Rabu, 25 Februari 2015

Bidang-bidang Ilmu Sastra



1.        Pengertian Sastra
Dalam kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) terbitan pusat pembinaan dan pengembangan bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan tahun 1988 halaman 786 disebutkan bahwa sastra mengandung pengertian sebagai berikut :
1.    Bahasa (kata-kata, gaya bahasa) yang dipakai di kitab-kitab (bukan bahasa sendiri).
2.    Kesusastraan karya tulis, yang jika dibandingkan dengan tulisan lain memiliki berbagai ciri keunggulan seperti keaslian, keartistikan, keindahan dalam isi dan ungkapannya.
3.    Kitab suci (Hindu), (kitab) Ilmu pengetahuan.
4.    Pustaka, kitab primbon (terisi) ramalan, hitungan dan sebagainya.
5.    Tulisan, huruf.
Sastra Indonesia adalah sastra yang aslinya ditulis dalam bahasa Indonesia setelah mendapat pengaruh kebudayaan asing. Menurut sumber yang lain dijelaskan bahwa sastra Indonesia adalah karya sastra yang ditulis dalam bahasa Indonesia oleh penulis yang berwarganegaraan Indonesia, tidak peduli apakah ia tinggal di Malaysia, seperti halya Takdir Alisjahtana dulu atau tinggal di Australia seperti Subagio Sastrowardoyo saat ini.
2.        Sejarah Perkembangan Sastra
Sejarah sastra adalah cabang ilmu sastra yang berusaha menyelidiki perkembangan sastra sejak dari mulai pertumbuhannya sampai pada perkembangannya yang sekarang. Hakikat perkembangan sastra nasional sebenarnya terletak pada adanya kesinambungan antara satu periode dengan periode lain dalam sejarahnya, baik ditinjau dari segi formal maupun dari segi kaitannya dengan perkembangan masyarakat. Perjalanan sastra sejak lahir hingga sekarang sudah cukup panjang, perjalanan panjang itu dapat diibaratkan sebagai mata rantai yang berkesinambungan dari waktu kewaktu dan menggambarkan adanya dinamika pergantian tradisi. Dalam dunia kesastraan dikenal adanya sastra lisan dan sastra tulis. Sastra lisan adalah sastra yang diceritakan dan diwariskan secara turun-temurun secara lisan, sastra jenis ini dikenal dengan “Floklore”, yakni cerita rakyat yang telah mentradisi yang hidup dan dipertahankan oleh masyarakat pemiliknya. Sedangkan sastra tulis adalah sastra yang berbentuk tulisan baik berupa novel, cerpen atau yang lainnya, dengan mencantumkan nama pengarangnya.
Secara urutan waktu sastra Indonesia terbagi atas beberapa angkatan, yaitu :
1.         Pujangga Lama
Karya sastra pada angkatan pujangga lama dihasilkan sebelum abad ke-20, pada masa ini di dominasi oleh syair, pantun, hikayat dan gurindam.
~ Syair, merupakan bentuk puisi lama yang terdiri dari empat baris dalam satu bait. Persajak syair adalah aba-aba.
~ Pantun, merupakan puisi lama yang terdiri dari empat baris dalam satu baitnya. Baris pertama dan kedua disebut sampiran, sedangkan baris ketiga dan keempat disebut isi.
Pantun bersajak ab-ab artinya bunyi huruf terakhir pada kata terakhir kalimat pertama dan kalimat ketiga sama, disebut sajak a. Bunyi huruf terakhir pada kata terakhir kalimat kedua dan kalimat keempat sama disebut sajak b.
Secara sosial pantun memiliki fungsi pergaulan yang kuat, bahkan hingga sekarang. Di kalangan pemuda sekarang, kemampuan berpantun biasanya dihargai. Pantun menunjukkan kecepatan seseorang dalam berfikir dan bermain-main dengan kata. Namun demikian, secara umum peran sosial pantun adalah sebagai alat penguat penyampaian pesan.
~ Hikayat adalah salah satu bentuk sastra, terutama dalam Bahasa Melayu yang berisikan tentang kisah, cerita, dan dongeng. Umumnya mengisahkan tentang kehebatan maupun kepahlawanan seseorang.
