BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
belakang
Budaya adalah
suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok
orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya terbentuk
dari banyak unsur yang rumit,termasuk sistem agama dan politik,
adat, istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan
karya seni. Bahasa, sebagaimana juga budaya, merupakan bagian tak
terpisahkan dari diri manusia sehingga banyak orang cenderung menganggapnya
diwariskan secara genetis. Ketika seseorang berusaha berkomunikasi dengan
orang-orang yang berbeda budaya dan menyesuaikan perbedaan-perbedaannya,
membuktikan bahwa budaya itu dipelajari.
Budaya
adalah suatu pola hidup menyeluruh. budaya bersifat kompleks, abstrak, dan
luas. Banyak aspek budaya turut menentukan perilaku komunikatif. Unsur-unsur
sosio-budaya ini tersebar dan meliputi banyak kegiatan sosial manusia. Hasil
dari kebudayaan bisa berupa benda - benda, lagu, puisi, dll. sebagai contoh
hasil dari kebudayaan ialah di Sulawesi Selatan itu ada bentuk rumah, pakaian
tradisional, perahu, ragam hias dan masih banyak lagi. Di Indonesia setiap
daerah memiliki kebudayaan masing - masing.
Kebudayaan adalah hasil
manusia baik yang bersifat materi, maupun yang nonmateri.Seperti detailnya
bahwa kebudayaan itu mempunyai tujuh unsur, yakni sistem mata pencaharian hidup
(ekonomi), peralatan hidup (tehnologi), ilmu pengetahuan, sistem sosial,
bahasa, kesenian, dan sistem religi. Jika dihubungkan dengan sejarah, maka
kebudayaan sangat erat kaitannya karena sejarah adalah suatu ilmu yang selalu
membahas ketujuh unsur kebudayaan dilihat dari segi “time”nya. Jadi detailnya
jika kita melihat kebudayaan dari kaca mata sejarah, berarti dalam pembahasannya
kita akan mencoba membahas sejumlah peninggalan-peninggalan kebudayaan yang tersebar
di seluruh Nusantara ini.
B. Rumusan
masalah
1. Bagaimana
model atau bentu rumah suku BMT.
2. Seperti
apakah pakaian tradisional BMT.
3. Bagaimana
bentuk perahu-perahu BMT.
4. Bagaimana
model ragam hias sul-sel.
C. Tujuan
1. Untuk
mengetahui bentuk-bentuk rumah BMT.
2. Untuk
mengetahui seperti pakaian tradisional BMT.
3. Untuk
mengetahui perahu-perahu BMT.
4. Untuk
mengetahui ragam hias sulawesi selatan.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
BENTUK
RUMAH BMT
1. Suku
makassar
Salah satu
suku di Indonesia yang memiliki konsep rumah tradisional adalah suku Makassar.
Rumah tradisional suku Makassar, karena memiliki kemiripan morfologis dengan rumah
tradisional suku Bugis seringkali disatukan dibawah istilah rumah tradisional
Bugis-Makassar. Rumah tradisional Bugis-Makassar merupakan prototi perumah Asia
Tenggara, yaitu rumah panggung dari kayu yang atapnya berlereng dua, dan
kerangkanya berbentuk huruf “H” terdiri dari tiang dan balok yang dirakit tanpa pasak atau
paku; tianglah yang menopang lantai dan atap sedangkan dinding hanyadiikat pada
tiang luar (Schefold dalam Pelras, 2006: 265-267).
Rumah,
bentuk, dan konstruksinya, muncul dalam tradisi manuskrip Sulawesi-Selatan
(Paeni dan Robynson, 2005: 277) pada abad ke-17 hingga kini (Pelras, 2006:267).
Merujuk pada data tersebut, kita bisa berkesimpulan bahwa tradisi membangun
rumah di Sulawesi Selatan adalah sebuah tradisi yang telah berlangsung lama dan
telah mengakar dalam masyarakat Sulawesi Selatan.
Dalam bahasa
Makassar, rumah disebut Balla atau Bola dalam bahasa Bugis. Rumah khas Makassar
( dan juga Bugis ) berbentuk rumah panggung yang tingginya sekitar 3 meter dari
tanah. Disanggah oleh tiang-tiang dari kayu yang berjejer rapih.
Rumah atau
balla berbentuk segi empat dengan lima tiang penyangga ke arah belakang dan 5
tiang penyangga ke arah samping. Untuk rumah milik bangsawan yang biasanya
lebih besar, jumlah tiang penyangganya berjumlah lima ke samping dan enam atau
lebih ke arah belakang. Atap rumah adat Makassar berbentuk pelana, bersudut
lancip dan menghadap ke bawah. Biasanya bahannya terdiri dari nipah, rumbia,
bambu, alang-alang. ijuk atau sirap. Jaman sekarang bahan penutup atapnya sudah
lebih modern tentu saja. Bagian depan dan belakang puncak atap rumah yang
berbatasan dengan dinding dan berbentuk segitiga disebut timbaksela. Dari
timbaksela ini bisa dikenali derajat kebangsawanan pemiliknya.
Timbaksela
yang tidak bersusun menandakan pemiliknya adalah orang biasa, bila bersusun
tiga ke atas menunjukkan pemiliknya adalah bangsawan. Bilsa susunan
timbaksela-nya lebih dari lima atau bahkan sampai tujuh maka menunjukkan sang
pemilik adalah bangsawan yang menduduki jabatan di pemerintahan. Untuk bisa
naik ke atas rumah tentu saja ada tangga atau yang dalam bahasa Makassar
disebut tukak. Tangga juga ada dua macam, yaitu :
·
Sapana, dibuat
dari bambu. Induk tangganya tiga atau empat dan anak tangganya dianyam. Sapana
ini memiliki coccorang ( pegangan ). Tangga jenis ini hanya digunakan oleh para
bangsawan.
·
Tukak, dibuat
dari kayu atau bambu. Induk tangganya ada dua dan ada juga yang tiga untuk
bangsawan. Untuk warga biasa tangga jenis ini tidak memiliki coccorang atau
pegangan. Anak tangganya selalu ganjil.
Tapi jaman sekarang semua aturan tentang tangga itu tampaknya mulai kabur,
seiring dengan modifikasi tangga yang menggunakan bahan-bahan yang lebih modern
seperti batu dan semen. Sedangkan pembagian ruang untuk rumah khas Makassar
adalah sebagai berikut :
·
Dego-dego : ruangan
kecil dekat tangga sebelum masuk ke dalam rumah atau pada rumah modern disebut
sebagai teras. Biasanya digunakan untuk bersantai atau menunggu pemilik rumah
keluar.
·
Tambing : ruangan
yang berbentuk lorong yang letaknya di samping kale balla ( rumah induk ) yang
letaknya lebih rendah.
·
Kale Balla : rumah
induk atau badan rumah. Terdiri dari paddaserang atau ruangan. Ruangan paling
depan yang digunakan untuk menerima tamu disebut paddaserang dallekang (
ruangan depan ), sedangkan bagian tengah disebut paddaserang tangnga ( ruangan
tengah ) yang digunakan untuk kegiatan yang lebih privat. Bagian belakang
disebut paddaserang riboko ( ruangan belakang ) yang fungsinya untuk kamar,
utamanya kamar anak gadis.
·
Balla pallu/dapur, digunakan
untuk kegiatan masak memasak dan menyimpan alat masak. Biasanya ketinggiannya
lebih rendah dari paddaserang.
Sedangkan
untuk kegiatan mandi, cuci dan kakus biasanya terpisah dari bangunan rumah dan
terletak agak di belakang. Tiap rumah biasanya punya sumur sendiri-sendiri atau
biasanya sebuah sumur digunakan oleh beberapa rumah.
Rumah khas
Makassar biasanya tidak menggunakan plafond dan di bagian atas antara dinding
dan atap biasanya dibuat sebuah ruang yang disebut pammakkang. Fungsinya adalah
menempatkan benda-benda khusus atau biasanya padi yang sudah siap dijadikan
beras. Bagian bawah rumah disebut siring dan biasanya digunakan untuk bersantai
dengan menempatkan balai-balai. Beberapa rumah juga menggunakannya sebagai
gudang.
Salah satu
rumah adat yang masih tersisa dan masih bisa dilihat serta dikunjungi adalah
Balla Lompoa ( rumah besar ) yang merupakan rumah peninggalan kerajaan Gowa.
Rumah ini terletak di kawasan istana kerajaan Gowa. Pemerintah kabupaten Gowa
membuat sebuah rumah besar yang digunakan sebagai museum dan tempat pusat
penyelenggaraan acara-acara khusus. Seperti pada gambar dibawah ini :
2. Suku
bugis
Rumah bugis memiliki keunikan tersendiri, dibandingkan
dengan rumah panggung dari suku yang lain ( Sumatera dan Kalimantan ).
Bentuknya biasanya memanjang ke belakang, dengan tanbahan disamping bangunan
utama dan bagian depan [ orang bugis menyebutnya lego - lego ].
