1.
Pengertian Sastra
Dalam kamus Besar
Bahasa Indonesia (KBBI) terbitan pusat pembinaan dan pengembangan bahasa
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan tahun 1988 halaman 786 disebutkan bahwa
sastra mengandung pengertian sebagai berikut :
1. Bahasa (kata-kata, gaya bahasa) yang dipakai di kitab-kitab (bukan bahasa
sendiri).
2. Kesusastraan karya tulis, yang jika dibandingkan dengan tulisan lain
memiliki berbagai ciri keunggulan seperti keaslian, keartistikan, keindahan
dalam isi dan ungkapannya.
3. Kitab suci (Hindu), (kitab) Ilmu pengetahuan.
4. Pustaka, kitab primbon (terisi) ramalan, hitungan dan sebagainya.
5. Tulisan, huruf.
Sastra Indonesia
adalah sastra yang aslinya ditulis dalam bahasa Indonesia setelah mendapat
pengaruh kebudayaan asing. Menurut sumber yang lain dijelaskan bahwa sastra
Indonesia adalah karya sastra yang ditulis dalam bahasa Indonesia oleh penulis
yang berwarganegaraan Indonesia, tidak peduli apakah ia tinggal di Malaysia,
seperti halya Takdir Alisjahtana dulu atau tinggal di Australia seperti Subagio
Sastrowardoyo saat ini.
2.
Sejarah Perkembangan
Sastra
Sejarah sastra
adalah cabang ilmu sastra yang berusaha menyelidiki perkembangan sastra sejak
dari mulai pertumbuhannya sampai pada perkembangannya yang sekarang. Hakikat
perkembangan sastra nasional sebenarnya terletak pada adanya kesinambungan
antara satu periode dengan periode lain dalam sejarahnya, baik ditinjau dari
segi formal maupun dari segi kaitannya dengan perkembangan masyarakat. Perjalanan
sastra sejak lahir hingga sekarang sudah cukup panjang, perjalanan panjang itu
dapat diibaratkan sebagai mata rantai yang berkesinambungan dari waktu kewaktu
dan menggambarkan adanya dinamika pergantian tradisi. Dalam dunia kesastraan
dikenal adanya sastra lisan dan sastra tulis. Sastra lisan adalah sastra yang
diceritakan dan diwariskan secara turun-temurun secara lisan, sastra jenis ini
dikenal dengan “Floklore”, yakni cerita rakyat yang telah mentradisi yang hidup
dan dipertahankan oleh masyarakat pemiliknya. Sedangkan sastra tulis adalah
sastra yang berbentuk tulisan baik berupa novel, cerpen atau yang lainnya,
dengan mencantumkan nama pengarangnya.
Secara urutan waktu sastra Indonesia terbagi atas beberapa angkatan,
yaitu :
1.
Pujangga Lama
Karya sastra pada
angkatan pujangga lama dihasilkan sebelum abad ke-20, pada masa ini di dominasi
oleh syair, pantun, hikayat dan gurindam.
~ Syair, merupakan
bentuk puisi lama yang terdiri dari empat baris dalam satu bait. Persajak syair
adalah aba-aba.
~ Pantun, merupakan
puisi lama yang terdiri dari empat baris dalam satu baitnya. Baris pertama dan
kedua disebut sampiran, sedangkan baris ketiga dan keempat disebut isi.
Pantun bersajak
ab-ab artinya bunyi huruf terakhir pada kata terakhir kalimat pertama dan
kalimat ketiga sama, disebut sajak a. Bunyi huruf terakhir pada kata terakhir
kalimat kedua dan kalimat keempat sama disebut sajak b.
Secara sosial pantun
memiliki fungsi pergaulan yang kuat, bahkan hingga sekarang. Di kalangan pemuda
sekarang, kemampuan berpantun biasanya dihargai. Pantun menunjukkan kecepatan
seseorang dalam berfikir dan bermain-main dengan kata. Namun demikian, secara umum
peran sosial pantun adalah sebagai alat penguat penyampaian pesan.
~ Hikayat adalah
salah satu bentuk sastra, terutama dalam Bahasa Melayu yang berisikan tentang
kisah, cerita, dan dongeng. Umumnya mengisahkan tentang kehebatan maupun
kepahlawanan seseorang.
Sebuah hikayat
dibacakan sebagai hiburan, pelipur lara atau untuk membangkitkan semangat
juang.
~ Gurindam,
merupakan puisi lama yang tiap baitnya terdiri dua baris. Persajaknya a – a dan isinya adalah nasihat,
hal-hal yang mendidik dan masalah agama.
2.
Sastra “Melayu Lama”
Angkatan sastra
melayu lama dihasilkan antara tahun 1870 – 1942 yang berkembang dilingkungan
masyarakat Sumatra, Cina dan masyarakat Indonesia – Eropa. Pada angkatan ini
karya sastra yang pertama terbit sekitar tahun 1870 yang masih dalam berbentuk
syair, hikayat, dan terjemahan novel Barat.
