daun rumbia dan ilalang.
3.      Suku Toraja
Adat Toraja biasa disebut Baruang Tongkonan, tongkonan sendiri mempunyai arti tongkon “duduk“, tempat “an” bisa dikatakan tempat duduk, tetapi bukan tempat duduk arti yang sebenarnya melainkan, tempat orang di desa untuk berkumpul, bermusyawarah, dan menyelesaikan masalah-masalah adat.
Hampir semua rumah orang Toraja menghadap ke arah utara, menghadap ke arah Puang Matua sebetuan orang toraja bagi tuhan yang maha esa. Selain itu untuk menghormati leluhur mereka dan dipercaya akan mendapatkan keberkahan di dunia ini.
Daerah Tana Toraja umumnya merupakan tanah pegunungan kapur dan batu alam dengan ladang dan hutan yang masih luas, dilembahnya terdapat hamparan persawahan.
Tongkonan sendiri bentuknya adalah rumah panggung yang dibangun dari kombinasi batang kayu dan lembaran papan. Kalau diamati, denahnya berbentuk persegi panjang mengikuti bentuk praktis dari material kayu. Material kayu dari kayu uru, sejenis kayu lokal yang berasal dari Sulawesi. Kualltas kayunya cukup baik dan banyak ditemui di hutan-hutan di daerah Toraja. Kayu di biarkan asli tanpa di pelitur atau pernis.