Bangunan rumah tradisional Bugis – Makassar
termasuk bangunan profan, yaitu rumah-rumah tinggal dalam istana. Berbentuk
tertutup dan tunggal, berkonstruksi bambu dan kayu, namun ada bagian-bagian
tertentu yang dianggap sakral, seperti tiang tengah (posi’) dan loteng
(rakkeang). Seni rancang bangun yang diciptakan turun-temurun oleh masyarakat
tertentu itulah yang disebut “rumah adat”, tanpa memandang status atau golongan
sosial pemiliknya. Namun, dalam konteks ini, pengertian rumah adat dibatasi
hanya pada rumah atau bekas istana raja dan bangsawan, karena mampu bertahan
sampai kini dan berkaitan dengan suatu peristiwa sejarah. Mengapa mampu
bertahan? karena memiliki kualitas tinggi baik dari aspek teknologi maupun
kualitas bahan yang digunakan.
Tipe rumah adat Bugis-Makassar merupakan rumah
panggung yang berdiri diatas tiang kayu. Atapnya berbentuk pelana untuk
memudahkan aliran air hujan, mengingat daerah Sulawesi Selatan mempunyai
intensitas curah hujan yang tinggi. Menurut Mangungwijaya (1980), bahwa bentuk
rumah panggung, adalah jenis bangunan yang sangat umum dan tersebar dari Bima
sampai ke Hawaii, Indonesia dan Jepang. Begitupula dengan bentuk atapnya. Tipe
rumah Bugis-Makassar ini merupakan perkembangan dari tujuan semula sebagai
tempat berlindung dari hujan dan panas, gangguan binatang buas serta gangguan
dari serangan manusia (suku lain).
Disadari atau tidak, tipe rumah panggung ini
memberikan efek fisik yang cukup baik sesuai kondisi iklim Indonesia yang
tropis dan lembab, sehingga penghuninya merasa nyaman, aman dan tenteram serta
sehat. Selain itu, bahan-bahan yang digunakan dan konstruksinya dirancang
elastis, sehingga bangunan rumah seperti ini tahan goncangan gempa dan cukup
mampu bertahan dari terpaan angin kencang.
Rumah orang Bugis-Makassar juga digolongkan
menurut lapisan sosial pemiliknya. Berdasarkan hal itu, maka ada tiga macam
rumah, yaitu:
1. Sao Raja dalam
bahasa Bugis atau Balla’ Lompo dalam bahasa Makassar, adalah rumah besar yang
didiami oleh keluarga kaum bangsawan. Rumah ini biasanya mempunyai ciri-ciri
antara lain; berpetak lima atau tujuh, timpa laja’ (bubungan)-nya bersususn
lima bagi Raja berkuasa dan bersusun tiga bagi bangsawan lainnya. Mempunyai
sapana, yaitu tangga beralas bertingkat dibagian bawah dengan atap diatasnya.
Pada orang Bugis, sao raja yang berpetak lebih dari tujuh khusus bagi tempat
kediaman raja besar disebut salassa’.
2. Sao piti’ dalam
bahasa Bugis atau tarata’ dalam bahasa Makassar, berbentuk lebih kecil dari sao
raja, adalah rumah tempat kediaman yang berpetak tidak lebih dari empat, tanpa
sapana dan mempunyai bubungan yang bersusun satu atau tiga. Biasanya didiami
oleh orang baik-baik, orang kaya atau orang berkedudukan dan terpandang dalam
masyarakat.
3. Bola to sama’ atau
barum-parum dalam bahasa Bugis atau balla’ dalam bahasa Makassar, merupakan
rumah tempat kediaman rakyat kebanyakan. Rata-rata berpetak tiga, berbubungan
lapis dua dan tidak mempunyai sapana.
Semua rumah Bugis-Makassar yang berbentuk adat,
mempunyai satu panggung di depan pintu yang disebut tamping, adalah tempat bagi
para tamu menunggu sebelum dipersilahkan oleh tuan rumah untuk masuk ke dalam
ruang tamu.
Sao piti sekarang ini telah hilang dari
perbendaharaan kata Bugis-Makassar pada akhir-akhir ini, yang populer sekarang
hanyalah istilah sao raja atau balla’ lompo dan bola atau balla’. Istilah sao
raja atau balla’ lompo dipakai baik untuk raja pusat maupun rumah untuk raja
vasal (arung lili’) dan bangsawan lainnya.
Tipe
ini masih bervariasi, seperti diuraikan berikut:
1. Bola Siwali (Bugis) atau
Kambara’na (Makassar), adalah kamar dibangun disampingemperan yang disebut
tamping (Bugis) dan jambang (Makassar). Bola Siwali ini hanya mempunyai satu
kamar dan beratap sendiri yang dihubungkan oleh titian atau alleteng (Bugis)
dan tete (Makassar). Kamar tersebut diperuntukkan khusus tamu agung.
2. Jongke’ dalam bahasa Bugis
maupun bahasa Makassar, adalah rumah yang lebih kecil daripada rumah induk yang
berfungsi sebagai dapur. Dibangun agak kebelakang sejajar atau melintang dengan
rumah induk. Seperti bola Siwali, Jongke’ ini juga dihubungkan dengan titian ke
rumah induk. Jongke’ yang sejajar dengan rumah induk, disebut pula bola tonda
(rumah gandeng)
Antara tanah dan badan rumah dihubungkan oleh
tangga dengan istilah yang beracam-macam pula, seperti:
1. Sapana, yaitu tangga yang
berjejer ganda (dua), tebuat dari bambu dengan lapisan dasar bambu utuh yang
diberi lubang kemudian ditusukkan berjejer.
2. Coccorang, yaitu
tangga yang terbuat dari bahan kayu dengan memakai penghalang pada bagian sisi
sebagai pegangan. Tangga ini digunakan pada rumah bangsawan.
3. Addeneg, yaitu tangga untuk
rumah biasa baik dari kayu maupun dari bambu, berdiri tunggal tanpa pegangan
yang disebut coccorang pada bagian sisinya.
Perkembangan tipe rumah tersebut diatas
berlansung sekitar abad XVIII dan XIX. Rumah-rumah telah diberi dekorasi dari
bunga rambat, colli paku, bunga delima dan lain-lain. Pola bunga rambat di
Sulawesi Selatan dikenal berkembangnya pada abad XVIII.
Adapun
bagian-bagian dari rumah panggung suku bugis diantaranya :
1. Alliri
(Tiang)
Model rumah bugis pada mulanya hanya
diperuntukkan bagi kalangan bangsawan. Misalnya, hanya mereka yang boleh
menggunakan tiang segi empat atau segi delapan, sedangkan orang biasa hanya
boleh menggunakan tiang bundar. Tiang rumah (alliri) bertumpu di atas
tanah dan berdiri hingga ke loteng serta menopang berat atap. Tetapi sekarang,
makin banyak rumah besar yang tiangnya tidak di ditanam lagi, tetapi ditumpukan
di atas pondasi batu. Biasanya terdiri dari 4 batang setiap barisnya. jumlahnya
tergantung jumlah ruangan yang akan dibuat. tetapi pada umumnya, terdiri dari 3
/ 4 baris alliri. Jadi totalnya ada 12 batang alliri.
2.
Awa Bola (Kolong Rumah)
Awa bola ialah kolong yang terletak
pada bagian bawah, yakni antara lantai dengan tanah. Kolong ini biasa pada
zaman dulu dipergunakan untuk menyimpan alat pertanian, alat berburu, alat
untuk menangkap ikan dan hewan-hewan peliharaan yang di pergunakan dalam
pertanian.
3.
Arateng dan Ware’ ( Penyangga Lantai
dan Penyangga Loteng )
Pada setiap tiang dibuat lubang segi
empat untuk menyisipkan balok pipih penyangga lantai (arateng) dan balok
pipih penyangga loteng (ware’), yang menghubungkan panjang rangka rumah.
Dahulu, rumah yang tiangnya ditanam tidak menggunakan balok penyangga loteng,
dan balok penyangga lantai tidak disisipkan pada tiang, tetapi diikat.
4.
Ale Bola ( Badan Rumah )
Ale bola ialah badan rumah yang
terdiri dari lantai dan dinding yang terletak antara lantai dan loteng. Pada
bagian ini terdapat ruangan-ruangan yang dipergunakan dalam aktivitas
sehari-hari seperti menerima tamu, tidur, bermusyawarah, dan berbagai aktifitas
lainnya. Badan rumah tediri dari beberapa bagian rumah seperti:
Lotang risaliweng, Pada bagian depan
badan rumah di sebut yang berfungsi sebagai ruang menerima tamu, ruang tidur
tamu, tempat bermusyawarah, tempat menyimpan benih, tempat membaringkan mayat
sebelum dibawa ke pemakaman.
5.
