Sabtu, 21 Desember 2013

Campur Kode



1.            Pengertian Campur Kode
Thelender (1976: 103 melalui Chaer dan Agustina, 115: 2010) mencoba menjelaskan mengenai alih kode dan campur kode. Bila dalam suatu peristiwa tutur terjadi peralihan dari satu klausa suatu bahasa ke klausa bahasa lain, maka peristiwa yang terjadi adalah alih kode. Tetapi apabila di dalam suatu peristiwa tutur, klausa-klausa maupun frase-frase yang digunakan terdiri dari klausa dan frase campuran (hybrid clauses, hybrid phrases), dan masing-masing klausa atau frase itu tidak lagi mendukung fungsi sendiri-sendiri, maka peristiwa yang terjadi adalah campur kode bukan alih kode.
Menurut Nababan (1986:32) “Campur bahasa merupakan mencampur dua atau lebih bahasa atau ragam bahasa dalam suatu tindakan bahasa (speech act atau discourse) tanpa ada sesuatu dalam situasi berbahasa itu yang menuntut pencampuran bahasa itu. Dalam keadaan yang demikian, hanya kesantaian penutur dan atau kebiasaannya yang dituruti.” Berdasarkan peryataan tersebut dapat dinyatakan bahwa pencampuran bahasa tidak dipengaruhi oleh situasi berbahasa. Auzar dan Hermandra (2006:49) memperjelas bahwa campur kode adalah kegiatan mencampur dua bahasa atau lebih dalam suatu tindakan berbahasa.
Berdasarkan beberapa konsep mengenai campur bahasa dapat dapat dinyatakan membali bahwa campur kode merupakan penggunaan atau pemakaian dua bahasa atau lebih dalam situasi tertentu. Pemakaian dua bahasa atau lebih ini dapat berwujud kata, frase, klausa, ungkapan, dan idiom. Pemakaian hal-hal tersebut bertujuan menimbulkan gaya terhadap sebuah tuturan.  Gaya atau cara yang digunakan dihubungkan dengan wujud campur kode, dan membatasi wujud campur kode tersebut terhadap situasi dan tidak lagi menduduki fungsi-fungsi sendiri.
Contoh :
a.        “ Ok, kita harus stand by”
b.      “ Hari ini kita akan memberikan surprise yang meriah kepada Anggi”
c.       “ Wina akan segera married”

2.            Faktor Penyebab Campur Kode
Campur kode (code mixing) terjadi apabila seorang penutur menggunakan suatu bahasa secara dominan untuk mendukung suatu tuturan yang disisipi dengan unsur bahasa lainnya. Gejala campur kode ini biasanya terkait dengan karakteristik penutur, misal, latar belakang sosil, pendidikan, dan kepercayaan. Setidaknya ada dua hal yang paling melatarbelakangi penggunaan campur kode.
Faktor pendorong terjadinya campur kode oleh Suwito (dalam Maulidini, 2007:37-43) dapat dibedakan atas latar belakang sikap (atitudinal type) atau nonkebahasaan dan latar belakang kebahasaan (linguistic type)
a.      Faktor  Nonkebahasaan (atitudinal type)

1.      Need for Synonim maksudnya adalah penutur menggunakan bahasa lain untuk lebih memperhalus maksud tuturan.
Contohnya sebagai berikut:
”Hpnya blackmarket jadi tidak diperjualbelikan di Indonesia. Kalau di service selain datanya hilang ada resiko terburuk mati total, gimana?”
Blackmarket di sini sengaja digunakan oleh penutur untuk memberitahukan pada pelanggan bahwa hp tersebut termasuk dalam kategori hp selundupan.
2.      Social Value,yaitu penutur sengaja mengambil kata dari bahasa lain dengan mempertimbangkan faktor sosial.
Pada kasus disini penutur cenderung bercampur kode dengan bahasa asing yaitu bahasa Inggris dengan maksud menunjukan bahwa penutur merupakan seorang yang berpendidikan dan modern sehingga dalam berkomunikasi dengan pelanggan banyak menyisipkan kata atau istilah dalam bahasa asing.
3.      Perkembangan dan Perkenalan dengan Budaya Baru
Hal ini turut menjadifaktor pendorong munculnya campur kode oleh penutur, sebab terdapat banyak istilah dan strategi penjualan dalam bidang telekomunikasi yangmempergunakan bahasa asing. Sehingga hal ini mempengaruhi prilaku pemakaian kata-kata bahasa asing oleh penutur yang sebenarnya bukanmerupakan bahasa asli penutur.
A: ” Maaf Bu, memorycardnya dibawa?”
B: ” Kan, saya tinggal disini kemarin, mbak”. 
A: ”Ibu, diformulir servicenya dituliskan bahwa semua kelengkapan hpnya tidak ditinggal.”

b.      Faktor Kebahasaan (linguistic type)
Latar belakang kebahasaan yang menyebabkan seseorang melakukancampur kode disebabkan oleh hal-hal berikut ini :
1.      Low frequency of word,yaitu karena kata-kata dalam bahasa asing tersebut lebih mudah diingat dan lebih stabil maknanya.Contohnya adalah pada dialog:
CS :    “Kita disini menyediakan handset original untuk hp mas supayamenghasilkan suara jernih dan bagus.”
2.      Pernicious Homonimy, maksudnya adalah jika penutur menggunakankata dari bahasanya sendiri maka kata tersebut dapat menimbulkan masalah homonim yaitu makna ambigu. Contohnya dalam dialogberikut:
CS :    “Untuk  speakernya Ibu sudah kami urgentkan dipusat mudah-mudahan dalam minggu ini sudah datang dan hpnya bisa segera kami perbaiki.”
3.      Oversight, yaitu keterbatasan kata-kata yang dimiliki oleh bahasapenutur. Banyaknya istilah dalam bidang telekomunikasi yang berasaldari bahasa asing menyebabkan penutur sulit menemukan padanannyadalam bahasa penutur. Contohnya: software, install, flash, restart, hang,blank 
4.      End (Purpose and Goal), yaitu akibat atau hasil yang dikehendaki. End (tujuan) meliputi membujuk, dengan meyakinkan, menerangkan. Untuk mencapai hasil tersebebut penutur harus menggunakan campur kode. Halini dapat dilihat pada beberapa contoh berikut:
CS : “Maaf Ibu ,untuk charger tidak bisa diservice, tapi kalo selama 6bulan dari tanggal pembelian dapat direplace tapi kita kirim ke jakarta, diganti charger baru .”