Rumah Toraja / Tongkonan ini dibagi menjadi 3 bagian: yang pertama kolong (Sulluk Banua), kedua ruangan rumah (Kale Banua) dan ketiga atap (Ratiang Banua).
Pada bagian atap, bentuknya melengkung mirip tanduk kerbau. Di sisi barat dan timur bangunan terdapat jendela kecil, tempat masuknya sinar matahari dan aliran angin. Menilik Latar belakang arsitektur rumah tradisional Toraja menyangkut falsafah kehidupan yang merupakan landasan dari kebudayaan orang Toraja itu sendiri.
Dalam pembangunan rumah adat Tongkonan ada hal-hal yang mengikat atau hal yang di haruskan dan tidak boleh di langgar, yaitu: Rumah harus menghadap ke utara, letak pintu di bagian depan rumah, dengan keyakinan bumi dan langit merupakan satu kesatuan dan bumi dibagi dalam 4 penjuru mata angin, yaitu:
  • Utara disebut Ulunna langi, yang paling mulia di mana Puang Matua berada (keyakinan masyarakat Toraja).
  • Timur disebut Matallo, tempat metahari terbit, tempat asalnya kebahagiaan atau kehidupan.
  • Barat disebut Matampu, tempat metahari terbenam, lawan dari kebahagiaan atau kehidupan, yaitu kesusahan atau kematian.
  • Selatan disebut Pollo’na langi, sebagai lawan bagian yang mulia, tempat melepas segala sesuatu yang tidak baik / angkara murka.
Pembangunan rumah tradisional Toraja biasanya dilakukan secara gotong royong. Rumah Adat Toraja di bedakan menjadi 4 macam:
  • Tongkonan Layuk, rumah adat tempat membuat peraturan dan penyebaran aturan-aturan.
  • Tongkonan Pakamberan atau Pakaindoran, rumah adat tempat melaksanakan aturan-aturan. Biasanya dalam satu daerah terdapat beberapa tongkonan, yang semuanya bertanggung jawab pada Tongkonan Layuk.
  • Tongkonan Batu A’riri, rumah adat yang tidak mempunyai peranan dan fungsi adat, hanya sebagai tempat pusat pertalian keluarga.
·         Tongkonan Pa’rapuan, fungsinya sama dengan Tongkonan Batu A’riri tetapi tidak boleh diukir seperti tiga tongkonan diatas dan tidak memakai Longa.
Bangsawan Toraja yang memiliki Tongkonan umumnya berbeda dengan Tongkonan dari orang biasanya. Perbedaan ini bisa kita lihat pada bagian rumah terdapat tanduk kerbau yang disusun rapi menjulang ke atas, semakin tinggi atau banyak susunan tanduk kerbau tersebut semakin menukjukkan tinggi dan penting status sosial si pemilik rumah.
Kenapa harus tanduk Kerbau? bagi orang Toraja, kerbau selain sebagai hewan ternak mereka juga menjadi lambang kemakmuran dan status. Nah oleh sebab itu kenapa tanduk atau tengkorak kepala kerbau di pajang dan disimpan di bagian rumah karena sebagai tanda bawasannya keberhasilan  si pemilik rumah mengadakan sebuah upacara / pesta.
Tongkonan atau rumah adat Toraja menurut keyakinan penduduknya harus selalu menghadap ke Utara.Hal tersebut berkaitan dengan keyakinan dalam Aluk Todolo,yang sampai sekarang mempengaruhi pertumbuhan dari kebudayaan Toraja pada umumnya karena sudah merupakan pandangan hidup orang Toraja.
Sebabnya,sehingga bangunan Tongkonan harus menghadap ke Utara adalah berpangkal pada keyakinan dalam Sukaran Aluk atau adat yang mengatakan bahwa bumi dan langit ini tidak dapat dipisahkan dan tetap merupakan suatu kesatuan,makanya dalam mempergunakannya itu harus pula selalu bertolak dari kesatuan bumi dan langit agar tidak terdapat kesimpang siuran.
Etnis Toraja mendiami dataran tinggi di kawasan utara Sulawesi Selatan. Pada umumnya wilayah permukiman masyarakat Toraja terletak di pegunungan dengan ketinggian 600 hingga 2800m di atas permukaan laut. Temperatur udara kawasan permukiman masyarakat Toraja berkisar pada 150 hingga 300C. Daerah ini tidak berpantai, budayanya unik, baik dalam tari-tarian, musik, bahasa, makanan, dan kepercayaan Aluktodolo yang menjiwai kehidupan masyarakatnya. Keunikan itu terlihat juga pada pola permukiman dan arsitektur tradisional rumah mereka, upacara pengantin serta ritual upacara penguburannya.
Kondisi Tana Toraja, yang dipegunungan dan berhawa dingin diduga mendasari ukuran pintu dan jendela yang relatif kecil, lantai dan dindingnya dari kayu yang tebal. Ukuran atap rumah tradisional Toraja yang terbuat dari susunan bambu sangat tebal. Wujud konstruksi ini sangat diperlukan untuk menghangatkan temperatur udara interior rumah.
Pada masyarakat tradisional Toraja, dalam kehidupannya juga mengenal filosofi “Aluk A’pa Oto’na” yaitu empat dasar pandangan hidup : Kehidupan Manusia, kehidupan alam leluhur “Todolo”, kemuliaan Tuhan, adat dan kebudayaan. Keempat filosofi ini menjadi dasar terbentuknya denah rumah Toraja empat persegi panjang dengan dibatasi dinding yang melambangkan “badan” atau “Kekuasaan”. Dalam kehidupan masyarakat toraja lebih percaya akan kekuatan sendiri, “Egocentrum”. Hal ini yang tercermin pada konsep arsitektur rumah mereka dengan ruang-ruang agak tertutup dengan “bukaan” yang sempit.
Selain itu konsep arsitektur tradisional toraja, banyak dipengaruhi oleh ethos budaya “simuane tallang” atau filosofi “harmonisasi” dua belahan bambu yang saling terselungkup sebagaimana cara pemasangan belahan bambu pada atap rumah adat  dan  lumbung.  Harmonisasi  didapati  dalam  konsep arsitektur “Tongkonan” yang menginteraksikan secara keseluruhan komponen “tongkonan” seperti : Rumah, lumbung, sawah, kombong, rante dan liang, didalam satu sistem kehidupan dan penghidupan orang toraja didalam area tongkonan. Selain itu, makro dan mikro kosmos tetap terpelihara didalam tatanan kehidupan masyarakat tradisional toraja, dimana rumah dianggap sebagai “mikrokosmos”.
Tongkonan dibangun dengan bahan-bahan alami seperti bambu, kayu, dan rotan. Rangka,tiang dan balok biasanya dibuat dari kayu atau bambu. Lantainya terdiri dari papan kayuyang diletakkan di atas palang melintang, antara papan lantai dan palang kayu, terdapatlapisan bambu untuk memberikan kekakuan lebih pada lantai. Sementara itu, dinding dan partisinya terbuat dari papan kayu, pancang kayu, atau anyaman bambu. Semua komponen ini dibuat terlebih dahulu di tempat terpisah yang disebut ’pondok’. Setelah jadi, barulah komponen-komponen ini disusun menjadi satu di tempat yang telah ditentukan tanpa menggunakan paku.Atap Tongkonan Tradisonal dari BambuMasyarakat Toraja biasanya mendapat material-material ini dari hutan dan alam di sekitar mereka. Mereka juga menggunakan peralatan pertukangan sederhana dan peralatan ukir.
B.    PAKAIAN TRADISIONAL
1.      Suku bugis dan makassar
Baju Bodo adalah pakaian tradisional perempuan Makassar.  Dalam suku Bugis baju ini disebut Waju Tokko. Baju Bodo berbentuk segi empat, biasanya berlengan pendek, yaitu setengah atas bagian siku lengan. Dalam bahasa Makassar, kata “Bodo” berarti pendek.
Baju Bodo atau Waju Tokko, sudah dikenal oleh masyarakat Sulawesi Selatan sejak pertengahan abad IX (pen), hal ini diperkuat dari sejarah kain Muslin, kain yang digunakan sebagai bahan dasar Baju Bodo itu sendiri. Kain Muslin adalah lembaran kain hasil tenunan dari pilinan kapas yang dijalin dengan benang katun. Memiliki rongga dan kerapatan benang yang renggang menjadikan kain Muslin sangat cocok untuk daerah tropis dan daerah beriklim kering.
Kain Muslin (Eropa) atau Maisolos (Yunani Kuno), Masalia (India Timur) dan Ruhm (Arab), tercatat pertama kali dibuat dan diperdagangkan di kota Dhaka, Bangladesh, hal ini merujuk pada catatan seorang pedagang Arab bernama Sulaiman pada abad IX. Sementara Marco Polo pada tahun 1298 Masehi, dalam bukunya The Travel of Marco Polo, menjelaskan bahwa kain Muslin itu dibuat di Mosul (Irak) dan dijual oleh pedagang yang disebut “Musolini”. Uniknya, masyarakat Sulawesi Selatan sudah lebih dulu mengenal dan mengenakan jenis kain ini dibanding masyarakat Eropa, yang baru mengenalnya pada abad XVII dan baru populer di Perancis pada abad XVIII.
Dalam Festival Busana Nusantara 2007 di Kuta – Bali, perancang busana kenamaan Oscar Lawalata menegaskan bahwa “Baju Bodo itu adalah salah satu baju tertua di dunia dan dunia internasional belum mengetahuinya.”
Pada awal munculnya, Baju Bodo/Waju Tokko, tidaklah lebih dari baju tipis dan longgar sebagaimana karakter kain Muslin. Tampilannya masih transparan sehingga masih menampakkan payudara, pusar dan lekuk tubuh pemakainya. Hal ini diperkuat oleh James Brooke dalam bukunya Narrative of Events, sebagaimana dikutip oleh Christian Pelras dalam Manusia Bugis, yang mengatakan:
“Perempuan [Bugis] mengenakan pakaian sederhana… Sehelai sarung [menutupi pinggang] hingga kaki dan baju tipis longgar dari kain Muslin (kasa), memperlihatkan payudara dan leluk-lekuk dada.”

