BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia
merupakan negara kepulauan yang terdiri dari banyak pulau dan memiliki berbagai
macam suku bangsa, bahasa, adat istiadat atau yang sering kita sebut
kebudayaan. Keanekaragaman budaya yang terdapat di Indonesia merupakan suatu
bukti bahwa Indonesia merupakan negara yang kaya akan budaya. Tidak bisa kita
pungkiri, bahwa kebudayaan daerah merupakan faktor utama berdirinya kebudayaan
yang lebih global, yang biasa kita sebut dengan kebudayaan nasional. Maka atas
dasar itulah segala bentuk kebudayaan daerah akan sangat berpengaruh terhadap
budaya nasional, begitu pula sebaliknya kebudayaan nasional yang bersumber dari
kebudayaan daerah, akan sangat berpebgaruh pula terhadap kebudayaan daerah /
kebudayaan lokal. Karena
bahasa-bahasa daerah Sulawesi Selatan pada saat ini mengalami ancaman
penyusutan-penyusutan dalam berbagai dimensinya, diperlukan program
pemercepatan.
Program pemercepatan mengandung makna
membuat perkembangan bahasa-bahasa daerah jauh lebih cepat guna mengimbangi
kecepatan ancaman proses kepunahan yang telah ada di depan mata. Saat ini bahasa-bahasa daerah sedang
mengalamai ancaman yang sangat dahsyat yang dapat menyebabkannya menjadi punah.
Ancaman yang dahsyat itu perlu diimbangi dengan suatu program atau tindakan
yang volumenya jauh lebih besar dibandingkan dengan volume ancaman kepunahan.
Sebaliknya, jika ancaman kepunahan sama besarnya dengan tindakan yang
diberikan, maka besar kemungkinan bahasa-bahasa daerah itu hanya berjalan di
tempat. Artinya, ancaman dan tindakan hanya menghasilkan keadaan yang seimbang,
sehingga bahasa daerah sulit diharapkan mengalami meningkatan sebagaimana yang
ditargetkan. Singkatnya, diperlukan usaha pemerkembangan bahasa daerah yang
volumenya jauh lebih besar daripada volume ancaman kepunahan yang terimplementasi
dalam program pemerkembangan.
B. Rumusan Masalah
Adapun
rumusan masalah yang akan dibahas pada makalah ini, yaitu:
1.
Mengapa bahasa
daerah perlu dikembangkan?
2.
Bagaimana model perkembangan Bahasa-bahasa Daerah Sulawesi Selatan?
3.
Jelaskan
alternatif tindakan atau kegiatan-kegiatan yang dapat membantu tercapainya
perkembangan bahasa daerah!
C. Tujuan
Makalah
ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana perkembangan Bahasa Daerah
Sulawesi Selatan saat ini.
D. Manfaat
Adapun manfaatnya yang dapat
diperoleh melalui makalah ini, yaitu:
1.
Menambah pengetahuan penulis
mengenai Bahasa Daerah(Bugis) di Sulawesi Selatan.
2.
Penulis dapat mengetahui perkembangan
Bahasa Daerah saat ini.
3.
Meningkatkan rasa cinta terhadap kebudayaan
asli bangsa Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Perkembangan
bahasa daerah di Sulawesi Selatan
Perlunya program pemerkembangan bahasa-bahasa daerah Sulawesi
Selatan didasarkan atas delapan alasan, yaitu:
1. Kedudukan
Bahasa Daerah
Bahasa daerah
memiliki kedudukan utama dalam perkembangan bahasa Indonesia. Untuk memperkaya
bahasa Indonesia, kosa kata bahasa daerah merupakan penyumbang utama. Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia, baru ada 11 bahasa daerah sebagai penyumbang.