Suatu hasil sastra
melayu lama yang masih hidup sampai sekarang adalah paribahasa. Berbeda dengan
hasil sastra lama yang lain seperti syair, gurindam dan mantra, paribahasa ini
masih digunakan walaupun sudah agak jarang. Penciptaan paribahasa baru memang
jarang kita temui, namun paribahasa lama itu masih digunakan dalam berbagai
kesempatan. Hasil sastra melayu lama tersebut ditulis dengan tangan pada
kertas, dan diperbanyak dengan menyalin, tulisan-tulisan kertas itulah yang
disebut naskah. Sastra
melayu lama tidak mencantumkan waktu penciptaannya dan siapa penciptaya.
3.
Angkatan Balai
Pustaka
Angkatan ini tumbuh
dan perkembang sekitar tahun 20-an. Sekelompok pengarang pada masa ini, pada
hakikatnya bergerak oleh satu cita-cita, yaitu hendak memberikan pendidikan
budi pekerti dan mencerdaskan kehidupan bangsanya melalui bacaan. Dalam
perkembangannya, sebenarnya sastra pada angkatan ini didirikan atau diciptakan
oleh orang-orang Belanda. Tujan mereka bukan untuk mengembangkan dan memajukan
sastra-sastra Indonesia, tetapi untuk kepentingan politik belaka.
Sebagian besar,
sastra ini mengambil tema pokok masalah kawin paksa, contohnya novel Siti
Nurbaya, Azab dan Sengsara, sicebol merindukan bulan. Peristiwa-peristiwa yang
diceritakan sesuai dengan realitas kehidupan dalam masyarakat tidak lagi
berhubungan dengan kehidupan raja-raja, dewa, atau kejadian-kejadian yang tidak
masuk akal.
Diantara tiga pengarang Balai Pustaka yang penting
ialah :
·
Nur Sutan Iskandar,
karangan yang dihasilkannya antara lain novel sejarah, novel psikologi, novel
adapt dan sebagainya.
·
Abdul Muis, novelya
yang berjudul salah asuhan pada tahun 1928, dianggap sebagai sastra yang paling
menonjol nilai sastranya.
·
Marah Rusli, novelnya
yang berjudul Siti Nurbaya merupakan hasil sastra yang paling banyak dibaca
orang
Novel salah asuhan
dan Siti Nurbaya sering disebut orang sebagai puncak-puncak sastra balai
pustaka.
4.
Pujangga Baru
Pada bulan Juli 1993
merupakan tahun berdirinya sastra angkatan pujangga baru, secara reformasi
tahun ini sekaligus dianggap pula sebagai pertama kali terbitnya majalah
pujangga baru. Ciri khas yang paling menonjol dalam sastra ini baik prosa
maupun puisinya sebagian besar mengandung suasana romantic. Dan pokok cerita
pada umumnya bukan lagi berkisar pada masalah kawin paksa seperti pada angkatan
balai pustaka, melainkan masalah kehidupan kota atau kehidupan masyarakat
modern, misalnya masalah perubahan (manusia baru - Sanusi Pane), masalah
kedudukan wanita (layer terkembang – Sutan Takdir Alisjahbana), masalah
kedudukan suami istri dalam hidup berumah tangga (Belenggu – Armijn Pane) dan
sebagainya.
Sastra pujangga baru
meliputi bentuk-bentuk novel, cerpen, kritik dan puisi dengan bermacam-macam
bentuk. Pada angkatan ini ada dua kelompok sastrawan pujangga baru, yaitu :
1. Kelompok “seni untuk seni” dimotori oleh Sanusi Pane dan Tengku Amir
Hamzah. Tengku Amir Hamzah juga terkenal sebagai seorang sastrawan raja penyair
pujangga baru.
2. Kelompok “seni untuk rakyat” dimotori oleh Sultan Takdir Alisyahbana,
Armijn Pane dan Rustam Efendi.
Dengan demikian,
zaman pujangga baru menunjukan adanya hubungan yang lebih erat antara sastrawan
dan sekelompok intelektual yang memiliki pengaruh dalam perkembangan pemikiran.
Namun pada tahun 1942-1945 merupakan masa melemahnya sastra angkatan pujangga
baru. Karya penting penutup periode sastra ini adalah belenggu, novel karya
Armijn Pane dan manusia baru, drama karya Sanusi Pane.
5.
Angkatan ‘45
Pada periode 1942-1950 atau 1942-1945 adalah periode bangkit dan
terintegrasinya sastra angkatan ini. Pada masa angkatan ini karya-karyanya
bersifat lebih realistic disbanding karya angkatan pujangga baru yang bersifat
romantic, idealistic. Angkatan ’45 diwarnai dengan adanya pengalaman hidup dan problem
sosial, polotik, budaya seperti korupsi, penyelwengan, ketidakadilan, dan
kemerosotan moral.