Sebuah hikayat dibacakan sebagai hiburan, pelipur lara atau untuk membangkitkan semangat juang.
~ Gurindam, merupakan puisi lama yang tiap baitnya terdiri dua baris. Persajaknya a – a dan isinya adalah nasihat, hal-hal yang mendidik dan masalah agama.
2.         Sastra “Melayu Lama”
Angkatan sastra melayu lama dihasilkan antara tahun 1870 – 1942 yang berkembang dilingkungan masyarakat Sumatra, Cina dan masyarakat Indonesia – Eropa. Pada angkatan ini karya sastra yang pertama terbit sekitar tahun 1870 yang masih dalam berbentuk syair, hikayat, dan terjemahan novel Barat.
Suatu hasil sastra melayu lama yang masih hidup sampai sekarang adalah paribahasa. Berbeda dengan hasil sastra lama yang lain seperti syair, gurindam dan mantra, paribahasa ini masih digunakan walaupun sudah agak jarang. Penciptaan paribahasa baru memang jarang kita temui, namun paribahasa lama itu masih digunakan dalam berbagai kesempatan. Hasil sastra melayu lama tersebut ditulis dengan tangan pada kertas, dan diperbanyak dengan menyalin, tulisan-tulisan kertas itulah yang disebut naskah. Sastra melayu lama tidak mencantumkan waktu penciptaannya dan siapa penciptaya.
3.         Angkatan Balai Pustaka
Angkatan ini tumbuh dan perkembang sekitar tahun 20-an. Sekelompok pengarang pada masa ini, pada hakikatnya bergerak oleh satu cita-cita, yaitu hendak memberikan pendidikan budi pekerti dan mencerdaskan kehidupan bangsanya melalui bacaan. Dalam perkembangannya, sebenarnya sastra pada angkatan ini didirikan atau diciptakan oleh orang-orang Belanda. Tujan mereka bukan untuk mengembangkan dan memajukan sastra-sastra Indonesia, tetapi untuk kepentingan politik belaka.
Sebagian besar, sastra ini mengambil tema pokok masalah kawin paksa, contohnya novel Siti Nurbaya, Azab dan Sengsara, sicebol merindukan bulan. Peristiwa-peristiwa yang diceritakan sesuai dengan realitas kehidupan dalam masyarakat tidak lagi berhubungan dengan kehidupan raja-raja, dewa, atau kejadian-kejadian yang tidak masuk akal.
Diantara tiga pengarang Balai Pustaka yang penting ialah :
·       Nur Sutan Iskandar, karangan yang dihasilkannya antara lain novel sejarah, novel psikologi, novel adapt dan sebagainya.
·       Abdul Muis, novelya yang berjudul salah asuhan pada tahun 1928, dianggap sebagai sastra yang paling menonjol nilai sastranya.
·       Marah Rusli, novelnya yang berjudul Siti Nurbaya merupakan hasil sastra yang paling banyak dibaca orang
Novel salah asuhan dan Siti Nurbaya sering disebut orang sebagai puncak-puncak sastra balai pustaka.
4.         Pujangga Baru
Pada bulan Juli 1993 merupakan tahun berdirinya sastra angkatan pujangga baru, secara reformasi tahun ini sekaligus dianggap pula sebagai pertama kali terbitnya majalah pujangga baru. Ciri khas yang paling menonjol dalam sastra ini baik prosa maupun puisinya sebagian besar mengandung suasana romantic. Dan pokok cerita pada umumnya bukan lagi berkisar pada masalah kawin paksa seperti pada angkatan balai pustaka, melainkan masalah kehidupan kota atau kehidupan masyarakat modern, misalnya masalah perubahan (manusia baru - Sanusi Pane), masalah kedudukan wanita (layer terkembang – Sutan Takdir Alisjahbana), masalah kedudukan suami istri dalam hidup berumah tangga (Belenggu – Armijn Pane) dan sebagainya.