Namun, belum satu pun bahasa daerah Sulawesi Selatan yang tercatat sebagai
penyumbang. Hal ini cukup memprihatinkan bila dibandingkan dengan banyaknya
jumlah putra Sulawesi Selatan yang telah berpartsipasi aktif dalam percaturan
nasional. Artinya, keunggulan bahasa daerah dapat dinilai dari kontribusinya terhadap
pengembangan bahasa Indonesia. Bila Sulawesi Selatan dikenal sebagai masyarakat
bahari yang pernah mengukir kejayaan dalam menaklukkan nusantara, maka
seyogyanya kosa kata yang dapat disumbangkan adalah istilah-istilah yang
berkaitan dengan bahari. Karena itu, penutur bahasa daerah Sulawesi Selatan
dapat berperan aktif untuk memperkembangkan bahasa Indonesia, sekaligus
mendorong pemerkembangan bahasa daerahnya. Gambar berikut menunjukkan kedudukan strategis bahasa daerah dalam tataran
nasional.
Fungsi bahasa daerah,
seperti tergambar pada gambar diatas menunjukkan bahwa di samping sebagai
alat komunikasi pada daerah yang bersangkutan, juga sebagai pemerkaya kosa kata
bahasa Indonesia. Ungkapan yang belum ditemukan dalam bahasa Indonesia dapat
diserap dari bahasa-bahasa daerah dari seluruh persada nusantara. Dalam hal
pembentukan istilah, bahasa daerah menempati kedudukan pertama setelah bahasa
Indonesia, dan bahasa asing menempati urutan terakhir (Purbo, Hadiwidjojo, M. M. 1999:127.).
2.
Keterasingan Generasi Muda dari Bahasa Daerahnya
Menurut pengamatan kami, generasi
muda Sulawesi Selatan (Bugis-Makassar) saat ini mulai mengalami keterasingan
terhadap bahasa-bahasa daerahnya sendiri. Di kota-kota di Sulawesi Selatan,
para orang tua di rumah lebih bangga menggunakan bahasa Indonesia daripada
bahasa daerahnya walaupun ibu-bapaknya adalah orang asli Sulawesi Selatan yang
masih fasih menggunakan bahasa daerahnya sendiri. Dalam pergaulan sehari-hari,
sangat jarang dijumpai sesama penutur bahasa-bahasa daerah Sulawesi Selatan
yang menggunakan bahasanya sendiri ketika mereka bertemu di mana pun.
Menggunakan bahasa-bahasa daerah Sulawesi Selatan lebih canggung dibandingkan
dengan teman-teman kita dari Jawa yang masih sangat fasih menggunakan bahasa
Jawa di mana pun mereka bertemu sesama Jawa.
3. Surutnya
Kebanggaan terhadap Budaya Asli Daerah
Di forum-forum resmi, kebanggaan
putra-putri Sulawesi Selatan sendiri menggunakan falsafah leluhurnya belum
terlihat. Putra-putri terbaik Sulawesi Selatan lebih nyaman menggunakan
falsafah orang lain daripada falsafahnya sendiri. Mungkin pemahaman dan pengimplementasian
nilai-nilai budaya mulai tergusur dari eksistensinya dalam lubuk hati generasi
muda Bugis-Makassar, sehingga falsafah leluhurnya yang sangat sesuai dengan
pemerintahan yang baik, demokrasi, kontrak sosial, penegakan hukum, etos kerja, prestasi dan
sebagainya kurang ditonjolkan. Falsafah pemerintahan yang baik dalam hal kepemimpinan dikenal
dengan ”falsafah Sulapa Eppa”.
Seorang pemimpin haruslah memiliki sifat empat yang tak terpisahkan, yaitu: ”Maccai na Malempu; Waranawi na Magetteng (Cendekia
lagi Jujur; Berani lagi Teguh dalam Pendirian)
Dalam hal etos kerja dan mencari kesejahteraan, falsafah kerja keras ”Resopa natinulu na temmangingngi malomo
naletei pammase Dewata” (Hanya dengan kerja keras dan ketekunanlah yang
dapat menjadi sarana mendapat rizki dari Tuhan). Artinya, sarana untuk
memperoleh kesejahteraan adalah kerja keras dan ketekunan. Dalam hal penegakan
hukum, ada falsafah ”adekumi kupopuang” (hanya hukum yang kupertuan). Artinya,
hanya hukumlah yang harus kutaati. Dalam hal demokrasi, falsafah Bugis-Makassar
dikenal dengan ungkapan:
Rusa taro arung, tenrusa taro ade,
Rusa taro ade, tenrusa taro anang,
Rusa taro anang, tenrusa taro tomaega.