Diantara penulis angkatan ’45 yaitu Chairil Anwar, Idrs Mochtar Lubis,
Trisno Sumardjo, M. Balfas.
6.
Angkatan 50-an
Angkatan ini
ditandai dengan terbitnya majalah sastra “kisah” asuhan H.B jassin, majalah
tersebut bertahan sampai tahun 1946 dan diteruskan dengan majalah sastra
lainnya. Cirri angkatan ini adalah karya sastra yang didominasi cerita pendek
dan kumpulan puisi. Sastra 50-an umumnya menyadarkan pada segi ekspresi sarta
memperkembangkan gaya ucapan angkatan ’45. pada tahun ini, majalah sastra yang
dianggap standar adalah “kisah”. Kisah yang memuat cerpen dan puisi.
7.
Angkatan ’66 –
’70-an
Pada angkatan ini
ditandai dengan terbitnya majalah sastra horizon. Majalah horizon adalah
satu-satunya majalah sastra yang terbit di Indonesia pada saat ini atau
setidaknya ia adalah satu-satunya majalah yang mengorbankan (hampir) seluruh
halamannya untuk menampung hasil tulisan. Sastrawan kita menganggap majalah
horizon sebagai standar perkembangan sastra Indonesia dan sekaligus menjadi
sasaran tuntutan beranekaragam yang patut di alamatkan kepada sebuah majalah
sastra.
Pada awal tahun
70-an Marga. T. mengumumkan novelnya dikoran kompas, novelis wanita tampaknya
menjadi salah satu jaminan bagi lakunya suatu penerbitan.
8.
Dasawarsa 80-an
Pada karya sastra
80-an, ditandai dengan banyaknya roman percintaan, majalah horizon tidak
adalagi. Karya sastra Indonesia pada angkatan ini tersebar luas diberbagai
majalah dan penerbitan umum. Mira W. dan Marga T. adalah dua sastrawan wanita
Indonesia yang menonjol dengan fiksi romantis yang menjadi ciri-ciri novel
mereka, pada umumnya tokoh utama dalam novel mereka adalah wanita. Namun yang
tidak boleh dilupakan pada era 80-an ini juga tumbuh sastra yang beraliran pop
(tetapi tetap sah disebut sastra, jika sastra dianggap sebagai salah satu alat
komunikasi) yaitu lahirnya sejumlah novel popular yang dipelopori oleh Hilman
dengan serial lupusnya.
9.
Angkatan Reformasi
Munculnya angkatan
ini ditandai dengan maraknya karya-karya sastra, puisi, cerpen, maupun novel,
yang bertema sosial, politik, khususnya seputar reformasi.
3.
Penilaian Sastra
Nilai adalah
sesuatu, sifat atau hal yang penting atau berguna bagi kemanusiaan. Nilai dapat
berupa konsep, prinsip, cara berpikir, perilaku dan sikap seseorang. Dalam
perkembangannya, sastra Indonesia diwarnai dengan berbagai penilaian –
penilaian, yaitu apabila suatu karya sastra dianggap bernilai oleh suatu
masyarakat pada suatu tempat dan pada zaman tertentu. Maka karya sastra itu haruslah dianggap bernilai
pula pada zaman dan tempat lain. Contohnya ada sebuah hikayat, misalnya hikayat
si miskin orang atau bangsa melayu memberi nilai yang tinggi kepada hikayat
ini, secara objektif mungkin tidak bernilai, atau mungkin berdasar penilaian
zaman sekarang dapat dikata tidak bernilai lagi, atau tidak bernilai berdasar
pandangan orang-orang Eropa, namun meskipun demikian, hikayat si miskin ini
haruslah diterima sebagai karya sastra yang bernilai, dan tetap bernilai sampai
kapan dan dimanapun. Jadi, penilaian yang relatif berlaku pada suatu tempat dan
zaman tertentu dianggap berlaku untuk umum di segala tempat dan zaman. Dalam menilai karya sastra haruslah dilihat hubungan
antara sastrawan dengan karya sastranya, mengingat bahwa karya sastra
penjilmaan pengalaman jiwa sastrawan ke dalam suatu karya dengan medium bahasa.
Jadi, dalam menilai karya sastra haruslah dilihat berhasil / tidaknya sastrawan
menjilmakan pengalaman jiwanya ke dalam kata.