Sastra pujangga baru meliputi bentuk-bentuk novel, cerpen, kritik dan puisi dengan bermacam-macam bentuk. Pada angkatan ini ada dua kelompok sastrawan pujangga baru, yaitu :
1.    Kelompok “seni untuk seni” dimotori oleh Sanusi Pane dan Tengku Amir Hamzah. Tengku Amir Hamzah juga terkenal sebagai seorang sastrawan raja penyair pujangga baru.
2.    Kelompok “seni untuk rakyat” dimotori oleh Sultan Takdir Alisyahbana, Armijn Pane dan Rustam Efendi.
Dengan demikian, zaman pujangga baru menunjukan adanya hubungan yang lebih erat antara sastrawan dan sekelompok intelektual yang memiliki pengaruh dalam perkembangan pemikiran. Namun pada tahun 1942-1945 merupakan masa melemahnya sastra angkatan pujangga baru. Karya penting penutup periode sastra ini adalah belenggu, novel karya Armijn Pane dan manusia baru, drama karya Sanusi Pane.
5.         Angkatan ‘45
Pada periode 1942-1950 atau 1942-1945 adalah periode bangkit dan terintegrasinya sastra angkatan ini. Pada masa angkatan ini karya-karyanya bersifat lebih realistic disbanding karya angkatan pujangga baru yang bersifat romantic, idealistic. Angkatan ’45 diwarnai dengan adanya pengalaman hidup dan problem sosial, polotik, budaya seperti korupsi, penyelwengan, ketidakadilan, dan kemerosotan moral.
Diantara penulis angkatan ’45 yaitu Chairil Anwar, Idrs Mochtar Lubis, Trisno Sumardjo, M. Balfas.
6.         Angkatan 50-an
Angkatan ini ditandai dengan terbitnya majalah sastra “kisah” asuhan H.B jassin, majalah tersebut bertahan sampai tahun 1946 dan diteruskan dengan majalah sastra lainnya. Cirri angkatan ini adalah karya sastra yang didominasi cerita pendek dan kumpulan puisi. Sastra 50-an umumnya menyadarkan pada segi ekspresi sarta memperkembangkan gaya ucapan angkatan ’45. pada tahun ini, majalah sastra yang dianggap standar adalah “kisah”. Kisah yang memuat cerpen dan puisi.
7.         Angkatan ’66 – ’70-an
Pada angkatan ini ditandai dengan terbitnya majalah sastra horizon. Majalah horizon adalah satu-satunya majalah sastra yang terbit di Indonesia pada saat ini atau setidaknya ia adalah satu-satunya majalah yang mengorbankan (hampir) seluruh halamannya untuk menampung hasil tulisan. Sastrawan kita menganggap majalah horizon sebagai standar perkembangan sastra Indonesia dan sekaligus menjadi sasaran tuntutan beranekaragam yang patut di alamatkan kepada sebuah majalah sastra.
Pada awal tahun 70-an Marga. T. mengumumkan novelnya dikoran kompas, novelis wanita tampaknya menjadi salah satu jaminan bagi lakunya suatu penerbitan.
8.         Dasawarsa 80-an
Pada karya sastra 80-an, ditandai dengan banyaknya roman percintaan, majalah horizon tidak adalagi. Karya sastra Indonesia pada angkatan ini tersebar luas diberbagai majalah dan penerbitan umum. Mira W. dan Marga T. adalah dua sastrawan wanita Indonesia yang menonjol dengan fiksi romantis yang menjadi ciri-ciri novel mereka, pada umumnya tokoh utama dalam novel mereka adalah wanita. Namun yang tidak boleh dilupakan pada era 80-an ini juga tumbuh sastra yang beraliran pop (tetapi tetap sah disebut sastra, jika sastra dianggap sebagai salah satu alat komunikasi) yaitu lahirnya sejumlah novel popular yang dipelopori oleh Hilman dengan serial lupusnya.
9.         Angkatan Reformasi
Munculnya angkatan ini ditandai dengan maraknya karya-karya sastra, puisi, cerpen, maupun novel, yang bertema sosial, politik, khususnya seputar reformasi.