Artinya,
Batal ketetapan raja, tidak batal ketetapan adat,
Batal ketetapan adat, tidak batal ketetapan kaum,
Batal ketetapan kaum, tidak batal ketetapan orang
banyak.
4. Ketercerabutan
dari Akar Budaya
Banyak dimensi budaya yang tidak bisa
diserap dan dijelaskan tanpa menggunakan bahasa daerah. Dalam bahasa
Bugis-Makassar, falsafah Rewako atau Ewako, sama dengan falsafah ”pesse” atau
”pacce” yang berarti nyali. Artinya, seorang Bugis-Makassar haruslah memiliki
nyali untuk mencapai kesuksesan. Hanya saja sering disalahartikan. Akibatnya,
banyak generasi muda Bugis-Makassar bertindak nekat walaupun dia berada di
pihak yang salah. Karena itu, memperkenalkan bahasa daerah terhadap
putra-putrinya sejak dini merupakan sarana untuk menanamkan nilai-nilai budaya
yang sesungguhnya sangat sesuai dengan peradaban yang saat ini didominasi dunia
luar. Kita bangga dengan kontrak sosial dengan menggunakan teori-teori dari
luar, padahal sesungguhnya praktik kontrak sosial sudah lama dikenal (sejak
abad ke-15) di negeri Bugis-Makassar jauh sebelum Prancis mengumandangkan
kontrak sosial pada abad ke-18 (Abdullah, H. 1985:86), agar
generasi mendatang tidak tercerabut dari akar sosial-budayanya dan tetap
berwawasan nasional, memperkenalkan budaya lokal melalui bahasa daerah
masing-masing perlu diperkembangkan.
5. Penyusutan
Fungsional Bahasa Daerah
Bahasa-bahasa
daerah di Sulawesi Selatan telah menunjukkan penyusutan fungsionalnya. Keadaan
bahasa-bahasa daerah Sulawesi Selatan sejak tahun 1945 (kemerdekaan) mengalami
serangan dari bahasa Indonesia dan bahasa asing, khususnya bahasa Inggris.
Pemerkayaan bahasa Indonesia yang seharusnya didukung oleh bahasa-bahasa daerah
yang tersebar di Indonesia, tampaknya peran bahasa-bahasa daerah Sulawesi
Selatan tidak menunjukkan sumbangan yang berarti. Dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia (KBBI), hanya ada 11 bahasa daerah yang tercatat memberi sumbangan
pemerkayaan bahasa Indonesia, yaitu bahasa Bali, Batak, Dayak, Jawa, Lampung,
Madura, Minangkabau, Minahasa, Manado, Palembang, dan Sunda (Departemen Pendidikan. 2003:xxvii). Ada sumbangan kata bahasa Bugis dalam KBBI, yaitu
”gantole” yang berasal dari bahasa Bugis ”gantolle” tetapi bahasa-bahasa daerah
Sulawesi Selatan tidak dicatat sebagai salah satu penyumbang utama seperti
halnya 11 bahasa daerah lainnya yang dicatat di atas. Padahal, pada dasarnya, bahasa-bahasa daerah
Sulawesi Selatan dapat memberi sumbangan dalam penerjemahan dari bahasa Inggris
atau asing ke dalam bahasa Indonesia. Karena itu, bahasa-bahasa daerah tidak
sekedar dilestarikan atau dipertahankan, tetapi harus dikondisikan agar dapat
berfungsi secara maksimal.
6.