Pengertian sejarah menurut
Kamus Bahasa Indonesia adalah pengetahuan atau uraian tentang peristiwa dan
kejadian yg benar-benar terjadi di masa lampau. Atau menurut catatan
perkuliahan yang saya ikuti, pengertian sejarah yaitu cabang ilmu sastra yang
berusaha menyelidiki perkembangan sastra sejak awal pertumbuhannya sampai pada
perkembangan sastra saat ini. Cabang-cabang yang ada dalam ilmu sastra yaitu
teori sastra, sejarah sastra, dan kritik sastra. Teori sastra merupakan bagian
yang membahas hakikat dan pengertian sastra, sedangkan kritik sastra adalah
ilmu sastra yang menyelidiki karya sastra secara langsung. Adakah di antara
kalian yang tahu hubungan timbal balik antara cabang-cabang sastra tersebut?
Berikut ini saya gambarkan relasi ketiganya.
Hubungan
timbal-balik antara teori sastra dengan sejarah sastra:
• Teori sastra muncul karena telah diadakan penyelidikan terhadap sastra (sejarah sastra).
• Teori sastra diperlukan untuk mengonfirmasi tentang sejarah sastra.
• Sejarah sastra memerlukan teori sastra dalam perjalanannya.
• Teori sastra dapat berubang/berkembang sesuai dengan perubahan sejarah sastra/perjalanan dunia sastra.
• Teori sastra muncul karena telah diadakan penyelidikan terhadap sastra (sejarah sastra).
• Teori sastra diperlukan untuk mengonfirmasi tentang sejarah sastra.
• Sejarah sastra memerlukan teori sastra dalam perjalanannya.
• Teori sastra dapat berubang/berkembang sesuai dengan perubahan sejarah sastra/perjalanan dunia sastra.
Hubungan
timbal-balik antara kritik sastra dengan sejarah sastra:
• Adanya kritikan terhadap sastra (karya sastra) mempengaruhi perjalanan sejarah sastra.
• Kritik sastra memerlukan bahan dari sejarah sastra.
• Perkembangan sejarah sastra tidak terlepas dari kritik sastra.
• Adanya kritikan terhadap sastra (karya sastra) mempengaruhi perjalanan sejarah sastra.
• Kritik sastra memerlukan bahan dari sejarah sastra.
• Perkembangan sejarah sastra tidak terlepas dari kritik sastra.
Hubungan
antara teori sastra dengan kritik sastra:
• Dengan bermodalkan teori sastra, kita dapat mengkritik suatu sastra (karya sastra).
• Adanya kritikan terhadap sastra, dapat memengaruhi teori sastra. Mungkin berupa penambahan/pengurangan terhadap teori tertentu, atau dapat juga berupa konfirmasi terhadap teori sastra tertentu.
• Dengan bermodalkan teori sastra, kita dapat mengkritik suatu sastra (karya sastra).
• Adanya kritikan terhadap sastra, dapat memengaruhi teori sastra. Mungkin berupa penambahan/pengurangan terhadap teori tertentu, atau dapat juga berupa konfirmasi terhadap teori sastra tertentu.
Sejarah sastra
adalah ilmu yang memperlihatkan perkembangan karya sastra dari waktu ke waktu.
Sejarah sastra bagian dari ilmu sastra yaitu ilmu yang mempelajari tentang
sastra dengan berbagai permasalahannya. Di dalamnya tercakup teori sastra,
sejarah sastra dan kritik sastra, dimana ketiga hal tersebut saling berkaitan.
Selanjutnya (Todorov; 1985: 61) mengatakan bahwa
tugas sejarah sastra adalah:
1.
meneliti keragaman setiap kategori sastra.
2.
meneliti jenis karya sastra baik secara diakronis, maupun secara
sinkronis.
3.
menentukan kaidah keragaman peralihan sastra dari satu masa ke masa
berikutnya.
Periodisasi
Sastra Indonesia
Ada
beberapa pendapat tentang periodisasi sastra Indonesia, saya mengambil dua
diantaranya :
- Menurut Nugroho Notosusanto
a. Kesusastraan Melayu Lama
b. Kesusastraan Indonesia Modern
1). Zaman Kebangkitan : Periode 1920, 1933, 1942,
1945
2). Zaman Perkembangan : Periode 1945, 1950 sampai
sekarang
2. Menurut Simomangkir Simanjuntak
a. Kesusastraan masa lama/ purba : sebelum datangnya
pengaruh hindu
b. Kesusastraan Masa Hindu/ Arab : mulai adanya
pengaruh hindu sampai dengan kedatangan agama Islam
c. Kesusastraan Masa Islam
d. Kesusastraan Masa Baru
1). Kesusastraan Masa Abdullah bin Abdul Kadir
Munsyi
2). Masa Balai Pustaka
3). Masa Pujangga Baru
4). Kesusastraan Masa Mutakhir : 1942 hingga
sekarang.