3.        Penilaian Sastra
Nilai adalah sesuatu, sifat atau hal yang penting atau berguna bagi kemanusiaan. Nilai dapat berupa konsep, prinsip, cara berpikir, perilaku dan sikap seseorang. Dalam perkembangannya, sastra Indonesia diwarnai dengan berbagai penilaian – penilaian, yaitu apabila suatu karya sastra dianggap bernilai oleh suatu masyarakat pada suatu tempat dan pada zaman tertentu. Maka karya sastra itu haruslah dianggap bernilai pula pada zaman dan tempat lain. Contohnya ada sebuah hikayat, misalnya hikayat si miskin orang atau bangsa melayu memberi nilai yang tinggi kepada hikayat ini, secara objektif mungkin tidak bernilai, atau mungkin berdasar penilaian zaman sekarang dapat dikata tidak bernilai lagi, atau tidak bernilai berdasar pandangan orang-orang Eropa, namun meskipun demikian, hikayat si miskin ini haruslah diterima sebagai karya sastra yang bernilai, dan tetap bernilai sampai kapan dan dimanapun. Jadi, penilaian yang relatif berlaku pada suatu tempat dan zaman tertentu dianggap berlaku untuk umum di segala tempat dan zaman. Dalam menilai karya sastra haruslah dilihat hubungan antara sastrawan dengan karya sastranya, mengingat bahwa karya sastra penjilmaan pengalaman jiwa sastrawan ke dalam suatu karya dengan medium bahasa. Jadi, dalam menilai karya sastra haruslah dilihat berhasil / tidaknya sastrawan menjilmakan pengalaman jiwanya ke dalam kata.
Pengertian sejarah menurut Kamus Bahasa Indonesia adalah pengetahuan atau uraian tentang peristiwa dan kejadian yg benar-benar terjadi di masa lampau. Atau menurut catatan perkuliahan yang saya ikuti, pengertian sejarah yaitu cabang ilmu sastra yang berusaha menyelidiki perkembangan sastra sejak awal pertumbuhannya sampai pada perkembangan sastra saat ini. Cabang-cabang yang ada dalam ilmu sastra yaitu teori sastra, sejarah sastra, dan kritik sastra. Teori sastra merupakan bagian yang membahas hakikat dan pengertian sastra, sedangkan kritik sastra adalah ilmu sastra yang menyelidiki karya sastra secara langsung. Adakah di antara kalian yang tahu hubungan timbal balik antara cabang-cabang sastra tersebut? Berikut ini saya gambarkan relasi ketiganya.
                                       http://robita.files.wordpress.com/2011/01/relasi-teori-sejarah-kritik-sastra.png?w=300&h=172

Hubungan timbal-balik antara teori sastra dengan sejarah sastra:
• Teori sastra muncul karena telah diadakan penyelidikan terhadap sastra (sejarah sastra).
• Teori sastra diperlukan untuk mengonfirmasi tentang sejarah sastra.
• Sejarah sastra memerlukan teori sastra dalam perjalanannya.
• Teori sastra dapat berubang/berkembang sesuai dengan perubahan sejarah sastra/perjalanan dunia sastra.
Hubungan timbal-balik antara kritik sastra dengan sejarah sastra:
• Adanya kritikan terhadap sastra (karya sastra) mempengaruhi perjalanan sejarah sastra.
• Kritik sastra memerlukan bahan dari sejarah sastra.
• Perkembangan sejarah sastra tidak terlepas dari kritik sastra.
Hubungan antara teori sastra dengan kritik sastra:
• Dengan bermodalkan teori sastra, kita dapat mengkritik suatu sastra (karya sastra).
• Adanya kritikan terhadap sastra, dapat memengaruhi teori sastra. Mungkin berupa penambahan/pengurangan terhadap teori tertentu, atau dapat juga berupa konfirmasi terhadap teori sastra tertentu.
Sejarah sastra adalah ilmu yang memperlihatkan perkembangan karya sastra dari waktu ke waktu. Sejarah sastra bagian dari ilmu sastra yaitu ilmu yang mempelajari tentang sastra dengan berbagai permasalahannya. Di dalamnya tercakup teori sastra, sejarah sastra dan kritik sastra, dimana ketiga hal tersebut saling berkaitan.
Selanjutnya (Todorov; 1985: 61) mengatakan bahwa tugas sejarah sastra adalah:
1.         meneliti keragaman setiap kategori sastra.