Gejala
Ketercerabutan akan Kebanggaan dari Kebudayaan Asli
Seni tradisional kecapi, sinrili, yang dipentaskan pada
acara-acara seperti pernikahan dan upacara lainnya disertai dengan lagu-lagu
yang mengandung nasihat dan perjuangan telah berangsur-angsur digantikan dengan
musik dari luar. Seni bela diri seperti pencak silat mulai ditinggalkan dan
digantikan oleh seni bela diri dari luar seperti taekwondo, karate, kungfu,
dsb. Di Makassar ada kata asing yang digunakan seperti Emergency, Islamic Centre,
Racing Centre, di Jakarta,
nama-nama perumahan, tempat-tempat umum didominasi oleh nama-nama yang berbau
asing, seperti The Plasa Semanggi,
Ocean Palace, Cibubur Juction, Proyek Rest Area, BusWay, WaterWay. Hal ini menunjukkan bahwa kebanggaan terhadap
bahasa dan budaya sendiri telah tercerabut dari habitatnya.
7. Gejala Ketertindasan Budaya Lokal
Di banyak daerah, nama-nama tempat umum yang memiliki
nilai sejarah diganti dengan nama-nama populer dengan alasan nasionalisme.
Contoh, ”Jalan Nanakeng” diganti dengan nama bahasa Indonesia ”Jalan Cempeda”.
Nama-nama tempat umum seperti gedung-gedung pemerintah telah banyak diberi
nama-nama orang luar atas nama nasionalisme. Contoh, nama rumah sakit
kebanggaan masyarakat Sulawesi Selatan sama sekali tidak menggambarkan
nilai-nilai budaya lokal. Nama-nama daerah para transmigran menggunakan nama
daerah asal para transmigran, seperti Wonomulyo di Sulawesi Barat. Tentunya hal
ini merupakan gambaran tertindasnya budaya lokal.
8.
Gejala
Menuju Kepunahan
Adanya gejala kepunahan bahasa-bahasa daerah Sulawesi
Selatan ditandai dengan berkurangnya pajanan (exposure) bahasa daerah,
baik di rumah tangga, di sekolah maupun di lingkungan masyarakat. Di banyak
rumah tangga, bahasa keluarga telah didominasi oleh bahasa Indonesia. Jurusan
bahasa Bugis-Makassar Universitas Negeri Makassar sudah ditutup karena tidak
adanya pengangkatan guru bahasa daerah. Jurusan Sastra Daerah di Universitas
Hasanuddin mulai mengalami penyusutan jumlah mahasiswa. Di samping itu,
ditengarai berkurangnya penutur bahasa-bahasa daerah Sulawesi Selatan karena
serangan bahasa Indonesia dan bahasa asing lain, seperti bahasa Inggris yang
mengglobal saat ini.
B.
Model Perkembangan Bahasa-Bahasa Daerah Sulawesi
Selatan
Sebelum masa negara persatuan Republik Indonensia, bahasa
daerah menduduki posisi penting pada tiap-tiap daerah sebagai alat komunikasi
dalam berbagai aspek kehidupan suku bangsa yang bersangkutan. Namun, seiring
dengan diterimanya bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi negara Republik
Indonesia, bahasa daerah mengalami stagnasi dalam perkembangannya karena para
penutur bahasa-bahasa daerah tanpa menyadari mulai meninggalkan bahasa
daerahnya sebagai alat komunikasi sehari-hari, khususnya di ibu kota provinsi,
kota, dan kabupaten. Selanjutnya, serangan bahasa asing yang melanda dunia
global semakin menyingkirkan bahasa daerah dalam pentas nasional. Menyadari hal
tersebut, diadakanlah kongres bahasa daerah yang dimulai dari kongres bahasa
Jawa, kongres bahasa Sunda dan pada saat ini adalah kongres bahasa-bahasa
Sulawesi Selatan. Hal tersebut dimaksudkan untuk menghambat laju kepunahan
bahasa-bahasa daerah di Indonesia. Pada dasarnya ada 5 model perjalanan ke depan
bahasa-bahasa daerah Sulawesi Selatan, yaitu model 1 adalah model ”pembiaran”,
model 2 adalah ”pelestarian”, model 3, 4, dan 5 adalah model ”pemerkembangan”.
Model pembiaran adalah membiarkan perjalanan bahasa daerah ke depan apa adanya,
sebagaimana tergambar pada grafik hipotetik (kurva 1 gambar 2). Kurva itu
menunjukkan bahwa jumlah penutur bahasa daerah semakin hari semakin berkurang.