Karya sastra
bersifat multiinterpretable. Oleh karena itu, penafsiran makna sebuah
karya sastra oleh para pembacanya melibatkan berbagai
strategi dan pendekatan yang multiinterpretable pula
sesuai latar belakang pembaca atas suatu pesan dalam suatu karya
sastra yang memiliki konvensi kebahasaan dan kesastraan tersendiri bagi sebuah
ilmu. Masalah penafsiran dalam menggeluti karya sastra adalah
masalah dasar dalam khasanah teori dan kritik sastra. Kehadiran berbagai
pendekatan untuk pemahaman karya sastra seperti Semiotik; Strukturalisme;
Sosiologi Sastra; Estetika Resepsi; Fenomenologi; Hermeunetik, dan
sebagainya dapat membantu juru tafsir untuk menelaah dan menafsirkan
arti/makna karya sastra.
Penafsiran
merupakan bekal utama untuk apresiasi, kririk, dan pengajaran
karya-karya sastra sehingga pembaca mampu
menginternalisasikan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.Jadi, di satu sisi
dituntut pemahaman tentang cara penafsiran yang cukup komprehensif,
di sisi lainnya dituntut pembacaan karya sastra
sebanyak dan semendalam mungkin. Tumbuh dan berkembangnya wawasan
sastra hanya bisa dicapai dengan menumbuhkembangkan
strategi penafsiran dan pembacaan karya sastra secara terus menerus.Berbagai
teori dan pendekatan dalam upaya penafsiran sebuah karya sastra agar
menjadi lebih jelas maknanya bagi pembaca dalam menginternalisasikan
nilai-nilai yang terkandung dalam sebuah karya sastra pernah
dikembangkan oleh antara lain: T.S. Kuhn; Roman Jakobson;
Gerald Prince; Edmund Huserl dan Roman Ingarden; Wolfgang Iser, Hans
Robert Jauss, Stanley Fish, Riffaterre, Jonathan Culler,
dll.Soal pembaca bagi sebuah Teori Ahli filsafat, T.S. Kuhn memperkuat keraguan
kepada teori Relativitas Einstein yang mengungkapkan
bahwa pengetahuan objektif secara sederhana adalah sebuah
penumpukan fakta yang keras dan progresif.
Kuhn berpendapat
bahwa apa yang muncul sebagai fakta dalam ilmu
pengetahuan tergantung pada rangka referensi yang
dibawa pengamat ilmu pengetahuan terhadap objek pemahaman. Memakai
analog Psikologi Gestalt dan model komunikasi Teka-teki
Bebek-Kelinci dan Komunikasi Linguistik Roman Jakobson, ia yakin
bahwa pengamat adalah berperan aktif dalam rangka pemahaman suatu karya
sastra. Artinya, hanya pengamatlah yang mampu memutuskan dan mengambil
simpulan paling tepat atas suatu teks maupun berbagai kode yang ada dalam
suatu karya sastra. Ahli sastra lain, Gerald Prince, bahkan lebih rumit lagi
membedakan posisi pembaca dengan naratee. Ia menginginkan sang naratee(si
diceritai) berdiri secara khusus berdasarkan jenis kelamin, kelas,
situasi, ras bahkan umur. Akibatnya, efek teori
Prince adalah menyoroti dimensi penceritaan yang telah dimengerti
secara intuitif oleh para pembaca, tetapi masih tetap kabur dan
tidak pasti. Ia menekankan pada cara yang
ditempuh pencerita(sang naratif) untuk menghasilkan pembaca atau
pendengarnya sendiri, yang mungkin atau tidak mungkin bersamaan dengan pembaca
nyata.
A Teeuw dalam
buku Sastra dan Ilmu Sastra (1984:43) menelaaah berbagai pendekatan
dalam apresiasi sastra uintuk memahami karya sastra,” Sastra
sebagai model semiotik tidak dapat diteliti dan dipahami secara
ilmiah tanpa mengikutsertakan aspek kemasyarakatannya, yakni
sebagai tindak komunikasi.” Ia menyebut berbagai model
pendekatan dalam mengapresiasi karya sastra sehingga turut memperkuat
fakta bahwa karya sastra merupakan sesuatu yang kaya akan makna, sehingga
tidak mudah didekati hanya dengan satu pendekatan saja.