Anak gadis memakai Baju Bodo/Waju Tokko di tahun 1930an
Gadis remaja memakai Baju Bodo/Waju Tokko di tahun 1900an
Pada awal abad ke-19, Don Lopez comte de Paris, seorang pembantu setia Gubernur Jenderal Deandels memperkenalkan penutup dada yang dalam bahasa Indonesia disebut “Kutang” pada perempuan Jawa, namun sayang kutang ini belum populer di tanah Bugis-Makassar. Sehingga tidak janggal  jika pada tahun 1930-an, masih banyak ditemui perempuan Bugis-Makassar memakai Baju Bodo/Waju Tokko tanpa memakai penutup dada
Masuknya Islam dan Munculnya Baju La’bu
Meski ajaran agama Islam sudah mulai menyebar dan dipelajari oleh masyarakat di Sulawesi sejak abad ke-5, namun secara resmi baru diterima sebagai agama kerajaan pada abad ke-17.

Pergerakan  DII/TII di Sulawesi juga berpengaruh besar pada perkembangan Baju Bodo saat itu. Ketatnya larangan kegiatan dan pesta adat oleh DII/TII, membuat Baju Bodo menjadi asing dikalangan masyarakat Sulawesi Selatan.

Larangan ini muncul mengingat penerapan syariat Islam yang diusung oleh pergerakan DII/TII. Tak pelak, pelarangan ini menjadi isu besar dikalangan para pelaku adat dan agamawan. Dalam ajaran agama Islam ditegaskan bahwa, pakaian yang dibenarkan adalah pakaian yang menutup aurat, tidak menampakkan lekuk tubuh dan rona kulit selain telapak tangan dan wajah. Kontroversi ini kemudian disikapi bijak oleh kerajaan Gowa, hingga muncullah modifikasi baju bodo yang dikenal dengan nama Baju La’bu (serupa dengan Baju Bodo, tetapi lebih tebal, gombrang, panjang hingga lutut).


Gadis remaja memakai Baju La’bu
Perlahan, Baju Bodo/Waju Tokko yang semula tipis berubah menjadi lebih tebal dan terkesan kaku. Jika pada awalnya memakai kain muslin, berikutnya baju ini dibuat dengan bahan benang sutera. Bagi golongan agamawan, adanya Baju La’bu ini adalah solusi terbaik, tidak melanggar hukum Islam dan juga tidak menghilangkan nilai adat.

Warna dan Arti

Menurut adat Bugis, setiap warna Waju Tokko yang dipakai oleh perempuan Bugis menunjukkan usia ataupun martabat pemakainya.

·         Anak dibawah 10 tahun memakai Waju Tokko yang disebut Waju Pella-Pella (kupu-kupu), berwarna kuning gading (maridi) sebagai pengambaran terhadap dunia anak kecil yang penuh keriangan. Warna ini adalah analogi agar sang anak cepat matang dalam menghadapi tantangan hidup.
·         Umur 10-14 tahun memakai Waju Tokko berwarna jingga atau merah muda. Warna merah muda dalam bahasa Bugis disebut Bakko, adalah representasi dari kata Bakkaa, yang berarti setengah matang.
·         Umur 14-17 tahun, masih memakai Waju Tokko berwarna jingga atau merah muda, tapi dibuat berlapis/bersusun dua, hal ini dikarenakan sang gadis sudah mulai tumbuh payudaranya. Juga dipakai oleh mereka yang sudah menikah tapi belum memiliki anak.
·         Umur 17-25 tahun memakai Waju Tokko berwarna merah darah, berlapis/ bersusun. Dipakai oleh perempuan yang sudah menikah dan memiliki anak, berasal dari filosofi, bahwa sang perempuan tadi dianggap sudah mengeluarkan darah dari rahimnya yang berwarna merah.
·         Umur 25-40 tahun memakai Waju Tokko berwarna hitam. Waju Tokko berwarna putih digunakan oleh para inang/pengasuh raja atau para dukun atau bissu. Para bissu memiliki titisan darah berwarna putih, inilah yang mengantarkan mereka mampu menjadi penghubung dengan Botting Langi (khayangan), peretiwi (dunia nyata), dan ale kawa(dunia roh). Mereka dipercaya tidak memiliki alat kelamin, sehingga terlepas dari kepentingan syahwat.
Para putri raja, bangsawan dan keturunannya yang dalam bahasa Bugis disebut maddara takku (berdarah bangsawan) memakai Waju Tokko berwarna hijau. Dalam bahasa Bugis, warna hijau disebut kudara, yang berasal dari kata na-takku dara-na, yang secara harfiah berarti “mereka yang menjunjung tinggi harkat kebangsawanannya.”
Waju Tokko berwarna ungu dipakai oleh para janda.  Dalam bahasa Bugis, warna ungu disebut kemummu yang juga dapat berarti lebamnya bagian tubuh yang terkena pukulan atau benturan benda keras.  Dalam pranata sosial masyarakat Bugis jaman dahulu, menikah dengan seorang janda merupakan sebuah aib.