2.         meneliti jenis karya sastra baik secara diakronis, maupun secara sinkronis.
3.         menentukan kaidah keragaman peralihan sastra dari satu masa ke masa berikutnya.
Periodisasi Sastra Indonesia
Ada beberapa pendapat tentang periodisasi sastra Indonesia, saya mengambil dua diantaranya :
  1. Menurut Nugroho Notosusanto
a. Kesusastraan Melayu Lama
b. Kesusastraan Indonesia Modern
1). Zaman Kebangkitan : Periode 1920, 1933, 1942, 1945
2). Zaman Perkembangan : Periode 1945, 1950 sampai sekarang
2.      Menurut Simomangkir Simanjuntak
a. Kesusastraan masa lama/ purba : sebelum datangnya pengaruh hindu
b. Kesusastraan Masa Hindu/ Arab : mulai adanya pengaruh hindu sampai dengan kedatangan agama Islam
c. Kesusastraan Masa Islam
d. Kesusastraan Masa Baru
1). Kesusastraan Masa Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi
2). Masa Balai Pustaka
3). Masa Pujangga Baru
4). Kesusastraan Masa Mutakhir : 1942 hingga sekarang.
 Karya sastra bersifat multiinterpretable. Oleh karena itu,  penafsiran makna sebuah karya sastra oleh para  pembacanya  melibatkan berbagai strategi  dan pendekatan  yang multiinterpretable  pula sesuai  latar belakang pembaca atas suatu pesan dalam suatu  karya sastra yang memiliki konvensi kebahasaan dan kesastraan tersendiri bagi sebuah ilmu. Masalah  penafsiran dalam menggeluti karya sastra  adalah  masalah dasar dalam khasanah teori dan kritik sastra. Kehadiran  berbagai pendekatan untuk pemahaman karya sastra seperti Semiotik; Strukturalisme;  Sosiologi Sastra; Estetika  Resepsi;  Fenomenologi; Hermeunetik, dan sebagainya dapat membantu juru tafsir untuk menelaah dan  menafsirkan  arti/makna karya  sastra.
Penafsiran  merupakan bekal  utama untuk apresiasi, kririk, dan  pengajaran karya-karya sastra  sehingga  pembaca mampu  menginternalisasikan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.Jadi, di satu sisi dituntut pemahaman tentang cara penafsiran yang cukup komprehensif,  di  sisi lainnya  dituntut  pembacaan  karya sastra  sebanyak dan semendalam mungkin. Tumbuh dan  berkembangnya wawasan  sastra  hanya bisa  dicapai  dengan   menumbuhkembangkan strategi penafsiran dan pembacaan karya sastra secara terus menerus.Berbagai teori dan pendekatan dalam upaya penafsiran sebuah  karya sastra agar menjadi lebih jelas maknanya bagi pembaca dalam  menginternalisasikan nilai-nilai yang terkandung dalam sebuah  karya sastra  pernah  dikembangkan oleh antara lain:  T.S. Kuhn;  Roman Jakobson;  Gerald Prince; Edmund Huserl dan Roman Ingarden; Wolfgang  Iser, Hans Robert Jauss,  Stanley Fish, Riffaterre,   Jonathan Culler, dll.Soal pembaca bagi sebuah Teori Ahli filsafat, T.S. Kuhn memperkuat keraguan kepada teori Relativitas Einstein  yang  mengungkapkan  bahwa  pengetahuan objektif secara  sederhana  adalah sebuah penumpukan fakta yang  keras  dan progresif.