Beberapa pendekatan
yang dibutuhkan dalam apresiasi sastra seperti yang
dijelaskan Teeuw untuk para pembaca di antaranya yang sudah dikembangkan Umar Junus dalam pendekatan Pragmatik adalah pendekatan Resepsi sastra dari teori Iser (pembaca implisit) dan Hans Robert Jauss (horison harapan).Jauss menitikberatkan perhatiannya kepada bagaimana karya sastra diterima pada suatu masa tertentu berdasarkan horison penerimaan tertentu atau berdasarkan horison yang diharapkan. Karya sastra dapat hidup jika pembaca berpartisipasi dan dengan partisipasi pembaca itu, konteks sejarah terciptanya karya sastra bukan merupakan sesuatu yang faktual, tetapi hanya merupakan rangkaian peristiwa yang berdiri sendiri yang ujudnya terpisah dari embaca. Karya yang telah dipahami pembaca menjadi modal bagi resepsi. Proses resepsi menjadi perluasan semiotik yang timbul dalam
pengembangan dan perbaikan suatu sistem. Horison penerimaan mungkin
berubah (bahkan berkali-kali). Selanjutnya Jauss menyatakan bahwa pendekatannya bersifat parsial, tidak menyeluruh karena hanya melakukan hubungan hari ini dengan “virtue” sejarah. Resepsi hanya berklaitan dengan saat karya itu dibaca sehingga terdapat konvergensi antara teks dan resepsi yang berupa dialog antara subjek hari ini dengan subjek masa lampau. Tradisi berperan penting dalam hal ini. Tradisi yang dimaksud adalah wawasan yang mendasari resepsi yang dilakukan pada saat tertentu.Jika resepsi Jauss mementingkan sejarah pada suatu saat tertentu, maka Resepsi Iser bertitik tolak pada kesan(sebenarnya pada tahap akhir teori Jauss juga disebut-sebut tentang kesan). Iser mempermasalahkan konkretisasi karya sastra, yakni reaksi pembaca terhadap teks yang diresepsi. Dalam resepsi Iser, terdapat dinamika pembaca.
dijelaskan Teeuw untuk para pembaca di antaranya yang sudah dikembangkan Umar Junus dalam pendekatan Pragmatik adalah pendekatan Resepsi sastra dari teori Iser (pembaca implisit) dan Hans Robert Jauss (horison harapan).Jauss menitikberatkan perhatiannya kepada bagaimana karya sastra diterima pada suatu masa tertentu berdasarkan horison penerimaan tertentu atau berdasarkan horison yang diharapkan. Karya sastra dapat hidup jika pembaca berpartisipasi dan dengan partisipasi pembaca itu, konteks sejarah terciptanya karya sastra bukan merupakan sesuatu yang faktual, tetapi hanya merupakan rangkaian peristiwa yang berdiri sendiri yang ujudnya terpisah dari embaca. Karya yang telah dipahami pembaca menjadi modal bagi resepsi. Proses resepsi menjadi perluasan semiotik yang timbul dalam
pengembangan dan perbaikan suatu sistem. Horison penerimaan mungkin
berubah (bahkan berkali-kali). Selanjutnya Jauss menyatakan bahwa pendekatannya bersifat parsial, tidak menyeluruh karena hanya melakukan hubungan hari ini dengan “virtue” sejarah. Resepsi hanya berklaitan dengan saat karya itu dibaca sehingga terdapat konvergensi antara teks dan resepsi yang berupa dialog antara subjek hari ini dengan subjek masa lampau. Tradisi berperan penting dalam hal ini. Tradisi yang dimaksud adalah wawasan yang mendasari resepsi yang dilakukan pada saat tertentu.Jika resepsi Jauss mementingkan sejarah pada suatu saat tertentu, maka Resepsi Iser bertitik tolak pada kesan(sebenarnya pada tahap akhir teori Jauss juga disebut-sebut tentang kesan). Iser mempermasalahkan konkretisasi karya sastra, yakni reaksi pembaca terhadap teks yang diresepsi. Dalam resepsi Iser, terdapat dinamika pembaca.
Ia akan
memilih satu di antara berbagai kemungkinan realisasi,
sehingga tugas kritikus dalam pandangan Iser bukan
menerangkan teks sebagai objek, tetapi menerapkan efeknya kepada
pembaca. Kodrat teks itulah yang mengizinkan beraneka ragam
kemungkinan pembacaan, sehingga lahir pembaca implisit(pembaca yang
diciptakan sendiri oleh teks dirinya dan menjadi jaringan
kerja struktur yang mengundang jawaban, yang mempengaruhi
kita untuk membaca dalam cara tertentu) dan pembaca nyata (yang menerima
citra mental tertentu dalam proses pembacaan yang diwarnai oleh
persediaan pengalaman yang ada). Dalam resepsi Iser, ada hubungan teks dan
pembaca. Hubungan itu melalui tiga langkah, yakni 1. sketsa
tentang suatu teks yang membedakan dengan teks-teks
sebelumnya; 2. pengenalan dan analisis terhadap kesan dasar teks;
dan 3. mencari kemungkinan yang ada tentang makna karya satra.
Karya sastra selanjutnya memberi kesan kepada pembaca, sehingga teori
Resepsi sastra Jauss dan Iser tampaknya mendapat pengaruh
Hermeunetika dari Schleiermacher dan Gadamer.