Posi’ Bola ( Pusat Rumah )
Rumah Bugis memiliki struktur dasar
yang terdiri atas 3 kali 3 tiang (3 barisan tiang memanjang dan 3 baris
melebar) berbentuk persegi empat dengan satu tiang ditiap sudutnya, dan
pada setiap sisi terdapat satu tiang tengah, serta tepat di tengah persilangan
panjang dan lebar terdapat tiang yang disebut ”pusat rumah”(posi bola).
Umumnya, rumah orang biasa terdiri atas empat tiang untuk panjang dan empat
untuk lebar rumah.
6.
Timpa’ Laja
Berbagai ciri khas juga ditambahkan
pada rumah-rumah kalangan bangsawan tinggi untuk menunjukkan status sosial
mereka. Ciri paling menonjol adalah jumlah bilah papan yang menyusun dinding
bagian muka atap rumah (timpa’ laja’, dari bahasa Melayu tebar layar):
Dua lapis untuk tau deceng, Tiga untuk ana’cera’, lima untuk
ana’ ma’tola,dan tujuh untuk penguasa kerajaan-kerajaan utama
bugis,luwu’,bone, wajo’,soppeng, dan sidenreng. Sementara itu, hanya golongan ana’
cera’ ke atas yang berhak menggunakan tangga yang naik membujur.
7.
Addengeng (Tangga)
Sementara itu, hanya golongan ana’
cera’ ke atas yang berhak menggunakan tangga yang naik membujur. Dan hanya
kalangan bangsawan tertinggi boleh menggunakan tangga berupa latar miring tanpa
anak tangga, terbuat dari bila-bila bambu yang, notabene, sangat licin dan
disebut sapana ( bahasa Sansekerta yang mungkin diadopsi lewat bahasa
Melayu: Sopana ’tangga’).
8.
Tamping
Pada sisi panjang (bagian samping
badan rumah) biasanya ditambahkan tamping, yakni semacam serambi
memanjang yang lantainya sedikit lebih rendah, dengan atap tersendiri; pintu
masuk bagian depan berada di ujung depan tamping dan jika ruang dapur
tidak terpisah dapurnya berada di ujung di belakang tamping. Kalaupun
ada tambahan lain, dengan rancangan lebih kompleks, bentuk segi empat tetap
jadi pola dasar.
9.
Rakkeang ( Langit-langit )
Rakkeang, adalah bagian diatas
langit - langit (eternit). Dahulu biasanya digunakan untuk menyimpan padi yang
baru di panen.
10.
Anjong
Selain sebagai hiasan rumah, anjong
juga memiliki makna tertentu bagi orang bugis. Anjong merupakan salah satu ciri
khas orang bugis, dimana pada rumah orang bangsawan memiliki lebih dari dua
anjong.Sedangkan anjong pada rumah orang biasa tidak lebih dari dua.
Pada dasarnya,
rumah tersebut memiliki atap (pangate’) dua latar dengan sebuah bubungan
lurus (alekke’), yang berbeda dengan bubungan lengkung yang terdapat
pada rumah toraja, Batak, dan Minangkabau, serta pada rumah Jawa. Dindingnya (renring)
terbuat dari bahan ringan, sementara lantainya (salima) berjarak sekitar
2 meter / kadang-kadang lebih dari permukaan tanah dan kolong rumah (awa
bola) biasanya dibiarkan terbuka.
Dari bentuk
denahnya yang berbentuk persegi empat memanjang ke belakang..Bagi orang Bugis,
empat adalah angka sakral…segala sesuatu dapat dikatakan sempurna jika genap
berjumlah empat atau sulapa’ eppa’, berangkat dari falsafah hidup
mencari kesempurnaan ideal untuk mengenali dan mengatasi kelemahan
manusia dengan dunia empat sisi (Elizabeth Morell,2005:240).
Menurut budayawan
Prof Mattulada, Sulapa eppa (empat sisi) adalah bentuk mistis kepercayaan
Bugis-Makassar klasik yang menyimbolkan susunan semesta, api-air-angin-tanah. Falsafah
empat inilah yang kemudian dimanifestasikan dalam membangun rumah yang biasa
disebut “bola genne” atau “rumah sempurna” yang berbentuk
persegi empat. Masyarakat Bugis juga mengenal strata sosial, hal ini terlihat
pula dalam bentuk rumah yang terdiri atas Saoraja (rumah untuk raja dan
kalangan bangsawan) dan Bola (rumah rakyat biasa) . Perbedaan
rumah Saoraja dan Bola hanya terletak pada ukuran bangunannya, dimana
Saoraja lebih besar dibandingkan Bola sehingga jumlah tiang pada Saoraja
40-48 tiang, sedangkan bola 20-30 tiang, sedangkan pada timpa’laja,
seperti pada gambar, memperlihatkan bahwa pada saoraja memiliki timpa’laja
yang bertingkat-tingkat, sedang bola biasa saja.
Material Rumah Bugis
Dalam pemilihan
material struktur, masyarakat Bugis sangat teliti dalam pemilihan material
untuk dipakai membangun rumah, tidak ketinggalan pula nilai filosofinya.
1. Aju Panasa (Kayu Nangka) biasa digunakan untuk
tiang pusat rumah yang biasa disebut possi bola.
- Aju bitti,
aju amara,
dan aju jati, ketiga jenis kayu ini dapat digunakan untuk tiang
rumah atau possi bola. Namun, jika menggunakan kayu jati harus lebih dari
satu karena, menurut orang bugis jati dari kata maja ati, sehingga jika
menggunakan kayu jati dapat membuat orang iri dan dengki pada si empunya
rumah
- Aju ipi, aju
seppu, dan batang kelapa. Ketiga jenis kayu ini dipakai untuk arateng, yaitu
berupa balok pipih berderet yang memanjang ke belakang untuk
mengikat tiang pada bagian tengah rumah. Ketiga kayu ini juga digunakan
untuk pattolo riawa yaitu balok pipih panjang yang berfungsi
mengikat deretan tiang bagian tengah dari arah kanan ke kiri; dan aju
lekke yang berfungsi menyangga dan menahan kerangka atap.
- Aju tippulu dan batang lontar, kedua jenis
kayu ini digunakan untuk membuat pare’, balok pipih panjang
berderet ke belakang sejajar dengan arateng, yang berfungsi
mengikat tiang-tiang sebelah atas. Panjangnya sama dengan aju lekke.
Kayu jenis ini juga dipakai untuk membuat padongko atau pattolo
riase yaitu balok pipih panjang yang dipakai mengikat ujung tiang
bagian atas sejajar dengan pattolo riawa; dan tanneba, yaitu
balok berukuran kecil sebagai dasar dari lantai rumah dan menahan papan
yang akan menjadi lantai rumah.
- Aju cendana, dipakai untuk membuat barakkapu,
yaitu dari balok kecil untuk membuat rakkeang atau loteng.
- Bambu untuk
dinding, tangga, atau lantai.
- Daun rumbia,
Khusus untuk ijuk dan nipah digunakan pada rumah saoraja, sedang bola
biasa menggunakan daun rumbia dan ilalang.
3. Suku
Toraja
Adat Toraja biasa disebut Baruang Tongkonan,
tongkonan sendiri mempunyai arti tongkon “duduk“, tempat “an”
bisa dikatakan tempat duduk, tetapi bukan tempat duduk arti yang sebenarnya
melainkan, tempat orang di desa untuk berkumpul, bermusyawarah, dan
menyelesaikan masalah-masalah adat.
Hampir semua rumah orang Toraja
menghadap ke arah utara, menghadap ke arah Puang Matua sebetuan orang
toraja bagi tuhan yang maha esa. Selain itu untuk menghormati leluhur mereka
dan dipercaya akan mendapatkan keberkahan di dunia ini.
Daerah Tana Toraja umumnya merupakan
tanah pegunungan kapur dan batu alam dengan ladang dan hutan yang masih luas,
dilembahnya terdapat hamparan persawahan.
Tongkonan sendiri bentuknya adalah
rumah panggung yang dibangun dari kombinasi batang kayu dan lembaran papan.
Kalau diamati, denahnya berbentuk persegi panjang mengikuti bentuk praktis dari
material kayu. Material kayu dari kayu uru, sejenis kayu lokal yang berasal
dari Sulawesi. Kualltas kayunya cukup baik dan banyak ditemui di hutan-hutan di
daerah Toraja. Kayu di biarkan asli tanpa di pelitur atau pernis.
Rumah Toraja / Tongkonan ini dibagi
menjadi 3 bagian: yang pertama kolong (Sulluk Banua), kedua
ruangan rumah (Kale Banua) dan ketiga atap (Ratiang Banua).
Pada bagian atap, bentuknya
melengkung mirip tanduk kerbau. Di sisi barat dan timur bangunan terdapat
jendela kecil, tempat masuknya sinar matahari dan aliran angin. Menilik Latar
belakang arsitektur rumah tradisional Toraja menyangkut falsafah kehidupan yang
merupakan landasan dari kebudayaan orang Toraja itu sendiri.