Kuhn berpendapat bahwa apa yang muncul  sebagai  fakta dalam ilmu  pengetahuan  tergantung pada  rangka  referensi  yang dibawa pengamat ilmu pengetahuan terhadap objek pemahaman. Memakai  analog  Psikologi Gestalt dan model  komunikasi  Teka-teki Bebek-Kelinci  dan Komunikasi Linguistik Roman Jakobson, ia  yakin bahwa pengamat adalah berperan aktif dalam rangka pemahaman  suatu karya sastra. Artinya, hanya pengamatlah yang mampu memutuskan dan mengambil  simpulan paling tepat atas suatu teks maupun  berbagai kode yang ada dalam suatu karya sastra. Ahli sastra lain, Gerald Prince, bahkan lebih rumit lagi  membedakan posisi pembaca dengan naratee. Ia menginginkan sang naratee(si diceritai) berdiri secara khusus berdasarkan jenis kelamin, kelas, situasi,  ras  bahkan umur. Akibatnya, efek  teori  Prince  adalah menyoroti dimensi penceritaan yang telah dimengerti secara  intuitif  oleh para pembaca, tetapi masih tetap kabur dan tidak  pasti. Ia  menekankan  pada cara yang  ditempuh  pencerita(sang naratif) untuk menghasilkan pembaca atau pendengarnya sendiri, yang mungkin atau tidak mungkin bersamaan dengan pembaca nyata.
A Teeuw  dalam buku Sastra dan  Ilmu  Sastra (1984:43) menelaaah berbagai pendekatan dalam apresiasi sastra uintuk  memahami  karya sastra,”  Sastra sebagai model semiotik tidak dapat  diteliti  dan dipahami  secara ilmiah tanpa mengikutsertakan aspek  kemasyarakatannya,  yakni  sebagai tindak komunikasi.” Ia  menyebut  berbagai model  pendekatan dalam mengapresiasi karya sastra sehingga  turut memperkuat fakta bahwa karya sastra merupakan sesuatu yang  kaya akan makna, sehingga tidak mudah didekati hanya dengan satu pendekatan saja.
Beberapa pendekatan yang dibutuhkan dalam apresiasi sastra seperti yang
dijelaskan Teeuw untuk para pembaca di antaranya yang  sudah dikembangkan Umar Junus dalam pendekatan Pragmatik adalah pendekatan Resepsi sastra dari teori Iser (pembaca  implisit)  dan  Hans Robert Jauss (horison harapan).Jauss  menitikberatkan perhatiannya kepada bagaimana karya  sastra diterima pada suatu masa tertentu berdasarkan horison  penerimaan tertentu  atau berdasarkan horison yang diharapkan. Karya  sastra dapat  hidup  jika pembaca berpartisipasi dan  dengan  partisipasi pembaca itu, konteks sejarah terciptanya karya sastra bukan  merupakan  sesuatu  yang  faktual, tetapi hanya  merupakan  rangkaian peristiwa yang berdiri sendiri yang ujudnya terpisah dari embaca. Karya  yang  telah dipahami pembaca menjadi  modal bagi  resepsi. Proses  resepsi menjadi perluasan semiotik yang timbul dalam
pengembangan  dan perbaikan suatu sistem. Horison penerimaan  mungkin
berubah (bahkan berkali-kali). Selanjutnya Jauss menyatakan bahwa pendekatannya bersifat parsial, tidak menyeluruh karena hanya melakukan hubungan hari ini  dengan “virtue” sejarah. Resepsi hanya berklaitan dengan saat karya  itu dibaca sehingga terdapat konvergensi antara teks dan resepsi  yang berupa  dialog antara subjek hari ini dengan subjek masa  lampau. Tradisi  berperan  penting dalam hal ini.  Tradisi  yang  dimaksud adalah  wawasan  yang mendasari resepsi yang dilakukan  pada  saat tertentu.Jika resepsi Jauss mementingkan sejarah pada suatu saat  tertentu, maka Resepsi Iser bertitik tolak pada kesan(sebenarnya pada  tahap akhir teori Jauss juga disebut-sebut tentang kesan). Iser  mempermasalahkan konkretisasi karya sastra, yakni reaksi pembaca  terhadap  teks  yang diresepsi. Dalam resepsi Iser,  terdapat  dinamika pembaca. 