Jika
Jauss dan Iser berperan dalam resepsi sastra yang memberi
kesan kepada pembaca, Edmund Husserl, seorang ahli filsafat modern terkenal
dengan teori Fenomenologi-nya dalam kaitan antara karya sastra dengan
pembacanya. Teori fenomenologi menuntut untuk menunjukkan kepada kita alam yang
mengarisbawahi, baik kesadaran manusia maupun kesadaran fenomena.Teori
ini adalah usaha untuk menghidupkan ide(setelah zaman Romantik) bahwa pikiran
manusia individual adalah pusat dan asal semua arti. Teori ini
tidak mendorong keterlibatan subjektif secara murni untuk struktur mental
kritikus karena menggunakan berbagai lapis norma karya, tetapi tipe kritik
sastra yang mencoba masuk ke dalam dunia karya seorang penulis dan sampai pada
suatu pengertian tentang alam dasar atau intisari tulisan
sebagaimanatampak dalam kesadaran kritikus.
Ahli satra lain,
kritikus Amerika yang bernama Stanley Fish menyodorkan
teori Stilistika Efektif yang memusatkan penyesuaian harapan yang dibuat pembaca ketika membaca teks, tetapi ia lebih menekankan pada rangkaian kalimatnya. Fish berpendapat bahwa pembaca adalah seseorang yang memiliki kompetensi linguistik yang telah memasukan pengetahuan sintaktik dan semantik yang diperlukan untuk membaca selain penguasaan kompetensi sastra secara khusus(konvensi bahasa dan konvensi sastra). Namun,Jonathan Culler, salah seorang murid Fish justru selain mendukung juga memberikan kritik atas pendapat Fish karena ia dianggap gagal meneorikan konvensi-jkonvensi pembacaan, yaitu ia gagal mengajukan pertanyaan,”konvensi-konvensi apa yang diikuti pembaca?” Selain itu, ia dianggap gagal pada tuntutannya atas pembaca kalimat perkataan demi perkataan dalam suatu pengurutan waktu itu menyesatkan( tidak ada alasan mempercayai bahwa para pembaca secara nyata membaca kalimat dan memecahkannya serta melakukannya sedikit demi sedikit secara bertahap).
teori Stilistika Efektif yang memusatkan penyesuaian harapan yang dibuat pembaca ketika membaca teks, tetapi ia lebih menekankan pada rangkaian kalimatnya. Fish berpendapat bahwa pembaca adalah seseorang yang memiliki kompetensi linguistik yang telah memasukan pengetahuan sintaktik dan semantik yang diperlukan untuk membaca selain penguasaan kompetensi sastra secara khusus(konvensi bahasa dan konvensi sastra). Namun,Jonathan Culler, salah seorang murid Fish justru selain mendukung juga memberikan kritik atas pendapat Fish karena ia dianggap gagal meneorikan konvensi-jkonvensi pembacaan, yaitu ia gagal mengajukan pertanyaan,”konvensi-konvensi apa yang diikuti pembaca?” Selain itu, ia dianggap gagal pada tuntutannya atas pembaca kalimat perkataan demi perkataan dalam suatu pengurutan waktu itu menyesatkan( tidak ada alasan mempercayai bahwa para pembaca secara nyata membaca kalimat dan memecahkannya serta melakukannya sedikit demi sedikit secara bertahap).
Selanjutnya
Culler membuat teori pembacaan yang harus mengungkap operasi penafsiran
yang dipergunakan pembaca karena pembaca yang berbeda akan menghasilkan
tafsiran yang berbeda pula. Jadi, menurutnya bermacam-macam penafsiran
inilah yang harus diterangkan sebuah teori meskipun hasil pembacaan
akan berbeda artinya, walaupun mengikuti perangkat konvensi penafsiran yang
sama. Dampaknya, Culler memberikan pendekatan yang mengizinkan suatu prospek
sejati kemajuan teoritis. Sedangkan Fish memberikan metode yang berguna, tetapi
menutup persoalan teori yang mendasar atau pendekatan
Rifartere yang menghasilkan sebuah baju pengikat yang teoritis. Rifartere
memberikan baju pengikat yang teoritis terutama pada bukunya Semiotics of
Poetry(1978), yang di dalamnya ia mengatakan bahwa pembaca yang
berkompeten melampaui arti permukaan. Ia penganut Formalis Rusia dalam
memandang puisi sebagai sebuah penggunaan bahasa yang khusus. Menurutnya,
diperlukan kompetensi linguistik biasa untuk memahami arti sebuah puisi,
tetapi pembaca juga memerlukan kompetensi sastra untuk menghadapi
ketidakgramatikalan yang sering dijumpai di dalam
pembacaan sebuah sajak. Sehingga ia mengajukan matrik
strutural/hipogram sebagai salah satu upaya pengujian
sebuah sajak sebagai satu kesatuan.