Cara Pakai dan Aksesoris

Cara memakai Baju Bodo/Waju Tokko sangat mudah, layaknya seperti memakai t-shirt.  Baju Bodo/Waju Tokko dikenakan dengan menggunakan bawahan Lipa’ Sa’be (sarung sutera) yang bermotif kotak-kotak cerah.  Lipa’ Sa’be dipakai seperti memakai sarung yang kadang diperkuat dengan tali atau ikat pinggang agar tidak melorot.
Beragam motif Lipa’ Sa’be, Pada bagian pinggang, Baju Bodo/Waju Tokko dibiarkan menjuntai menutupi ujung sarung bagian atas. Si pemakai biasanya memegang salah satu ujung baju bodo lalu disampirkan di lengan.
Sebagai aksesoris, ditambahkan kalung, gelang panjang, anting, dan bando atau tusuk konde di kepala. Ada pula yang menambahkan bunga sebagai penghias di rambut.
Selain untuk acara adat seperti upacara pernikahan, Baju Bodo/Waju Tokko saat ini juga dipakai untuk menyambut tamu agung dan acara lainnya seperti menari.
Contoh lain pakaian tradisional Bugis Makassar
 
2.      Suku toraja
Pakaian adat Toraja yang biasa digunakan oleh laki-laki yaitu baju dan celana yang ditenun. Celananya disebut “seppa tallu buku” dengan pengikat kepala yang biasa disebut “passapu”,dilengkapi dengan sarung dan gayang.
Kemudian untuk wanita memakai baju dan semacam sarung sebagai bawahannya,dilengkapi dengan “kandaure”,passa’pi’ yang biasanya diletakkan di kepala,dan juga memegang gayang atau semacam pedang.

Pada upacara perkawinan pakaian adat yang digunakan lebih indah,laki-laki tidak memakai “seppa tallu buku” tapi memakai sarung khusus,wanitanya juga memakai baju adat Toraja berbeda dari yang biasanya dipakai.
C.   PERAHU-PERAHU BMT
Pinisi di pelabuhan Paotere, Makassar        Gambar Pinisi type Lamba
Pinisi Lamba bermesin
Pinisi adalah kapal layar tradisional khas asal Indonesia, yang berasal dari Suku Bugis dan Suku Makassar di Sulawesi Selatan tepatnya dari desa Bira kecamatan Bonto Bahari Kabupaten Bulukumba. Pinisi sebenarnya merupakan nama layar. Kapal ini umumnya memiliki dua tiang layar utama dan tujuh buah layar, yaitu tiga di ujung depan, dua di depan, dan dua di belakang; umumnya digunakan untuk pengangkutan barang antarpulau.. Dua tiang layar utama tersebut berdasarkan 2 kalimat syahadat dan tujuah buah layar merupakan jumlah dari surah Al-Fatihah. Pinisi adalah sebuah kapal layar yang menggunakan jenis layar sekunar dengan dua tiang dengan tujuh helai layar yang dan juga mempunyai makna bahwa nenek moyang bangsa Indonesia mampu mengharungi tujuh samudera besar di dunia.

Sejarah

Kapal kayu Pinisi telah digunakan di Indonesia sejak beberapa abad yang lalu, diperkirakan kapal pinisi sudah ada sebelum tahun 1500an. Menurut[4] naskah Lontarak I Babad La Lagaligo pada abad ke 14, Pinisi pertama kali dibuat oleh Sawerigading, Putera Mahkota Kerajaan Luwu untuk berlayar menuju negeri Tiongkok hendak meminang Putri Tiongkok yang bernama We Cudai.
Sawerigading berhasil ke negeri Tiongkok dan memperisteri Puteri We Cudai. Setelah beberapa lama tinggal di negeri Tiongkok, Sawerigading kembali kekampung halamannya dengan menggunakan Pinisinya ke Luwu. Menjelang masuk perairan Luwu kapal diterjang gelombang besar dan Pinisi terbelah tiga yang terdampar di desa Ara, Tanah Lemo dan Bira. Masyarakat ketiga desa tersebut kemudian merakit pecahan kapal tersebut menjadi perahu yang kemudian dinamakan Pinisi. Orang Ara adalah pembuat badan kapal, di Tana Lemo kapal tersebut dirakit dan orang Bira yang merancang kapal tersebut menjadi Pinisi dan ketujuh layar tersebut lahir dari pemikiran orang-orang Bira.
Konon, nama Pinisi ini diambil dari nama seseorang yang bernama Pinisi itu sendiri. Suatu ketika beliau berlayar melewati pesisir pantai Bira. Beliau melihat rentetan kapal sekitar laut sana, dia kemudian menegur salah seorang nahkoda kapal tersebut bahwasanya layar yang digunakannya masih perlu diperbaiki. Sejak saat itu orang Bira berfikir dan mendesain layar sedemikian rupa dan akhirnya berbentuk layar Pinisi yang seperti sekarang ini. Atas teguran orang tersebut maka orang-orang Bira memberi layar itu dengan nama Pinisi.