Ia  akan memilih satu di  antara berbagai  kemungkinan realisasi,  sehingga  tugas kritikus dalam  pandangan Iser  bukan menerangkan  teks sebagai objek, tetapi menerapkan efeknya kepada pembaca.  Kodrat teks itulah yang mengizinkan beraneka  ragam kemungkinan pembacaan, sehingga lahir pembaca implisit(pembaca  yang diciptakan  sendiri oleh teks dirinya dan menjadi  jaringan  kerja struktur yang  mengundang jawaban, yang mempengaruhi  kita  untuk membaca dalam cara tertentu) dan pembaca nyata (yang menerima citra mental  tertentu dalam proses pembacaan yang diwarnai oleh  persediaan pengalaman yang ada). Dalam resepsi Iser, ada hubungan teks dan pembaca.  Hubungan  itu melalui  tiga langkah, yakni 1. sketsa tentang  suatu  teks  yang membedakan dengan teks-teks sebelumnya; 2. pengenalan dan analisis terhadap  kesan  dasar teks; dan 3. mencari kemungkinan  yang  ada tentang makna karya satra. Karya sastra selanjutnya memberi  kesan kepada pembaca, sehingga teori Resepsi sastra Jauss dan Iser  tampaknya mendapat  pengaruh Hermeunetika  dari Schleiermacher  dan Gadamer.
Jika  Jauss  dan Iser berperan dalam resepsi sastra  yang  memberi kesan kepada pembaca, Edmund Husserl, seorang ahli filsafat modern terkenal dengan teori Fenomenologi-nya dalam kaitan antara  karya sastra dengan pembacanya. Teori fenomenologi menuntut untuk menunjukkan kepada kita alam yang mengarisbawahi, baik kesadaran  manusia maupun kesadaran fenomena.Teori ini adalah usaha untuk menghidupkan ide(setelah zaman Romantik) bahwa pikiran manusia   individual adalah pusat dan asal semua arti. Teori ini tidak mendorong keterlibatan subjektif secara murni untuk struktur mental kritikus karena menggunakan berbagai lapis norma karya, tetapi tipe  kritik sastra yang mencoba masuk ke dalam dunia karya seorang penulis dan sampai pada suatu pengertian tentang alam dasar atau  intisari tulisan sebagaimanatampak dalam kesadaran kritikus.
Ahli satra lain, kritikus Amerika yang bernama Stanley Fish menyodorkan
teori Stilistika Efektif  yang memusatkan penyesuaian  harapan  yang  dibuat pembaca ketika membaca teks,  tetapi  ia  lebih menekankan  pada  rangkaian kalimatnya.  Fish  berpendapat  bahwa pembaca  adalah seseorang yang memiliki kompetensi linguistik yang telah memasukan pengetahuan sintaktik dan semantik yang diperlukan untuk membaca  selain  penguasaan  kompetensi sastra   secara khusus(konvensi bahasa dan konvensi sastra). Namun,Jonathan  Culler, salah seorang murid Fish  justru  selain mendukung  juga memberikan kritik atas pendapat  Fish  karena  ia dianggap  gagal meneorikan konvensi-jkonvensi pembacaan, yaitu  ia gagal  mengajukan pertanyaan,”konvensi-konvensi apa yang  diikuti pembaca?”  Selain  itu, ia dianggap gagal  pada tuntutannya  atas pembaca  kalimat perkataan demi perkataan dalam  suatu  pengurutan waktu  itu  menyesatkan( tidak ada alasan mempercayai  bahwa  para pembaca  secara  nyata  membaca kalimat  dan memecahkannya  serta melakukannya sedikit demi sedikit secara bertahap).
Selanjutnya  Culler membuat teori pembacaan yang harus  mengungkap operasi penafsiran yang dipergunakan pembaca karena pembaca  yang berbeda akan menghasilkan tafsiran yang berbeda pula. Jadi, menurutnya  bermacam-macam penafsiran inilah yang  harus  diterangkan sebuah teori meskipun hasil pembacaan akan berbeda artinya, walaupun mengikuti perangkat konvensi penafsiran yang sama. Dampaknya, Culler memberikan pendekatan yang mengizinkan suatu prospek sejati kemajuan teoritis. Sedangkan Fish memberikan metode yang  berguna, tetapi  menutup persoalan  teori yang mendasar  atau  pendekatan Rifartere yang menghasilkan sebuah baju pengikat yang teoritis. Rifartere  memberikan baju pengikat yang teoritis  terutama pada bukunya Semiotics of Poetry(1978),  yang di dalamnya ia  mengatakan bahwa pembaca yang berkompeten melampaui arti permukaan. Ia penganut Formalis Rusia dalam memandang puisi sebagai sebuah penggunaan bahasa  yang khusus. Menurutnya, diperlukan kompetensi  linguistik biasa untuk memahami arti sebuah puisi, tetapi pembaca juga memerlukan kompetensi sastra untuk menghadapi ketidakgramatikalan  yang sering  dijumpai  di  dalam pembacaan sebuah  sajak.  Sehingga  ia mengajukan matrik strutural/hipogram sebagai salah  satu  upaya pengujian  sebuah  sajak sebagai satu kesatuan.