Sayangnya
teori Rifarterre ini memiliki banyak kesukaran bagi para
pembacanya, misalnya teori ini tidak mengizinkan beberapa jenis pembacaan yang kita pikirkan sepenuhnya secara “lurus saja.Sedangkan ahli lain dari dunia psikologi, yakni Norman Holland dan David Bleich, yang telah menderevasi pendekatan teori pembacaan dari sisi psikologi, memandang bahwa pembacaan sebagai suatu proses yang memuaskan atau paling sedikit tergantung kepeda keperluan psikologis pembaca. Buku Kritik Sastra Subjektif(1978) karya David Bleich adalah satu bukti pendukung bahwa dalam pembacaan telah terjadi pergeseran dari paradigma objektif ke paradigma subjektif. Hal yang juga menjadi legitimasi atas teori khusus Norman Holland bahwa setiap anak menerima kesan”identitas pertama” dan orang dewasa menerima “identitas tema”.Artinya, ketika kita membaca suatu teks kita memprosesnya sesuai dengan tema identitas secara stabil. Jadi, kita mempergunakan karya sastra untuk melambangkan dan akhirnya meniru kita sendiri. Kita menyusun kembali karya itu untuk menemukan ciri strategi kita untuk menguasai ketakutan yang dalam dan keingintahuan yang membentuk kehidupan psikis kita.Ending
Teori yang berorientasi kepada pembaca, tidak mempunyai titik tolak filosofis yang tunggal atau utama. Para penulis teori di atas berasal dari tradisi pemikiran yang bermacam-macam. Jauss dan Iser serta Edmund Huserl tertarik pada Resepsi, Fenomenologi dan Hermeunetik dalam usahanya untuk menerangkan proses pembacaan dan hubungannya dengan kesadaran pembaca.
pembacanya, misalnya teori ini tidak mengizinkan beberapa jenis pembacaan yang kita pikirkan sepenuhnya secara “lurus saja.Sedangkan ahli lain dari dunia psikologi, yakni Norman Holland dan David Bleich, yang telah menderevasi pendekatan teori pembacaan dari sisi psikologi, memandang bahwa pembacaan sebagai suatu proses yang memuaskan atau paling sedikit tergantung kepeda keperluan psikologis pembaca. Buku Kritik Sastra Subjektif(1978) karya David Bleich adalah satu bukti pendukung bahwa dalam pembacaan telah terjadi pergeseran dari paradigma objektif ke paradigma subjektif. Hal yang juga menjadi legitimasi atas teori khusus Norman Holland bahwa setiap anak menerima kesan”identitas pertama” dan orang dewasa menerima “identitas tema”.Artinya, ketika kita membaca suatu teks kita memprosesnya sesuai dengan tema identitas secara stabil. Jadi, kita mempergunakan karya sastra untuk melambangkan dan akhirnya meniru kita sendiri. Kita menyusun kembali karya itu untuk menemukan ciri strategi kita untuk menguasai ketakutan yang dalam dan keingintahuan yang membentuk kehidupan psikis kita.Ending
Teori yang berorientasi kepada pembaca, tidak mempunyai titik tolak filosofis yang tunggal atau utama. Para penulis teori di atas berasal dari tradisi pemikiran yang bermacam-macam. Jauss dan Iser serta Edmund Huserl tertarik pada Resepsi, Fenomenologi dan Hermeunetik dalam usahanya untuk menerangkan proses pembacaan dan hubungannya dengan kesadaran pembaca.
Rifartere
mensyaratkan pembaca yang memiliki kompetensi sastra yangkhusus.
Stanley Fish percaya bahwa para pembaca memberi respon pada pergurutan
perkataan dalam kalimat, apakah kalimat itu bersifat sastra atau tidak.
Jonathan Culler mencoba menetapkan penafsiran menurut teori Strukturalis yang
berusaha menyingkap kebiasaan-kebiasaan dalam strategi pembaca dan diakui
strategi yang sama dapat pula menghasilkan tafsiran yang berbeda. Norman
Holland dan David Bleich memandang pembacaan sebagai suatu proses yang
memuaskan atau paling sedikit tergantung kepada kepercayaan psikologis pembaca.
Umumnya teori-teori sastra yang berorientasi kepada pembaca menentang
keunggulan teori Kritik Sastra Baru dan Formalisme Rusia yang berorientasi
kepada teks karena tidak bisa berbicara tentang arti sebuah teks tanpa
memandang sumbangan pembaca kepadanya.Usaha pemahaman dan penafsiran
karya sastra adalah usaha konkretisasi karya sastra oleh pembaca.
Wawasan sastra yang dimiliki akan memungkinkanpemilihan metode yang
tepat untuk karya tertentu yang bersifat khas. Ada karya yang dapat ditelaah
dengan pendekatan tertentu dan ada juga yang melalui pendekatan
lainnya. Teori, metode, dan pendekatan itu dapat dipergunakan secara
komprehensif karena proses dari konkretisasi apresiasi karya sastra berlangsung
secara kemoprehensif pula, sehingga pembaca diusahakan agar selalu
meningkatkan wawasan sastra, baik dalam konsep-konsep
teoritis maupun dalam penghayatan langsung dengan karya sastra.
0 komentar:
Posting Komentar