Ritual pembangunan Pinisi

Upacara kurban untuk pembuatan perahu pinisi adalah salah satu dimana kemegahan pinisi dilahirkan.Para pembuat perahu tradisional ini, yakni: orang-orang Ara, Tana Lemo dan Bira, yang secara turun temurun mewarisi tradisi kelautan nenek moyangnya. Upacara ritual juga masih mewarnai proses pembuatan perahu ini, Hari baik untuk mencari kayu biasanya jatuh pada hari ke lima dan ketujuh pada bulan yang berjalan. Angka 5 (naparilimai dalle’na) yang artinya rezeki sudah ditangan. Sedangkan angka 7 (natujuangngi dalle’na) berarti selalu dapat rezeki. Setelah dapat hari baik, lalu kepala tukang yang disebut "punggawa" memimpin pencarian.
Sebelum pohon ditebang, dilakukan upacara untuk mengusir roh penghuni kayu tersebut. Seekor ayam dijadikan sebagai korban untuk dipersembahkan kepada roh. Jenis pohon yang ditebang itu disesuaikan dengan fungsi kayu tersebut. Pemotongan kayu untuk papan selalu disesuaikan dengan arah urat kayu agar kekuatannya terjamm. Setelah semua bahan kayu mencukupi, barulah dikumpulkan untuk dikeringkan.Pembuatan perahu pinisi di Tanah Beru.
Peletakan lunas juga memakai upacara khusus. Waktu pemotongan, lunas diletakkan menghadap Timur Laut. Balok lunas bagian depan merupakan simbol lelaki. Sedang balok lunas bagian belakang diartikan sebagai simbol wanita. Setelah dimantrai, bagian yang akan dipotong ditandai dengan pahat. Pemotongan yang dilakukan dengan gergaji harus dilakukan sekaligus tanpa boleh berhenti. Karena itu, pemotongan harus dilakukan oleh orang yang bertenaga kuat.
Ujung lunas yang sudah terpotong tidak boleh menyentuh tanah. Bila balok bagian depan sudah putus, potongan itu harus dilarikan untuk dibuang ke laut. Potongan itu menjadi benda penolak bala dan dijadikan kiasan Sebagai suami yang siap melaut untuk mencari nafkah. Sedangkan potongan balok lunas bagian belakang disimpan di rumah, dikiaskan sebagai istri pelaut yang dengan setia menunggu suami pulang dan membawa rezeki.
Pemasangan papan pengapit lunas, disertai dengan upacara Kalebiseang. Upacara Anjarreki yaitu untuk penguatan lunas, disusul dengan penyusunan papan dari bawah dengan ukuran lebar yang terkecil sampai keatas dengan ukuran yang terlebar. Jumlah seluruh papan dasar untuk perahu pinisi adalah 126 lembar. Setelah papan teras tersusun, diteruskan dengan pemasangan buritan tempat meletakkan kemudi bagian bawah.
Apabila badan perahu sudah selesai dikerjakan, dilanjutkan dengan pekerjaan a’panisi, yaitu memasukkan majun pada sela papan. Untuk merekat sambungan papan supaya kuat, digunakan sejenis kulit pohon barruk. Selanjutnya, dilakukan allepa, yaitu mendempul. Bahan dempul terbuat dari campuran kapur dan minyak kelapa. Campuran tersebut diaduk Selama 12 jam, dikerjakan sedikitnya 6 orang. Untuk kapal 100 ton, diperlukan 20 kg dempul badan kapal. Sentuhan terakhir adalah menggosok dempul dengan kulit pepaya.
Proses terakhir kelahiran pinisi adalan peluncurannya. Upacara selamatan diadakan lagi. Peluncuran kapal diawali dengan upacara adat Appasili yaitu ritual yang bertujuan untuk menolak bala. Kelengkapan upacara berupa seikat dedaunan yang terdiri dari daun sidinging, sinrolo, taha tinappasa, taha siri, dan panno-panno yang diikat bersama pimping. Dedaunan dimasukkan ke dalam air dan kemudian dipercikkan dengan cara dikibas-kibaskan ke sekeliling perahu. Untuk perahu dengan bobot kurang dan 100 ton, biasanya dipotong seekor kambing.
Sedangkan untuk kapal 100 ton keatas, dipotong seekor sapi,setelah dipotong kaki depan kambing atau sapi dipotong bagian lutut kebawah di gantung di anjungan sedangkan kaki belakang di gantung di buritan phinisi maknanya memudahkan saat peluncurannya seperti jalannya binatang secara normal. Selanjutnya ada upacara Ammossi yaitu upacara pemberian pusat pada pertengahan lunas perahu dan setelah itu perahu ditarik ke laut. Pemberian pusat ini merupakan istilah yang didasarkan pada kepercayaan bahwa perahu ialah 'anak' punggawa atau Panrita Lopi sehingga dengan demikian berdasarkan kepercayaan maka upacara ammossi merupakan simbol pemotongan tali pusar bayi yang baru lahir. Ketika pinisi sudah mengapung di laut, barulah dipasang layar dan dua tiang. Layarnya berjumlah tujuh. Kapal yang diluncurkan biasanya sudah siap dengan awaknya. Peluncuran kapal dilaksanakan pada waktu air pasang dan matahari sedang naik. Punggawa alias kepala tukang, sebagai pelaksana utama upacara tersebut, duduk di sebelah kiri lunas. Doa atau tepatnya mantra pun diucapkan.