Dalam pembangunan rumah adat
Tongkonan ada hal-hal yang mengikat atau hal yang di haruskan dan tidak boleh
di langgar, yaitu: Rumah harus menghadap ke utara, letak pintu di bagian depan
rumah, dengan keyakinan bumi dan langit merupakan satu kesatuan dan bumi dibagi
dalam 4 penjuru mata angin, yaitu:
- Utara disebut
Ulunna langi, yang paling mulia di mana Puang Matua berada
(keyakinan masyarakat Toraja).
- Timur disebut
Matallo, tempat metahari terbit, tempat asalnya kebahagiaan atau
kehidupan.
- Barat disebut
Matampu, tempat metahari terbenam, lawan dari kebahagiaan atau
kehidupan, yaitu kesusahan atau kematian.
- Selatan
disebut Pollo’na langi, sebagai lawan bagian yang mulia, tempat
melepas segala sesuatu yang tidak baik / angkara murka.
Pembangunan rumah tradisional Toraja
biasanya dilakukan secara gotong royong. Rumah Adat Toraja di bedakan menjadi 4
macam:
- Tongkonan
Layuk, rumah adat
tempat membuat peraturan dan penyebaran aturan-aturan.
- Tongkonan
Pakamberan atau Pakaindoran, rumah adat tempat melaksanakan aturan-aturan.
Biasanya dalam satu daerah terdapat beberapa tongkonan, yang semuanya
bertanggung jawab pada Tongkonan Layuk.
- Tongkonan
Batu A’riri,
rumah adat yang tidak mempunyai peranan dan fungsi adat, hanya sebagai
tempat pusat pertalian keluarga.
·
Tongkonan
Pa’rapuan”, fungsinya sama dengan Tongkonan Batu A’riri tetapi tidak
boleh diukir seperti tiga tongkonan diatas dan tidak memakai Longa.
Bangsawan Toraja yang memiliki
Tongkonan umumnya berbeda dengan Tongkonan dari orang biasanya. Perbedaan ini
bisa kita lihat pada bagian rumah terdapat tanduk kerbau yang disusun rapi
menjulang ke atas, semakin tinggi atau banyak susunan tanduk kerbau tersebut
semakin menukjukkan tinggi dan penting status sosial si pemilik rumah.
Kenapa harus tanduk Kerbau? bagi
orang Toraja, kerbau selain sebagai hewan ternak mereka juga menjadi lambang
kemakmuran dan status. Nah oleh sebab itu kenapa tanduk atau tengkorak kepala
kerbau di pajang dan disimpan di bagian rumah karena sebagai tanda bawasannya
keberhasilan si pemilik rumah mengadakan sebuah upacara / pesta.
Tongkonan
atau rumah adat Toraja menurut keyakinan penduduknya harus selalu menghadap ke
Utara.Hal tersebut berkaitan dengan keyakinan dalam Aluk Todolo,yang sampai
sekarang mempengaruhi pertumbuhan dari kebudayaan Toraja pada umumnya karena
sudah merupakan pandangan hidup orang Toraja.
Sebabnya,sehingga
bangunan Tongkonan harus menghadap ke Utara adalah berpangkal pada keyakinan
dalam Sukaran Aluk atau adat yang mengatakan bahwa bumi dan langit ini tidak
dapat dipisahkan dan tetap merupakan suatu kesatuan,makanya dalam
mempergunakannya itu harus pula selalu bertolak dari kesatuan bumi dan langit
agar tidak terdapat kesimpang siuran.
Etnis Toraja mendiami dataran tinggi
di kawasan utara Sulawesi Selatan. Pada umumnya wilayah permukiman masyarakat
Toraja terletak di pegunungan dengan ketinggian 600 hingga 2800m di atas
permukaan laut. Temperatur udara kawasan permukiman masyarakat Toraja berkisar
pada 150 hingga 300C. Daerah ini tidak berpantai,
budayanya unik, baik dalam tari-tarian, musik, bahasa, makanan, dan kepercayaan
Aluktodolo yang menjiwai kehidupan masyarakatnya. Keunikan itu terlihat
juga pada pola permukiman dan arsitektur tradisional rumah mereka, upacara
pengantin serta ritual upacara penguburannya.
Kondisi Tana Toraja, yang
dipegunungan dan berhawa dingin diduga mendasari ukuran pintu dan jendela yang
relatif kecil, lantai dan dindingnya dari kayu yang tebal. Ukuran atap rumah
tradisional Toraja yang terbuat dari susunan bambu sangat tebal. Wujud
konstruksi ini sangat diperlukan untuk menghangatkan temperatur udara interior
rumah.
Pada masyarakat tradisional Toraja,
dalam kehidupannya juga mengenal filosofi “Aluk A’pa Oto’na” yaitu empat
dasar pandangan hidup : Kehidupan Manusia, kehidupan alam leluhur “Todolo”,
kemuliaan Tuhan, adat dan kebudayaan. Keempat filosofi ini menjadi dasar
terbentuknya denah rumah Toraja empat persegi panjang dengan dibatasi dinding
yang melambangkan “badan” atau “Kekuasaan”. Dalam kehidupan
masyarakat toraja lebih percaya akan kekuatan sendiri, “Egocentrum”. Hal
ini yang tercermin pada konsep arsitektur rumah mereka dengan ruang-ruang agak
tertutup dengan “bukaan” yang sempit.
Selain itu konsep arsitektur
tradisional toraja, banyak dipengaruhi oleh ethos budaya “simuane tallang” atau
filosofi “harmonisasi” dua belahan bambu yang saling terselungkup
sebagaimana cara pemasangan belahan bambu pada atap rumah adat dan
lumbung. Harmonisasi didapati dalam konsep arsitektur “Tongkonan”
yang menginteraksikan secara keseluruhan komponen “tongkonan” seperti :
Rumah, lumbung, sawah, kombong, rante dan liang, didalam satu sistem kehidupan
dan penghidupan orang toraja didalam area tongkonan. Selain itu, makro dan
mikro kosmos tetap terpelihara didalam tatanan kehidupan masyarakat tradisional
toraja, dimana rumah dianggap sebagai “mikrokosmos”.
Tongkonan dibangun dengan
bahan-bahan alami seperti bambu, kayu, dan rotan. Rangka,tiang dan balok
biasanya dibuat dari kayu atau bambu. Lantainya terdiri dari papan kayuyang diletakkan
di atas palang melintang, antara papan lantai dan palang kayu, terdapatlapisan
bambu untuk memberikan kekakuan lebih pada lantai. Sementara itu, dinding
dan partisinya terbuat dari papan kayu, pancang kayu, atau anyaman bambu.
Semua komponen ini dibuat terlebih dahulu di tempat terpisah yang disebut
’pondok’. Setelah jadi, barulah komponen-komponen ini disusun menjadi satu
di tempat yang telah ditentukan tanpa menggunakan paku.Atap Tongkonan
Tradisonal dari BambuMasyarakat Toraja biasanya mendapat material-material ini
dari hutan dan alam di sekitar mereka. Mereka juga menggunakan peralatan
pertukangan sederhana dan peralatan ukir.
B.
PAKAIAN TRADISIONAL
1. Suku bugis dan makassar
Baju Bodo adalah pakaian tradisional perempuan
Makassar. Dalam suku Bugis baju ini disebut Waju Tokko. Baju Bodo
berbentuk segi empat, biasanya berlengan pendek, yaitu setengah atas bagian
siku lengan. Dalam bahasa Makassar, kata “Bodo” berarti pendek.
Baju Bodo atau Waju Tokko, sudah dikenal oleh masyarakat
Sulawesi Selatan sejak pertengahan abad IX (pen),
hal ini diperkuat dari sejarah kain Muslin,
kain yang digunakan sebagai bahan dasar Baju Bodo itu sendiri. Kain
Muslin adalah lembaran kain hasil tenunan dari pilinan kapas yang dijalin
dengan benang katun. Memiliki rongga dan kerapatan benang yang renggang
menjadikan kain Muslin sangat cocok untuk daerah tropis dan daerah beriklim
kering.
Kain Muslin (Eropa) atau Maisolos (Yunani Kuno), Masalia
(India Timur) dan Ruhm (Arab), tercatat pertama kali dibuat dan diperdagangkan
di kota Dhaka, Bangladesh, hal ini merujuk pada catatan seorang pedagang Arab
bernama Sulaiman pada abad IX. Sementara Marco Polo pada tahun 1298 Masehi,
dalam bukunya The Travel
of Marco Polo, menjelaskan bahwa kain Muslin itu dibuat di Mosul
(Irak) dan dijual oleh pedagang yang disebut “Musolini”. Uniknya,
masyarakat Sulawesi Selatan sudah lebih dulu mengenal dan mengenakan jenis kain
ini dibanding masyarakat Eropa, yang baru mengenalnya pada abad XVII dan baru
populer di Perancis pada abad XVIII.
Dalam Festival Busana Nusantara 2007 di Kuta – Bali,
perancang busana kenamaan Oscar Lawalata menegaskan bahwa “Baju Bodo itu adalah
salah satu baju tertua di dunia dan dunia internasional belum mengetahuinya.”