Ini berarti bahwa jika penurunan eksistensi bahasa daerah dibiarkan tanpa
intervensi, maka secara alami bahasa daerah akan diakhiri dengan kepunahan. Untuk melestarikan bahasa-bahasa
daerah di Sulawesi Selatan (sesuai dengan makna lestari yang telah dijelaskan
di atas), maka gambarannya sama dengan kurva 2 gambar 2. Namun, jika
paradigma ini digunakan, maka kondisi bahasa daerah ke depan sama dengan
keadaannya sekarang.
Kondisinya telah mengalami penyusutan-penyusutan dalam
perjalanannya selama 61 tahun Indonesia merdeka. Posisinya sangat terancam
karena dahsyatnya arus globalisasi yang dapat merambah sampai ke seluruh
sendi-sendi peradaban masyarakat di daerah. Pemerkembangan bahasa daerah dapat
ditempuh melalui 3 paradigma peta kinerja, yaitu peta kinerja yang ditunjukkan
pada kurva 3, kurva 4, dan kurva 5 pada gambar 2. Peta kinerja pada kurva 3
menunjukkan bahwa pemerkembangan bahasa daerah ditempuh melalui tindakan secara
pelan-pelan yang semakin lama semakin intensif, tetapi ketercapaian tujuannya
lebih lambat daripada kurva 4. Pada paradigma peta kinerja kurva 4, pemerkembangan bahasa
daerah lebih bersifat monoton, tetapi pencapaian tujuan lebih cepat daripada
paradigma kurva 3 karena keintesifannya sedikit lebih tinggi. Paradigma
peta kinerja pada kurva 5 menunjukkan pemerkembangan bahasa-bahasa daerah yang lebih intensif
sejak dari awal tindakan, tetapi memerlukan usaha maksimal dan biaya yang lebih
besar. Paradigma peta kinerja ini merupakan paradigma unggulan untuk
memperkembangkan bahasa-bahasa daerah secara maksimal dan diharapkan capaian
kemajuannya sama dengan kondisi sebelum tahun 1945.

Berdasarkan pilihan paradigma yang akan diambil pada
gambar 2, model pemerkembangan pada gambar 3 dapat dijadikan sebagai model
yang bersifat implementatif.
C.
Alternatif
Tindakan atau kegiatan-kegiatan yang dapat membantu tercapainya perkembangan
bahasa daerah.
Berdasarkan masukan dari hasil evaluasi, secara
garis besar tindakan dan pengondisian dapat ditempuh melalui 4 cara, yaitu:
1.
Peraturan daerah
2.
Kebijakan
3.
Sarana dan Prasarana
4.
Kegiatan-kegiatan
1. Peraturan Daerah
Peraturan yang dimaksudkan adalah penerbitan PERDA sesuai dengan kondisi yang diharapkan.
Misalnya, di jenjang pendidikan sekolah Bahasa daerah dijadikan muatan lokal
dalam kurikulum pendidikan dasar dan menengah.
2. Kebijakan
Penjabaran PERDA berupa
langkah-langkah yang bersifat teknis. Misalnya, penetapan rencana pembangunan
jangka menengah yang lebih rinci mengenai pemerkembangan bahasa-bahasa daerah.
3. Sarana/Prasarana
Pengadaan sarana/prasana sesuai dengan kebutuhan seperti:
1)
Pengembangan Program Studi
Sastra daerah yang didanai oleh PEMDA.
2)
Pembentukan Pusat Studi Bahasa
dan Kebudayaan Sulawesi-Selatan.
3)
Pembentukan lembaga ”Kalang
Budaya” yang berfungsi sebagai think-tank pemerintah daerah dalam bidang
kebudayaan.
4)
Pengadaan rubrik koran/majalah
berbahasa daerah.
5)
Website (situs) berbahasa daerah.
6)
Pembentukan Lembaga Swadaya Masyarakat dalam bidang
bahasa dan kebudayaan Sulawesi Selatan.
7)
Dll...