Jenis kapal pinisi

Ada beberapa jenis kapal pinisi, namun yang pada umumnya pinisi ada 2 jenis :
  1. Lamba atau lambo. Pinisi modern yang masih bertahan sampai saat ini dan sekarang dilengkapi dengan motor diesel (PLM).
  2. Palari. adalah bentuk awal pinisi dengan lunas yang melengkung dan ukurannya lebih kecil dari jenis Lamba.
D.   RAGAM HIAS SUL-SEL
1.      Suku Bugis Makassar
Secara umum, ragam hias tenun khas sulawesi selatan dibuat dengan cara tradisional, yaitu dengan menggunakan peralatan dari kayu dan pewarna alami. Katerikatan manusia dengan alam dan lingkungan menjadi tema atau simbol yang khas dari tenun Sul-Sel.
a.       Asal Usul
Sulawesi Selatan (SulSel) cukup terkenal dengan hasil seni tenunnya. Perkembangan tenun di SulSel bermula dari pemakaian benang sutera yang dihias dengan benang perak dan emas pada abad ke-15 dan 16 M. Di waktu yang hampir bersamaan, masyarakat di Indonesia telah membudidayakan tumbuhan murbei dan memelihara ulat sutera dengan diawali di Palembang dan menyusul kemudian di Tajuncu, SulSel (Sahriah dkk., 1990/1991).
Ragam hias tenun di SulSel dibuat dengan cara tradisional, yaitu menggunakan peralatan dari kayu dan pewarna tradisional. Ragam hias tenun SulSel meliputi tiga corak, yaitu geometris, antropomorfis (manusia), zoomorfis (hewan), dan floralistis (tumbuh-tumbuhan). Bentuk berbagai ragam hias tersebut ada yang mengandung simbol tertentu atau hanya sekedar hiasan bernialai seni. Keterikatan manusia dengan alam dan lingkungan menjadi satu tema atau simbol yang khas dari tenun SulSel (Sahriah dkk, 1990/1991; Abdul Kahar Wahid, 1998). Tenun SulSel sebagai salah satu warisan leluhur masih dijaga kelestariannya sampai saat ini. Para perajin di pedesaan SulSel masih memproduksi tenun, baik untuk pakaian keseharian, keperluan upacara adat, atau untuk dijual.
1.      Jenis-jenis Tenun SulSel
Tenun SulSel terdiri dari berragam jenis, antara lain :
·         Lipa Wennang (sarung Benang Kapas)
Berbahan dasar kapas dan tenun dengan cara tradisional, berasal dari kabupaten Bone. Lipa Wennang bercorak geometris dengan motif kotak-kotak dan umumnya berwarna hitam dan biru kabur. Pada bagian kepala sarung, terdapat garis-garis rapat berwarna biru kabur
·         Lipa Garrusu (Sarung untuk Upacara Tradisional)
Berbahan dasar kapas dan ditenun dengan cara tradisional, juga dari kabupaten Bone. Tenun jenis ini bercorak geometris dengan motif segiempat atau kotak-kotak kecil berwarna dasar biru tua. Bagian kepala bercorak garis-garis vertikal agak jarang dengan warna sama.
·         Sekomandi
Berbahan dasar kapas dan ditenun dengan cara tradisional, paling banyak dihasilkan di kabupaten Mamuju. Tenun jenis ini bercorak geometris dengan garis-garis, tumpal, mendaer, dan swastika dengan warna biru, hitam, krem dan coklat. Kedua ujung Sekomandi dibuat berumbai dan biasa digunakan untuk selimut.
·         Pori Londong
Bahan dasar kapas dan ditenun secara tradisional dengan teknik Ikat lungsi. Tenun dari kabupaten Mamuju ini umumnya bercorak bunga, ketupak, sulur-sulur bunga, dan segitiga pucuk rebung. Berwarna biru, hitam, dan krem dengan dasar warna coklat. Kedua ujung tenun ini dibuat rumbai dan umumnya digunakan untuk taplak meja.
·         Sekeng Sidenreng Sipomande
Berbahan dasar kapas dan ditenun secara tradisional, berasal dari kabupaten luwu. Ragam hiasnya geometris garis-garis vertikal dengan pucuk rebung dan belah ketupat. Warna hitam, biru, dan krem dengan dasar cokelat. Ujung tenun dibuat berumbai dan biasanya diguanakan untuk taplak meja.
·         Rundung Lolo
Berbahan dasar kapas dan ditenun secara tradisional, dari kabupaten Luwu. Corak ragam hiasnya berupa garis-garis sejajar dengan pucuk rebung atau gunung berjejer. Warna hitam, biru, dan coklaty kehitaman. Tenun jenis berfungsi sebagai penutup mayat.
·         Pori Situtu
Berbahan dasar kapas dadn ditenun secara tradisional, berasal dari kabupaten Luwu. Corak ragam hias berbentuk kali dan swastika serta kedua ujung jenun dihiasi pucuk rebung. Warna cokelat, hitam, dan krem. Kain ini umumnya difungsikan untuk alas atau tikar dalam pesta adat karena secara filosofis menyimbolkan pandangan hidup masyarakat luwu dalam  menjaga kesatuan suku.
·         Tenun Toraja
Berbahan dasar benang katun dan dibuat secara tradisional. Bercorak ragam hias garis-garis sejajar rapat berwarna kuning, putih, merah, dan cokelat. Kedua ujung kain dibuat berumbai dan biasanya digunakan untuk sarung saat upacara adat di tana Toraja.
·         Pesambo
Berbahan dasar benang katun dan dibuat secara tradisional. Bercorak ragam hias teknik songket berupa belah ketupat di mana bagian tengahnya dipagari garis vertikal dan horisontal berwarna kuning, putih, di atas warna merah. Kain ini biasa digunakan untuk taplak meja oleh masyarakat Tana Toraja.
·         Kain Toraja
Berbahan dasar benang katun dan dibuat secara tradisional. Bercorak ragam hias teknik ikat berupa kepala kerbau dan belah ketupat. Warna cokelat, hitam, biru, dan krem. Kain ini biasa digunakan unutk penutup jenazah oleh masyarakat tana Toraja.
·         Sarung Sutera Mandar
Berbahan dasar benang sutera dan ditenun secra tradisional. Beragam hias garis vertikal warna hijau, kuning, merah benang emas di atas dasar warna cokelat. Pada bagian kepala sarung, diberi hiasan tangkai bunga dengan teknik ikat pakan. Kain biasa digunakan saat upacara adat atau untuk bepergian. Kain ini diproduksi oleh masyarakat Polmas
·         Gambara
Tenun jenis ini berbahan dasar benang katun dan dibuat secara tradisional, berasal dari Bulukumba. Bercorak ragam hias teknik ikat pakan dan lungsi berupa geometris yang dipadukan dengan bunga-bunga. Pada bagian kepala kain, dihias dengan pucuk rebung berhadap-hadapan warna merah hati, kining, puith, jingga, dan hitam.  Gamabara dicetak dan tiga jenis ragam hias berbeda. Kain ini biasanya digunakan untuk penutup jenazah.
·         Sarung Kajang
Tenun jenis ini mirip dengan jenis Lipa Garrusu dari Kabupaten Bone, namun yang ini berasal dari Kajang, Bulukumba.
·         Sarung Sutera
Tenun ini berbahas dasar sutera dan ditenun dengan cara tradisional. Ragam hias dibuat dengan teknik ikan pakan berupa cobo-cobo (segitiga berjejer) berwarna muda dan biru tua. Kain ini biasanya digunakan untuk upacara adat di kabupaten gowa dan diproduksi dalam berbagai ragam hias dan corak dari wajo.
·         Sarung curak cinta
Tenun ini berasal dari kabupaten bantaeng dengan sarung berbahan katun dan ditenun secara tradisional. Beragam hias geometris berupa kotak-kotak kecil warna merah. Kain ini merupakan pakaian perempuan saat upacara adat.
·         Sarung samarinda