Sayangnya   teori Rifarterre  ini  memiliki banyak kesukaran bagi  para
pembacanya, misalnya teori ini tidak mengizinkan beberapa jenis pembacaan yang kita pikirkan sepenuhnya secara “lurus saja.Sedangkan ahli lain dari dunia psikologi, yakni Norman Holland dan David Bleich, yang telah menderevasi pendekatan  teori  pembacaan dari sisi psikologi,  memandang bahwa  pembacaan  sebagai  suatu proses yang memuaskan atau paling sedikit tergantung kepeda keperluan psikologis pembaca. Buku Kritik Sastra Subjektif(1978)  karya David  Bleich adalah satu bukti pendukung bahwa  dalam pembacaan telah  terjadi  pergeseran dari paradigma objektif  ke  paradigma subjektif. Hal  yang juga menjadi legitimasi  atas teori  khusus Norman Holland bahwa setiap anak menerima  kesan”identitas pertama”  dan  orang dewasa menerima “identitas tema”.Artinya, ketika kita  membaca  suatu  teks kita memprosesnya  sesuai  dengan  tema identitas  secara  stabil. Jadi, kita mempergunakan  karya  sastra untuk melambangkan dan akhirnya meniru kita sendiri. Kita menyusun kembali karya itu untuk menemukan ciri strategi kita untuk  menguasai ketakutan yang dalam dan keingintahuan yang membentuk kehidupan psikis kita.Ending
Teori  yang  berorientasi kepada pembaca,  tidak  mempunyai  titik tolak filosofis yang tunggal atau utama. Para penulis  teori  di atas berasal dari tradisi pemikiran yang bermacam-macam. Jauss dan Iser serta Edmund Huserl tertarik pada Resepsi, Fenomenologi  dan Hermeunetik  dalam usahanya untuk menerangkan proses pembacaan dan hubungannya  dengan  kesadaran  pembaca.
Rifartere   mensyaratkan pembaca  yang memiliki kompetensi sastra yangkhusus. Stanley  Fish percaya bahwa para pembaca memberi respon pada pergurutan perkataan dalam kalimat, apakah kalimat itu bersifat sastra atau tidak. Jonathan Culler mencoba menetapkan penafsiran menurut teori Strukturalis yang berusaha menyingkap kebiasaan-kebiasaan dalam strategi pembaca dan diakui strategi yang sama dapat pula menghasilkan tafsiran yang berbeda. Norman Holland dan David Bleich memandang pembacaan sebagai suatu proses yang memuaskan atau paling sedikit tergantung kepada kepercayaan psikologis pembaca. Umumnya teori-teori sastra yang berorientasi kepada pembaca menentang keunggulan teori Kritik Sastra Baru dan Formalisme Rusia yang berorientasi kepada teks karena tidak bisa berbicara tentang arti sebuah teks tanpa memandang sumbangan pembaca kepadanya.Usaha  pemahaman dan penafsiran karya sastra adalah usaha  konkretisasi karya sastra oleh pembaca.  Wawasan sastra  yang  dimiliki akan memungkinkanpemilihan metode yang tepat untuk karya tertentu yang bersifat khas. Ada karya yang dapat ditelaah dengan  pendekatan tertentu dan ada juga yang melalui pendekatan lainnya.  Teori, metode, dan pendekatan itu dapat dipergunakan secara  komprehensif karena proses dari konkretisasi apresiasi karya sastra berlangsung secara kemoprehensif pula, sehingga pembaca diusahakan agar selalu meningkatkan  wawasan  sastra, baik dalam konsep-konsep  teoritis maupun dalam penghayatan langsung dengan karya sastra.



0 komentar:

Posting Komentar