4. Kegiatan-kegiatan
a. Akademik
1)
Pembelajaran bahasa-bahasa dan kebudayaan daerah.
2)
Penelitian dan pengabdian pada
masyarakat.
3)
Pengembangan Kamus
bahasa-bahasa daerah.
4)
Dll..
b.
Non-formal
1)
Lomba pidato, baca puisi,
prosa, MC, dsb. dalam bahasa daerah
2)
Lomba penulisan prosa, puisi
dalam aksara lontara
3)
Penggunaan dwi-bahasa
nama-nama jalan, tempat umum, seperti gedung pemerintah, swalayan, pasar,
sekolah, tempat hiburan, rumah sakit, dan sejenisnya.
4)
Penulisan karya sastra yang
bernuansa budaya Sulawesi Selatan.
5)
Mengangkat kepermukaan
budaya Sulawesi Selatan ke dalam film-film laga.
6)
Pengadaan acara berbahasa
daerah melalui radio dan televisi.
7)
Penggubahan lagu-lagu berbahasa
daerah dan musik trandisional, tari-tarian dan seni tradisional lainnya.
8)
Penggunaan bahasa daerah dalam
pidato-pidato (formal dan informal), komunikasi verbal pada acara-acara resmi
dan tidak resmi (pernikahan, rapat, ulang tahun, dsb.)
9)
Lomba musik tradisional,
seperti kecapi, sinrilik, dsb.
c. Informal
Pemerkembangan
bahasa daerah yang bersifat informal dilakukan dalam lingkungan keluarga
sebagai bahasa rumah tangga. Penanaman kecintaan terhadap bahasa dan kebudayaan
daerah dapat dilakukan melalui ceritera rakyat yang dikemas sedemikian rupa
sehingga bisa lebih menarik, seperti dikemas dalam bentuk buku ceritera
bergambar, komik, CD. Banyak ceritera rakyat Sulwesi Selatan yang dapat
membangun semangat berprestasi bagi generasi mendatang. McClelland, seorang
psikolog Amerika dari Havard University menunjukkan bahwa bangsa maju
didominasi oleh genarasi produktif yang di masa kecilnya banyak membaca
ceritera perjuangan.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1.
Adanya gejala kepunahan
bahasa-bahasa daerah Sulawesi Selatan ditandai dengan berkurangnya pajanan (exposure)
bahasa daerah, baik di rumah tangga, di sekolah maupun di lingkungan
masyarakat.
2.
Alternatif Tindakan atau kegiatan-kegiatan yang dapat membantu
tercapainya perkembangan bahasa daerah dapat ditempuh melalui
4 cara, yaitu:
-
Peraturan daerah
-
Kebijakan
-
Sarana dan Prasarana
-
Kegiatan-kegiatan
B. Saran
Seiring dengan dahsyatnya serangan globalisasi terhadap bahasa-bahasa
daerah, yang memungkinkan terancamkan keberadaan
bahasa-bahasa daerah Sulawesi Selatan, diperlukan
usaha-usaha maksimal. Usaha-usaha maksimal itu tidak hanya diarahkan
pada pelestarian bahasa-bahasa daerah, tetapi lebih jauh dari itu, yaitu membuat bahasa
daerah lebih diperkembangkan. Dengan kata lain, diperlukan penciptaan
kondisi-kondisi untuk membuat bahasa daerah berkembang guna mengembalikan
eksistensi bahasa daerah.
DAFTAR PUSTAKA
Departemen Pendidikan Nasional. ( 2003). Kamus Besar
Bahasa Indenesia.Jakarta: Balai Pustaka.
Purbo-Hadiwidjojo, M. M. (1999). Kata dan Makna: teman penulis dan penerjemah menemukan kata dan istilah
. Bandung: Penerbit ITB, hlm 127.
Said, Mashadi. (1998). Konsep Jati Diri Manusia Bugis
dalam Lontara: Sebuah Telaah Falsafi tentang Kebijaksanaan Manusia Bugis. Disertasi Universitas Negeri Malang.
Belum diterbitkan.



0 komentar:
Posting Komentar