Pada awal munculnya, Baju Bodo/Waju Tokko, tidaklah lebih
dari baju tipis dan longgar sebagaimana karakter kain Muslin. Tampilannya masih
transparan sehingga masih menampakkan payudara, pusar dan lekuk tubuh
pemakainya. Hal ini diperkuat oleh James Brooke dalam bukunya Narrative of Events,
sebagaimana dikutip oleh Christian Pelras dalam Manusia Bugis, yang
mengatakan:
“Perempuan [Bugis] mengenakan pakaian
sederhana… Sehelai sarung [menutupi pinggang] hingga kaki dan baju tipis
longgar dari kain Muslin (kasa), memperlihatkan payudara dan leluk-lekuk dada.”
Anak gadis memakai Baju Bodo/Waju Tokko di tahun 1930an
Gadis remaja memakai Baju Bodo/Waju Tokko
di tahun 1900an
Pada awal abad ke-19, Don
Lopez comte de Paris, seorang pembantu setia Gubernur Jenderal Deandels
memperkenalkan penutup dada yang dalam bahasa Indonesia disebut “Kutang” pada
perempuan Jawa, namun sayang kutang ini belum populer di tanah Bugis-Makassar.
Sehingga tidak janggal jika pada tahun 1930-an, masih banyak ditemui
perempuan Bugis-Makassar memakai Baju Bodo/Waju Tokko tanpa memakai penutup dada
Masuknya Islam dan Munculnya Baju La’bu
Meski ajaran agama Islam
sudah mulai menyebar dan dipelajari oleh masyarakat di Sulawesi sejak abad
ke-5, namun secara resmi baru diterima sebagai agama kerajaan pada abad ke-17.
Pergerakan
DII/TII di Sulawesi juga berpengaruh besar pada perkembangan Baju Bodo saat
itu. Ketatnya larangan kegiatan dan pesta adat oleh DII/TII, membuat Baju Bodo
menjadi asing dikalangan masyarakat Sulawesi Selatan.
Larangan ini
muncul mengingat penerapan syariat Islam yang diusung oleh pergerakan DII/TII.
Tak pelak, pelarangan ini menjadi isu besar dikalangan para pelaku adat dan
agamawan. Dalam ajaran agama Islam ditegaskan bahwa, pakaian yang dibenarkan
adalah pakaian yang menutup aurat, tidak menampakkan lekuk tubuh dan rona kulit
selain telapak tangan dan wajah. Kontroversi ini kemudian disikapi bijak oleh
kerajaan Gowa, hingga muncullah modifikasi baju bodo yang dikenal dengan
nama Baju La’bu (serupa
dengan Baju Bodo, tetapi lebih tebal, gombrang, panjang hingga lutut).
Gadis remaja memakai Baju La’bu
Perlahan, Baju Bodo/Waju
Tokko yang semula tipis berubah menjadi lebih tebal dan terkesan kaku. Jika
pada awalnya memakai kain muslin, berikutnya baju ini dibuat dengan bahan
benang sutera. Bagi golongan agamawan, adanya Baju La’bu ini adalah solusi
terbaik, tidak melanggar hukum Islam dan juga tidak menghilangkan nilai adat.
Warna dan Arti
Menurut adat
Bugis, setiap warna Waju Tokko yang dipakai oleh perempuan Bugis menunjukkan
usia ataupun martabat pemakainya.
·
Anak
dibawah 10 tahun
memakai Waju Tokko yang disebut Waju
Pella-Pella (kupu-kupu), berwarna kuning gading (maridi) sebagai
pengambaran terhadap dunia anak kecil yang penuh keriangan. Warna ini adalah
analogi agar sang anak cepat matang dalam menghadapi tantangan hidup.
·
Umur
10-14 tahun memakai
Waju Tokko berwarna jingga atau merah muda. Warna merah muda dalam bahasa Bugis
disebut Bakko,
adalah representasi dari kata
Bakkaa, yang berarti setengah matang.
·
Umur
14-17 tahun, masih
memakai Waju Tokko berwarna jingga atau merah muda, tapi dibuat
berlapis/bersusun dua, hal ini dikarenakan sang gadis sudah mulai tumbuh
payudaranya. Juga dipakai oleh mereka yang sudah menikah tapi belum memiliki
anak.
·
Umur
17-25 tahun memakai
Waju Tokko berwarna merah darah, berlapis/ bersusun. Dipakai oleh perempuan
yang sudah menikah dan memiliki anak, berasal dari filosofi, bahwa sang
perempuan tadi dianggap sudah mengeluarkan darah dari rahimnya yang berwarna
merah.
·
Umur
25-40 tahun memakai
Waju Tokko berwarna hitam. Waju Tokko berwarna putih digunakan oleh para
inang/pengasuh raja atau para dukun atau bissu. Para bissu memiliki titisan
darah berwarna putih, inilah yang mengantarkan mereka mampu menjadi penghubung
dengan Botting Langi (khayangan), peretiwi (dunia nyata),
dan ale kawa(dunia
roh). Mereka dipercaya tidak memiliki alat kelamin, sehingga terlepas dari
kepentingan syahwat.
Para putri raja, bangsawan
dan keturunannya yang dalam bahasa Bugis disebut maddara takku (berdarah
bangsawan) memakai Waju Tokko berwarna hijau. Dalam bahasa Bugis, warna hijau
disebut kudara,
yang berasal dari kata na-takku
dara-na, yang secara harfiah berarti “mereka yang menjunjung tinggi
harkat kebangsawanannya.”
Waju Tokko berwarna ungu
dipakai oleh para janda. Dalam bahasa Bugis, warna ungu disebut kemummu yang juga dapat
berarti lebamnya bagian tubuh yang terkena pukulan atau benturan benda
keras. Dalam pranata sosial masyarakat Bugis jaman dahulu, menikah dengan
seorang janda merupakan sebuah aib.
Cara Pakai dan Aksesoris
Cara memakai Baju Bodo/Waju
Tokko sangat mudah, layaknya seperti memakai t-shirt. Baju Bodo/Waju
Tokko dikenakan dengan menggunakan bawahan Lipa’ Sa’be (sarung sutera) yang
bermotif kotak-kotak cerah. Lipa’ Sa’be dipakai seperti memakai sarung
yang kadang diperkuat dengan tali atau ikat pinggang agar tidak melorot.
Beragam motif Lipa’ Sa’be, Pada
bagian pinggang, Baju Bodo/Waju Tokko dibiarkan menjuntai menutupi ujung sarung
bagian atas. Si pemakai biasanya memegang salah satu ujung baju bodo lalu
disampirkan di lengan.
Sebagai aksesoris,
ditambahkan kalung, gelang panjang, anting, dan bando atau tusuk konde di
kepala. Ada pula yang menambahkan bunga sebagai penghias di rambut.
Selain untuk acara adat
seperti upacara pernikahan, Baju Bodo/Waju Tokko saat ini juga dipakai untuk
menyambut tamu agung dan acara lainnya seperti menari.
Contoh lain pakaian tradisional Bugis
Makassar
2. Suku toraja
Pakaian adat
Toraja yang biasa digunakan oleh laki-laki yaitu baju dan celana yang ditenun. Celananya disebut “seppa tallu buku”
dengan pengikat kepala yang biasa disebut “passapu”,dilengkapi dengan sarung
dan gayang.
Kemudian untuk
wanita memakai baju dan semacam sarung sebagai bawahannya,dilengkapi dengan
“kandaure”,passa’pi’ yang biasanya diletakkan di kepala,dan juga memegang
gayang atau semacam pedang.
Pada upacara
perkawinan pakaian adat yang digunakan lebih indah,laki-laki tidak memakai
“seppa tallu buku” tapi memakai sarung khusus,wanitanya juga memakai baju adat
Toraja berbeda dari yang biasanya dipakai.
C.
PERAHU-PERAHU BMT
Pinisi
Lamba bermesin
Pinisi adalah kapal layar tradisional khas asal Indonesia, yang berasal dari Suku Bugis dan Suku Makassar di Sulawesi Selatan tepatnya dari desa Bira kecamatan Bonto
Bahari Kabupaten Bulukumba. Pinisi sebenarnya merupakan nama layar. Kapal ini
umumnya memiliki dua tiang layar utama dan tujuh buah layar, yaitu tiga di
ujung depan, dua di depan, dan dua di belakang; umumnya digunakan untuk
pengangkutan barang antarpulau.. Dua tiang layar utama tersebut
berdasarkan 2 kalimat syahadat dan tujuah buah layar merupakan jumlah dari
surah Al-Fatihah. Pinisi adalah sebuah kapal layar yang menggunakan jenis layar
sekunar dengan dua tiang dengan tujuh helai layar yang dan juga mempunyai makna
bahwa nenek moyang bangsa Indonesia mampu mengharungi tujuh samudera besar di
dunia.