Tenun ini merupakan produk lain di kabupaten wajo. Berbahan benang katun dan umumnya ditenun secara tradisional, tenun ini memiliki ragam hias dengan bentuk garis-garis berpadu bunga-bunga dengan teknik ikat pakan. Oleh masyarakat wajo, kain ini bisa digunakan untuk bepergian. Sarung samarinda dicetak dalam tiga model dengan ragam hias yang berbeda.
2.      Bahan dan cara pembuatan
Bahan yang digunakan untuk membuat tenun di sulsel meliputi benang dari kapas, benang katun, benang emas, benang wol, dan benang sutera. Sedangkan peralatan yang dibutuhkan meliputi alat dari kayu untuk mengulur, menggulung dan menyusun benang serta untuk mengatur dan menyelipkan benang tenun songket, menggulung kain yang sudah ditenun dan tempat kaki berpijak. Bahan lain yang perlu disiapkan adalah pewarna tradisional, seperti kasumba (nila) dan daun kabuau untuk warna hitam. Daun kabuau direbus kemudian bahan yang akan diwarnai dicelupkan kedalam rebusan.
Untuk cara pembuatan tenun, tenun sulsel umumnya menggunakan dua teknik desain, yaitu pakan dan lungsi. Dalam perkembangannya, keduanya ditambah teknik songket. Cara membuatnya dengan menyisipkan benang tambahan diatas dan dibawah silangan benang lungsi dan benang pakan sesuai pola corak ragam hias yang diinginka. Penambahan benang dilakukan dengan cara mengangkat atau mencungkil beberapa helai benang lungsin dan menyisipkannya di antara rongga jalinan benang pakan dan benang lungsi.
3.      Fungsi tenun sulsel
Tenun sulsel memilki banyak fungsi sesuai dengan daerah asalnya masing-masing. Meskipun demikian, secara umum tenun sulsel di antaranya berfungsi untuk pakaian sehari-hari, pakaian upacara adat, penutup jenazah, alat denda dalam hukum adat, pelengkap perkawinan adat dan bepergian.
4.      Nilai-nilai
Tenun sulsel mengandung nilai-nilai tertentu bagi kehidupan masyarakat setempat, antara lain :
·         Ekonomi. Tenun sulsel dibuat tidak hanya untuk konsumsi pribadi, namun juga untuk dijual. Harga tenun yang berbahan dasar emas dan sutera dikenal mahal. Dengan corak tertentu, selembar kain tenun sulsel bisa dihargai hingga jutaan rupiah. Secara ekonomi, hal ini dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat sulsel.
·         Pelestarian tradisi. Tenun sulsel merupakan peninggalan leluhur yang berharga. Hingga kini, keberadaan tenun sulsel masih cukup terjaga. Keterjagaan tenun sulsel ini juga didukung oleh pelaksanaan upacara adat yang sering menggunakan kain tenun.
·         Simbol. Nilain ini tercermin dari penggunaan ragam hias yang oleh masyarakat sulsel untuk perlambangan sesuatu. Bunga dan bentuk geometris dipercaya menyimbolkan semangat tertentu dalam hidup orang sulsel.
·         Seni. Ragam hias dan tenun sendiri merupakan seni. Tanpa mempunyai jiwa seni, orang sulsel tidak mungkin dapat menciptakan kain tenun yang indah dilihat dan nyaman dipakai.
·         Kelas sosial. Bagi masyarakat sulsel, memakai tenun adalah sebuah kebanggan dan menyatakan identitas status sosial dalam kehidupan bermasyarkat.
2.      Suku toraja
Ø  PA' BARRE ALLO
Barre = Terbit / Bulat
Allo   = Matahari
Ukiran yang menyerupai bulatan matahari, jenis ukiran ini banyak ditemukan pada bagian muka dan belakang rumah adat Toraja pada papan bagian atas berbentuk segi tiga (Para Longa). Biasanya diatas ukiran Pa' Barre Allo diletakkan ukiran Pa' Manuk Londong.
Makna dari ukiran ini adalah: Percaya bahwa sumber kehidupan dan segala sesuatu yang ada di dunia ini berasal dari Puang Matua (Tuhan Yang Maha Esa), selain itu pemilik tongkonan mempunyai kedudukan yang tertinggi dan mulia.
Pa' Barre Allo
Ø  PA' MANUK LONDONG
Manuk    = Ayam
Londong = Jantan
Pa' manuk londong adalah ukiran berupa ayam jantan, biasanya terdapat pada bagian muka dan belakang rumah adat Toraja pada papan atas berbentuk segitiga. biasanya ukiran ayam jantan diletakkan di atas ukiran pa' barre allo.
Makna dari ukiran ini adalah: Melambangkan kepemimpinan yang arif dan bijaksana, dapat dipercaya oleh karna pintar, pemahaman dan intuisinya tepat serta selalu mengatakan apa yang benar (Manarang ussuka' bongi ungkararoi malillin).
Ø  PA' TEDONG
Tedong = Kerbau
Ukiran ini biasanya dilukiskan pada papan besar teratas (Indo' Para) dan pada dinding-dinding penyanggah badan rumah (Manangga banua). bagi masyarakat toraja kerbau adalah hewan paling tinggi nilai dan statusnya, untuk itu bagi masyarakat toraja kerbau dijadikan standar / ukuran dari semua harta kekayaan.
Makna dari ukiran ini adalah: Ukiran ini bermakna sebagai lambang kesejahteraan dan kekayaan bagi masyarakat toraja, selain itu ukiran ini juga melambangkan kebangsawanan.
Pa' Tedong
Ø  PA' DOTI LANGI'
Doti   = Ilmu (hitam)
Doti   = Saleko (tedong saleko) / Kerbau belang
Doti   = Baik = Cantik
Langi' = Langit
Ukiran ini berupa palang yang berjejer-jejer dan ditengah-tengah ada semacam bintang bersinar seperti bintang di atas langit. Makna dari ukiran ini adalah: Kepintaran / prestasi yang tinggi, kearifan dan ketenangan, juga mempunyai cita-cita yang tinggi pemikiran yang jauh cemerlang kedepan, bisa juga berarti wanita bangsawan, mempunyai kasta tinggi. 
Pa Doti Langi'
Ø  PA' KAPU' BAKA
Kapu' = Ikat
Baka  = Bakul
Kapu' Baka = Pengikat bakul tampat menyimpan harta kekayaan rumah.
Pa' kapu' baka adalah ukiran yang menyerupai simpulan-simpulan penutup bakul (baka) baka bua dalam bahasa toraja adalah merupakan tempat untuk menyimpan harta bagi orang-orang tua jaman dahulu, sebelum ada peti, lemari, atau koper. simpulan-simpulan dari tali ini benar-benar rapih sehinggah ujung simpulan dari tali tidak kelihatan dan jika simpul telah berubah berarti ada yang telah mengambil sesuatu dari dalam bakul itu,
Makna dari ukiran ini adalah: Melambangkan kekayaan dan kebangsawanan, simpul rahasia melambangkan pemilik rumah memiliki pola kepemimpinan dan sukar ditiru oleh orang lain, selain itu juga pandai dalam memelihara rahasia keluarga.
Pa' Kapu' Baka
Ø  PA' ULU KARUA
Ulu     = Kepala
Karua = Delapan (8)
Menurut mitos orang toraja, dahulu kala ada delapan leluhur dari orang toraja yang masing-masing menurunkan ilmu dan pengetahuan menyangkut kehidupan manusia dan dunianya. kedelapan orang inilah yang merupakan penemu (pencipta) ilmu pangetahuan yang diturunkan kepada anak cucu turun-temurun. ilmu dan keterampilan inilah yang dikembangkan manusia dari masa-kemasa hingga pada saat ini antara lain: to sikambi' lolo tau (Ilmu kesehatan dan paramedis), To sikambi' lolo tananan (Ilmu tumbuh-tumbuhan / pertanian), to sikambi' to manarang (Ilmu Teknik), dll.Pa' ulu karua juga berarti bahwa orang yang mempunyai kemampuan untuk berbaur dengan orang lain.
Makna dari ukiran ini adalah: diharapkan dalam keluarga muncul orang (anggota keluarga) yang memiliki ilmu yang tinggi untuk kepentingan keluarga dan masyarakat.
Pa' Ulu Karua