Sejarah
Kapal kayu
Pinisi telah digunakan di Indonesia sejak beberapa abad yang lalu, diperkirakan
kapal pinisi sudah ada sebelum tahun 1500an. Menurut[4] naskah Lontarak I Babad La Lagaligo pada
abad ke 14, Pinisi pertama kali dibuat oleh Sawerigading, Putera Mahkota
Kerajaan Luwu untuk berlayar menuju negeri Tiongkok hendak meminang Putri Tiongkok yang bernama We Cudai.
Sawerigading berhasil ke
negeri Tiongkok dan memperisteri Puteri We Cudai. Setelah beberapa lama tinggal
di negeri Tiongkok, Sawerigading kembali kekampung halamannya dengan
menggunakan Pinisinya ke Luwu. Menjelang masuk perairan Luwu kapal diterjang
gelombang besar dan Pinisi terbelah tiga yang terdampar di desa Ara, Tanah Lemo
dan Bira. Masyarakat ketiga desa tersebut kemudian merakit pecahan kapal
tersebut menjadi perahu yang kemudian dinamakan Pinisi. Orang Ara adalah
pembuat badan kapal, di Tana Lemo kapal tersebut dirakit dan orang Bira yang
merancang kapal tersebut menjadi Pinisi dan ketujuh layar tersebut lahir dari
pemikiran orang-orang Bira.
Konon, nama Pinisi ini
diambil dari nama seseorang yang bernama Pinisi itu sendiri. Suatu
ketika beliau berlayar melewati pesisir pantai Bira. Beliau melihat rentetan
kapal sekitar laut sana, dia kemudian menegur salah seorang nahkoda kapal
tersebut bahwasanya layar yang digunakannya masih perlu diperbaiki. Sejak saat
itu orang Bira berfikir dan mendesain layar sedemikian rupa dan akhirnya
berbentuk layar Pinisi yang seperti sekarang ini. Atas teguran orang tersebut
maka orang-orang Bira memberi layar itu dengan nama Pinisi.
Ritual
pembangunan Pinisi
Upacara kurban untuk pembuatan
perahu pinisi adalah salah satu dimana kemegahan pinisi dilahirkan.Para pembuat
perahu tradisional ini, yakni: orang-orang Ara, Tana Lemo dan Bira, yang secara
turun temurun mewarisi tradisi kelautan nenek moyangnya. Upacara ritual juga
masih mewarnai proses pembuatan perahu ini, Hari baik untuk mencari kayu
biasanya jatuh pada hari ke lima dan ketujuh pada bulan yang berjalan. Angka 5
(naparilimai dalle’na) yang artinya rezeki sudah ditangan. Sedangkan angka 7
(natujuangngi dalle’na) berarti selalu dapat rezeki. Setelah dapat hari baik,
lalu kepala tukang yang disebut "punggawa" memimpin pencarian.
Sebelum pohon ditebang,
dilakukan upacara untuk mengusir roh penghuni kayu tersebut. Seekor ayam
dijadikan sebagai korban untuk dipersembahkan kepada roh. Jenis pohon yang
ditebang itu disesuaikan dengan fungsi kayu tersebut. Pemotongan kayu untuk
papan selalu disesuaikan dengan arah urat kayu agar kekuatannya terjamm.
Setelah semua bahan kayu mencukupi, barulah dikumpulkan untuk
dikeringkan.Pembuatan perahu pinisi di Tanah Beru.
Peletakan lunas juga memakai
upacara khusus. Waktu pemotongan, lunas diletakkan menghadap Timur Laut. Balok
lunas bagian depan merupakan simbol lelaki. Sedang balok lunas bagian belakang
diartikan sebagai simbol wanita. Setelah dimantrai, bagian yang akan dipotong
ditandai dengan pahat. Pemotongan yang dilakukan dengan gergaji harus dilakukan
sekaligus tanpa boleh berhenti. Karena itu, pemotongan harus dilakukan oleh
orang yang bertenaga kuat.
Ujung lunas yang sudah
terpotong tidak boleh menyentuh tanah. Bila balok bagian depan sudah putus,
potongan itu harus dilarikan untuk dibuang ke laut. Potongan itu menjadi benda
penolak bala dan dijadikan kiasan Sebagai suami yang siap melaut untuk mencari
nafkah. Sedangkan potongan balok lunas bagian belakang disimpan di rumah,
dikiaskan sebagai istri pelaut yang dengan setia menunggu suami pulang dan
membawa rezeki.
Pemasangan papan pengapit
lunas, disertai dengan upacara Kalebiseang. Upacara Anjarreki
yaitu untuk penguatan lunas, disusul dengan penyusunan papan dari bawah dengan
ukuran lebar yang terkecil sampai keatas dengan ukuran yang terlebar. Jumlah
seluruh papan dasar untuk perahu pinisi adalah 126 lembar. Setelah papan teras
tersusun, diteruskan dengan pemasangan buritan tempat meletakkan kemudi bagian
bawah.
Apabila badan perahu sudah
selesai dikerjakan, dilanjutkan dengan pekerjaan a’panisi, yaitu
memasukkan majun pada sela papan. Untuk merekat sambungan papan supaya kuat,
digunakan sejenis kulit pohon barruk. Selanjutnya, dilakukan allepa, yaitu
mendempul. Bahan dempul terbuat dari campuran kapur dan minyak kelapa. Campuran
tersebut diaduk Selama 12 jam, dikerjakan sedikitnya 6 orang. Untuk kapal 100
ton, diperlukan 20 kg dempul badan kapal. Sentuhan terakhir adalah menggosok
dempul dengan kulit pepaya.
Proses terakhir kelahiran
pinisi adalan peluncurannya. Upacara selamatan diadakan lagi. Peluncuran kapal
diawali dengan upacara adat Appasili yaitu ritual yang bertujuan untuk
menolak bala. Kelengkapan upacara berupa seikat dedaunan yang terdiri dari daun
sidinging, sinrolo, taha tinappasa, taha siri, dan panno-panno yang diikat
bersama pimping. Dedaunan dimasukkan ke dalam air dan kemudian dipercikkan
dengan cara dikibas-kibaskan ke sekeliling perahu. Untuk perahu dengan bobot
kurang dan 100 ton, biasanya dipotong seekor kambing.
Sedangkan untuk kapal 100 ton
keatas, dipotong seekor sapi,setelah dipotong kaki depan kambing atau sapi
dipotong bagian lutut kebawah di gantung di anjungan sedangkan kaki belakang di
gantung di buritan phinisi maknanya memudahkan saat peluncurannya seperti
jalannya binatang secara normal. Selanjutnya ada upacara Ammossi yaitu
upacara pemberian pusat pada pertengahan lunas perahu dan setelah itu perahu
ditarik ke laut. Pemberian pusat ini merupakan istilah yang didasarkan pada
kepercayaan bahwa perahu ialah 'anak' punggawa atau Panrita Lopi
sehingga dengan demikian berdasarkan kepercayaan maka upacara ammossi merupakan
simbol pemotongan tali pusar bayi yang baru lahir. Ketika pinisi sudah
mengapung di laut, barulah dipasang layar dan dua tiang. Layarnya berjumlah
tujuh. Kapal yang diluncurkan biasanya sudah siap dengan awaknya. Peluncuran
kapal dilaksanakan pada waktu air pasang dan matahari sedang naik. Punggawa
alias kepala tukang, sebagai pelaksana utama upacara tersebut, duduk di sebelah
kiri lunas. Doa atau tepatnya mantra pun diucapkan.
Jenis
kapal pinisi
Ada
beberapa jenis kapal pinisi, namun yang pada umumnya pinisi ada 2 jenis :
- Lamba atau lambo. Pinisi modern yang masih bertahan
sampai saat ini dan sekarang dilengkapi dengan motor diesel (PLM).
- Palari. adalah bentuk awal pinisi dengan lunas yang
melengkung dan ukurannya lebih kecil dari jenis Lamba.
D.
RAGAM HIAS SUL-SEL
1. Suku Bugis Makassar
Secara umum, ragam hias tenun khas sulawesi
selatan dibuat dengan cara tradisional, yaitu dengan menggunakan peralatan dari
kayu dan pewarna alami. Katerikatan manusia dengan alam dan lingkungan menjadi
tema atau simbol yang khas dari tenun Sul-Sel.
a. Asal
Usul
Sulawesi Selatan (SulSel) cukup terkenal dengan hasil seni
tenunnya. Perkembangan tenun di SulSel bermula dari pemakaian benang sutera
yang dihias dengan benang perak dan emas pada abad ke-15 dan 16 M. Di waktu
yang hampir bersamaan, masyarakat di Indonesia telah membudidayakan tumbuhan
murbei dan memelihara ulat sutera dengan diawali di Palembang dan menyusul
kemudian di Tajuncu, SulSel (Sahriah dkk., 1990/1991).
Ragam
hias tenun di SulSel dibuat dengan cara tradisional, yaitu menggunakan
peralatan dari kayu dan pewarna tradisional. Ragam hias tenun SulSel meliputi
tiga corak, yaitu geometris, antropomorfis
(manusia), zoomorfis (hewan), dan floralistis (tumbuh-tumbuhan).
Bentuk berbagai ragam hias tersebut ada yang mengandung simbol tertentu atau
hanya sekedar hiasan bernialai seni. Keterikatan manusia dengan alam dan lingkungan
menjadi satu tema atau simbol yang khas dari tenun SulSel (Sahriah dkk,
1990/1991; Abdul Kahar Wahid, 1998). Tenun SulSel sebagai salah satu warisan
leluhur masih dijaga kelestariannya sampai saat ini. Para perajin di pedesaan
SulSel masih memproduksi tenun, baik untuk pakaian keseharian, keperluan
upacara adat, atau untuk dijual.
1. Jenis-jenis
Tenun SulSel
Tenun
SulSel terdiri dari berragam jenis, antara lain :
·
Lipa
Wennang (sarung Benang Kapas)
Berbahan dasar kapas dan tenun
dengan cara tradisional, berasal dari kabupaten Bone. Lipa Wennang bercorak geometris dengan motif kotak-kotak dan
umumnya berwarna hitam dan biru kabur. Pada bagian kepala sarung, terdapat
garis-garis rapat berwarna biru kabur
·
Lipa Garrusu (Sarung untuk Upacara Tradisional)
Berbahan
dasar kapas dan ditenun dengan cara tradisional, juga dari kabupaten Bone.
Tenun jenis ini bercorak geometris dengan motif segiempat atau kotak-kotak
kecil berwarna dasar biru tua. Bagian kepala bercorak garis-garis vertikal agak
jarang dengan warna sama.
·
Sekomandi
Berbahan
dasar kapas dan ditenun dengan cara tradisional, paling banyak dihasilkan di
kabupaten Mamuju. Tenun jenis ini bercorak geometris dengan garis-garis, tumpal, mendaer, dan swastika dengan
warna biru, hitam, krem dan coklat. Kedua ujung Sekomandi dibuat berumbai dan biasa digunakan untuk selimut.
·
Pori Londong
Bahan
dasar kapas dan ditenun secara tradisional dengan teknik Ikat lungsi. Tenun dari kabupaten Mamuju ini umumnya bercorak
bunga, ketupak, sulur-sulur bunga, dan segitiga pucuk rebung. Berwarna biru,
hitam, dan krem dengan dasar warna coklat. Kedua ujung tenun ini dibuat rumbai
dan umumnya digunakan untuk taplak meja.
·
Sekeng Sidenreng Sipomande
Berbahan
dasar kapas dan ditenun secara tradisional, berasal dari kabupaten luwu. Ragam
hiasnya geometris garis-garis vertikal dengan pucuk rebung dan belah ketupat.
Warna hitam, biru, dan krem dengan dasar cokelat. Ujung tenun dibuat berumbai
dan biasanya diguanakan untuk taplak meja.
·
Rundung Lolo
Berbahan
dasar kapas dan ditenun secara tradisional, dari kabupaten Luwu. Corak ragam
hiasnya berupa garis-garis sejajar dengan pucuk rebung atau gunung berjejer.
Warna hitam, biru, dan coklaty kehitaman. Tenun jenis berfungsi sebagai penutup
mayat.
·
Pori Situtu
Berbahan
dasar kapas dadn ditenun secara tradisional, berasal dari kabupaten Luwu. Corak
ragam hias berbentuk kali dan swastika serta kedua ujung jenun dihiasi pucuk
rebung. Warna cokelat, hitam, dan krem. Kain ini umumnya difungsikan untuk alas
atau tikar dalam pesta adat karena secara filosofis menyimbolkan pandangan
hidup masyarakat luwu dalam menjaga
kesatuan suku.
·
Tenun Toraja
Berbahan
dasar benang katun dan dibuat secara tradisional. Bercorak ragam hias
garis-garis sejajar rapat berwarna kuning, putih, merah, dan cokelat. Kedua
ujung kain dibuat berumbai dan biasanya digunakan untuk sarung saat upacara
adat di tana Toraja.
·
Pesambo
Berbahan
dasar benang katun dan dibuat secara tradisional. Bercorak ragam hias teknik
songket berupa belah ketupat di mana bagian tengahnya dipagari garis vertikal
dan horisontal berwarna kuning, putih, di atas warna merah. Kain ini biasa
digunakan untuk taplak meja oleh masyarakat Tana Toraja.
·
Kain Toraja
Berbahan
dasar benang katun dan dibuat secara tradisional. Bercorak ragam hias teknik
ikat berupa kepala kerbau dan belah ketupat. Warna cokelat, hitam, biru, dan
krem. Kain ini biasa digunakan unutk penutup jenazah oleh masyarakat tana
Toraja.
·
Sarung Sutera Mandar
Berbahan
dasar benang sutera dan ditenun secra tradisional. Beragam hias garis vertikal
warna hijau, kuning, merah benang emas di atas dasar warna cokelat. Pada bagian
kepala sarung, diberi hiasan tangkai bunga dengan teknik ikat pakan. Kain biasa digunakan saat upacara adat atau untuk
bepergian. Kain ini diproduksi oleh masyarakat Polmas
·
Gambara
Tenun
jenis ini berbahan dasar benang katun dan dibuat secara tradisional, berasal
dari Bulukumba. Bercorak ragam hias teknik ikat
pakan dan lungsi berupa geometris
yang dipadukan dengan bunga-bunga. Pada bagian kepala kain, dihias dengan pucuk
rebung berhadap-hadapan warna merah hati, kining, puith, jingga, dan
hitam. Gamabara dicetak dan tiga jenis ragam hias berbeda. Kain ini
biasanya digunakan untuk penutup jenazah.
·
Sarung Kajang
Tenun
jenis ini mirip dengan jenis Lipa Garrusu
dari Kabupaten Bone, namun yang ini berasal dari Kajang, Bulukumba.
·
Sarung Sutera
Tenun
ini berbahas dasar sutera dan ditenun dengan cara tradisional. Ragam hias
dibuat dengan teknik ikan pakan berupa cobo-cobo (segitiga berjejer) berwarna
muda dan biru tua. Kain ini biasanya digunakan untuk upacara adat di kabupaten
gowa dan diproduksi dalam berbagai ragam hias dan corak dari wajo.
·
Sarung curak cinta
Tenun
ini berasal dari kabupaten bantaeng dengan sarung berbahan katun dan ditenun
secara tradisional. Beragam hias geometris berupa kotak-kotak kecil warna
merah. Kain ini merupakan pakaian perempuan saat upacara adat.
·
Sarung samarinda
Tenun
ini merupakan produk lain di kabupaten wajo. Berbahan benang katun dan umumnya
ditenun secara tradisional, tenun ini memiliki ragam hias dengan bentuk
garis-garis berpadu bunga-bunga dengan teknik ikat pakan. Oleh masyarakat wajo,
kain ini bisa digunakan untuk bepergian. Sarung
samarinda dicetak dalam tiga model dengan ragam hias yang berbeda.
2.
Bahan
dan cara pembuatan
Bahan yang digunakan
untuk membuat tenun di sulsel meliputi benang dari kapas, benang katun, benang
emas, benang wol, dan benang sutera. Sedangkan peralatan yang dibutuhkan
meliputi alat dari kayu untuk mengulur, menggulung dan menyusun benang serta
untuk mengatur dan menyelipkan benang tenun songket, menggulung kain yang sudah
ditenun dan tempat kaki berpijak. Bahan lain yang perlu disiapkan adalah
pewarna tradisional, seperti kasumba (nila) dan daun kabuau untuk warna hitam.
Daun kabuau direbus kemudian bahan yang akan diwarnai dicelupkan kedalam
rebusan.
Untuk cara pembuatan
tenun, tenun sulsel umumnya menggunakan dua teknik desain, yaitu pakan dan
lungsi. Dalam perkembangannya, keduanya ditambah teknik songket. Cara
membuatnya dengan menyisipkan benang tambahan diatas dan dibawah silangan
benang lungsi dan benang pakan sesuai pola corak ragam hias yang diinginka.
Penambahan benang dilakukan dengan cara mengangkat atau mencungkil beberapa
helai benang lungsin dan menyisipkannya di antara rongga jalinan benang pakan
dan benang lungsi.
3.
Fungsi
tenun sulsel
Tenun sulsel memilki
banyak fungsi sesuai dengan daerah asalnya masing-masing. Meskipun demikian,
secara umum tenun sulsel di antaranya berfungsi untuk pakaian sehari-hari,
pakaian upacara adat, penutup jenazah, alat denda dalam hukum adat, pelengkap
perkawinan adat dan bepergian.
4.
Nilai-nilai
Tenun sulsel mengandung
nilai-nilai tertentu bagi kehidupan masyarakat setempat, antara lain :
·
Ekonomi.