Ø  PA' ULU GAYANG
Ulu       = Kepala
Gayang = Keris Emas
Pa' ulu gayang adalah ukiran yang menyerupai kapala (tangkai) keris emas. jadi merupakan bagian dari pada keris emas (gayang / gaang).
Makna dari ukiran ini adalah: Oleh karna ulu gayang adalah bagian dari gayang (keris emas) maka makna dari ukiran ini sama dengan makna ukiran pa'gayang yaitu malambangkan laki-laki yang mulia, kaya, bijak dan dari golongan bangsawan.

Pa' Ulu Gayang
Ø  PA' BOMBO UAI
Bombo uai = anggang-angang
Pa' bombo uai adalah ukiran yang menyerupai binatang air (anggang anggang) yang dapat bergerak menitih air dengan halus dan sangat cepat. Makna dari ukiran ini adalah: Pintar-pintarlah menitih kehidupan ini dalam hal ini adalah lincah, cekatan, cepat, dan tepat. selain itu ukiran ini juga berarti manusia harus mempunyai keterampilan dan kemampuan yang cukup dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawab.
Pa' Bombo Uai
Ø  PA' BULU LONDONG
Bulu        = Bulu
Londong = Jantan
Ukiran ini menyerupai rumbai ayam jantan. ada pepatah mengatakan: ayam dikenal karna tingkah lakunya. pada ukiran Pa' manuk londong telah dijelaskan tentang arti dan makna Londong (ayam jantan). Pa' bulu londong biasanya di garunggang atau diukir tembus. Makna dari ukiran ini adalah: Bulu rumbai manghiasi ayam jantan demikian pula keperkasaan dan kewibawaan menyertai seorang pemimpin dan lelaki pemberani.

Pa' Bulu Londong
Ø  PA' DAUN PARIA
Paria = sayur paria atau Pare
Kita tau bahwa paria ini merupakan tanaman yang pahit. baik buah dan daun dapat dijadikan sayur-sayuran dan obat-obatan seperti obat batuk, atau malaria. Makna dari ukiran ini adalah: kadang sesuatu yang pahit itu adalah obat yang dapat menyembuhkan. seperti teguran atau nasehat yang harus diterima walau menyakitkan namun akan membawa kebaikan.
Pa' Daun Paria






BAB III
PENUTUP
A.      Kesimpulan
Dari hasil pembahasan diatas maka dapat disimpulkan bahwa kebudayaan itu memang sangat penting karena memiliki banyak ciri khas yang unik khususnya budaya sulsel yang dipenuhi dengan keunikan seperti model rumah, pakaian tradisional, perahu dan ragam hias sulawesi selatan. Keempat hasil-hasil budaya tersebut setiap daerah pun berbeda-beda karena sudah merupakan suatu keunikan tersendiri sehingga para wisatawan menyukai budaya sulawesi selatan.
B.      Saran
Adapun saran yang dapat diutarakan dalam makalah ini ialah semoga budaya yang kita naungi bisa dipertahankan kepada generasi selanjutnya agar tidak terikiuti oleh zaman dan dilupakan.