Tenun sulsel dibuat tidak hanya untuk konsumsi pribadi, namun juga untuk
dijual. Harga tenun yang berbahan dasar emas dan sutera dikenal mahal. Dengan
corak tertentu, selembar kain tenun sulsel bisa dihargai hingga jutaan rupiah.
Secara ekonomi, hal ini dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat sulsel.
·
Pelestarian
tradisi. Tenun sulsel merupakan peninggalan leluhur yang berharga. Hingga kini,
keberadaan tenun sulsel masih cukup terjaga. Keterjagaan tenun sulsel ini juga
didukung oleh pelaksanaan upacara adat yang sering menggunakan kain tenun.
·
Simbol.
Nilain ini tercermin dari penggunaan ragam hias yang oleh masyarakat sulsel
untuk perlambangan sesuatu. Bunga dan bentuk geometris dipercaya menyimbolkan
semangat tertentu dalam hidup orang sulsel.
·
Seni.
Ragam hias dan tenun sendiri merupakan seni. Tanpa mempunyai jiwa seni, orang
sulsel tidak mungkin dapat menciptakan kain tenun yang indah dilihat dan nyaman
dipakai.
·
Kelas
sosial. Bagi masyarakat sulsel, memakai tenun adalah sebuah kebanggan dan
menyatakan identitas status sosial dalam kehidupan bermasyarkat.
2. Suku toraja
Ø PA'
BARRE ALLO
Barre = Terbit / Bulat
Allo = Matahari
Ukiran yang
menyerupai bulatan matahari, jenis ukiran ini banyak ditemukan pada bagian muka
dan belakang rumah adat Toraja pada papan bagian atas berbentuk segi tiga (Para
Longa). Biasanya diatas ukiran Pa' Barre Allo diletakkan ukiran Pa' Manuk
Londong.
Makna dari ukiran
ini adalah: Percaya bahwa sumber kehidupan dan segala sesuatu yang ada di dunia
ini berasal dari Puang Matua (Tuhan Yang Maha Esa), selain itu pemilik
tongkonan mempunyai kedudukan yang tertinggi dan mulia.
Ø PA'
MANUK LONDONG
Manuk = Ayam
Londong = Jantan
Pa' manuk londong
adalah ukiran berupa ayam jantan, biasanya terdapat pada bagian muka dan
belakang rumah adat Toraja pada papan atas berbentuk segitiga. biasanya ukiran
ayam jantan diletakkan di atas ukiran pa' barre allo.
Makna dari ukiran
ini adalah: Melambangkan kepemimpinan yang arif dan bijaksana, dapat
dipercaya oleh karna pintar, pemahaman dan intuisinya tepat serta selalu
mengatakan apa yang benar (Manarang ussuka' bongi ungkararoi malillin).
Ø PA'
TEDONG
Tedong = Kerbau
Ukiran ini
biasanya dilukiskan pada papan besar teratas (Indo' Para) dan pada
dinding-dinding penyanggah badan rumah (Manangga banua). bagi masyarakat toraja
kerbau adalah hewan paling tinggi nilai dan statusnya, untuk itu bagi
masyarakat toraja kerbau dijadikan standar / ukuran dari semua harta kekayaan.
Makna dari ukiran
ini adalah: Ukiran ini bermakna sebagai lambang kesejahteraan dan kekayaan bagi
masyarakat toraja, selain itu ukiran ini juga melambangkan kebangsawanan.
|
Ø PA'
DOTI LANGI'
Doti = Ilmu (hitam)
Doti = Saleko (tedong saleko)
/ Kerbau belang
Doti = Baik = Cantik
Langi' = Langit
Ukiran ini berupa
palang yang berjejer-jejer dan ditengah-tengah ada semacam bintang bersinar
seperti bintang di atas langit. Makna dari ukiran ini adalah: Kepintaran
/ prestasi yang tinggi, kearifan dan ketenangan, juga mempunyai cita-cita yang
tinggi pemikiran yang jauh cemerlang kedepan, bisa juga berarti wanita
bangsawan, mempunyai kasta tinggi.
Ø PA'
KAPU' BAKA
Kapu' = Ikat
Baka = Bakul
Kapu' Baka = Pengikat bakul tampat
menyimpan harta kekayaan rumah.
Pa' kapu' baka
adalah ukiran yang menyerupai simpulan-simpulan penutup bakul (baka) baka bua
dalam bahasa toraja adalah merupakan tempat untuk menyimpan harta bagi
orang-orang tua jaman dahulu, sebelum ada peti, lemari, atau koper.
simpulan-simpulan dari tali ini benar-benar rapih sehinggah ujung simpulan dari
tali tidak kelihatan dan jika simpul telah berubah berarti ada yang telah
mengambil sesuatu dari dalam bakul itu,
Makna dari ukiran
ini adalah: Melambangkan kekayaan dan kebangsawanan, simpul rahasia
melambangkan pemilik rumah memiliki pola kepemimpinan dan sukar ditiru oleh
orang lain, selain itu juga pandai dalam memelihara rahasia keluarga.
Ø PA'
ULU KARUA
Ulu = Kepala
Karua = Delapan (8)
Menurut mitos
orang toraja, dahulu kala ada delapan leluhur dari orang toraja yang
masing-masing menurunkan ilmu dan pengetahuan menyangkut kehidupan manusia dan
dunianya. kedelapan orang inilah yang merupakan penemu (pencipta) ilmu
pangetahuan yang diturunkan kepada anak cucu turun-temurun. ilmu dan
keterampilan inilah yang dikembangkan manusia dari masa-kemasa hingga pada saat
ini antara lain: to sikambi' lolo tau (Ilmu kesehatan dan paramedis), To
sikambi' lolo tananan (Ilmu tumbuh-tumbuhan / pertanian), to sikambi' to
manarang (Ilmu Teknik), dll.Pa' ulu karua juga berarti bahwa orang yang
mempunyai kemampuan untuk berbaur dengan orang lain.
Makna dari ukiran
ini adalah: diharapkan dalam keluarga muncul orang (anggota keluarga)
yang memiliki ilmu yang tinggi untuk kepentingan keluarga dan masyarakat.
Ø PA'
ULU GAYANG
Ulu
= Kepala
Gayang = Keris Emas
Pa' ulu gayang
adalah ukiran yang menyerupai kapala (tangkai) keris emas. jadi merupakan
bagian dari pada keris emas (gayang / gaang).
Makna dari ukiran
ini adalah: Oleh karna ulu gayang adalah bagian dari gayang (keris emas) maka
makna dari ukiran ini sama dengan makna ukiran pa'gayang yaitu malambangkan
laki-laki yang mulia, kaya, bijak dan dari golongan bangsawan.
Ø PA'
BOMBO UAI
Bombo uai = anggang-angang
Pa' bombo uai
adalah ukiran yang menyerupai binatang air (anggang anggang) yang dapat
bergerak menitih air dengan halus dan sangat cepat. Makna dari ukiran ini
adalah: Pintar-pintarlah menitih kehidupan ini dalam hal ini adalah
lincah, cekatan, cepat, dan tepat. selain itu ukiran ini juga berarti manusia
harus mempunyai keterampilan dan kemampuan yang cukup dalam melaksanakan tugas
dan tanggung jawab.
Ø PA'
BULU LONDONG
Bulu =
Bulu
Londong = Jantan
Ukiran ini
menyerupai rumbai ayam jantan. ada pepatah mengatakan: ayam dikenal karna
tingkah lakunya. pada ukiran Pa' manuk londong telah dijelaskan tentang arti
dan makna Londong (ayam jantan). Pa' bulu londong biasanya di garunggang atau
diukir tembus. Makna dari ukiran ini adalah: Bulu rumbai manghiasi ayam jantan
demikian pula keperkasaan dan kewibawaan menyertai seorang pemimpin dan lelaki
pemberani.
Ø PA'
DAUN PARIA
Paria
= sayur paria atau Pare
Kita tau bahwa
paria ini merupakan tanaman yang pahit. baik buah dan daun dapat dijadikan
sayur-sayuran dan obat-obatan seperti obat batuk, atau malaria. Makna dari
ukiran ini adalah: kadang sesuatu yang pahit itu adalah obat yang dapat
menyembuhkan. seperti teguran atau nasehat yang harus diterima walau
menyakitkan namun akan membawa kebaikan.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari hasil pembahasan diatas maka dapat disimpulkan bahwa kebudayaan itu
memang sangat penting karena memiliki banyak ciri khas yang unik khususnya
budaya sulsel yang dipenuhi dengan keunikan seperti model rumah, pakaian
tradisional, perahu dan ragam hias sulawesi selatan. Keempat hasil-hasil budaya tersebut setiap daerah pun berbeda-beda karena
sudah merupakan suatu keunikan tersendiri sehingga para wisatawan menyukai
budaya sulawesi selatan.
B. Saran
Adapun saran yang dapat diutarakan dalam makalah ini ialah
semoga budaya yang kita naungi bisa dipertahankan kepada generasi selanjutnya
agar tidak terikiuti oleh zaman dan dilupakan.