Campur kode tidak muncul karena tuntutan situasi, tetapi ada hal lain yang menjadi faktor terjadinya campur kode itu. Pada penjelasan sbelumnya telah dibahas menganai ciri-ciri peristiwa campur kode,yaitu tidak dituntut oleh situasi dan konteks pembicaraan, adanya ketergantungan bahasa yang mengutamakan peran dan fungsi kebahasaan yang biasanya terjadi pada situasi yang santai.
Berdasarkan hal tersebut, Suwito (1983) memaparkan beberapa faktor yang melatarbelakangi terjadinya campur kode yaitu sebagai berikut.
1) Faktor peran
Yang termasuk peran adalah status sosial, pendidikan, serta golongan dari peserta bicara atau penutur bahasa tersebut.
2) Faktor ragam
Ragam ditentukan oleh bahasa yang digunakan oeh penutur pada waktu melakukan campur kode, yang akan menempat pada hirarki status sosial.
3) Faktor keinginan untuk menjelaskan dan menafsirkan
Yang termasuk faktor ini adalah tampak pada peristiwa campur kode yang menandai sikap dan hubungan penutur terhadap orang lain, dan hubungan orang lain terhadapnya.
3.            Tipe Campur Kode
Suwito  (1985:76)  membagi  campur  kode  menjadi  dua  macam,  yaitu
1.      Campur kode ke dalam (innercode-mixing)
Campur kode yang bersumber dari bahasa asli (intern)  dengan segala variasinya Dikatakan  campur  kode  kedalam  (intern)  apabila  antara bahasa sumber dengan bahasa sasaran masih mempunyai hubungan kekerabatan secara  geografis maupun  secara  geanologis,  bahasa  yang  satu  dengan  bahasa yang lain merupakan bagian-bagian sehingga hubungan antarbahasa ini bersifat vertikal. Bahasa yang  terlibat dalam campur kode  intern umumnya masih dalam satu wilayah politis yang tidak berbeda.
2.      Campur kode ke luar/ ekstern (outer code-mixing)
Dikatakan  campur  kode  ekstern  apabila  antara  bahasa  sumber  dengan bahasa secara   politis. Campur  kode  ekstern  ini  terjadi  diantaranya  karena kemampuan  sasaran  tidak mempunyai  hubungan  kekerabatan, secara  geografis, geanologis ataupun  intelektualitas  yang  tinggi, memancarkan  nilai  moderat. Dengandemikian  hubungan  campur  kode  tipe  ini  adalah  keasingan  antar  bahasa yang terlibat. 
Contoh:
“Data-data yang ada di phone memory kemungkinan akan hilang seperti nomer-nomer telepon, pesan, kalender dan  catatan”. 
Kata phone memory  dalam  teks berasal  dari  bahasa  Inggris, bahasa  Inggris  tidak memiliki hubungan kekerabatan dengan bahasa Indonesia, antara kedua bahasa tersebut  juga  tidak ada hubungan genetis oleh sebab  itu maka  tipe campur kode pada kata tersebut adalah tipe campur kode keluar atau ekstern. 
Berdasarkan unsur serapan yang menimbulkan terjadinya campur kode itu, campur kode dibagi menjadi tiga bagian (Jendre, 2001). Bagian-bagian tersebut akan diuraikan di bawah ini.
a.             Campur Kode ke Luar (outer code mixing)
Dalam hal ini, “campur kode keluar adalah campur kode yang menyerap unsur- unsur bahasa asing” (Jendre, 2001:132). Misalnya, dalam peristiwa campur kode pada pemakaian bahasa Indonesia terdapat sisipan dari bahasa asing seperti bahas Inggris, bahasa Arab, bahasa Jepang, bahasa Cina, dan lain sebagainya.
b.             Campur Kode ke Dalam (Inner Code Mixing)
Mengenai definisi tentang campur kode ke dalam, ada beberapa ahli yang memiliki pandangan yang hampir sama. Suwito (1983) mengatakan bahwa seorang yang dalam pemakaian bahasa Indonesianya banyak menyisipkan unsur- unsur bahasa daerah, atau sebaliknya. Maka, penutur tersebut bercampur kode ke dalam. Sementara itu, Jendre (1991) menyatakan campur kode ke dalam adalah jenis kode yang menyerap unsur-unsur bahasa Bali yang sekerabat. Umpamanya gejala campur kode pada peristiwa tururan bahasa Indonesia terdapat di dalamnya unsur-unsur bahasa daerah seperti bahasa Melayu Loloan, Bali, bahasa Jawa, bahasa Sunda, dan sebagainya.

c.              Campur Kode Campuran
Definisi mengenai campur kode campuran ialah “campur kode yang di dalam (mungkin klausa atau kalimat) telah menyerap unsur bahasa Bali/Melayu/Sunda (bahasa daerah) dan bahasa asing” (Jendra, 1991:132). Selanjutnya Jendra (1991) lebih tegas mengatakan bahwa campur kode campuran merupakan unsur serapan yang diterima oleh bahasa penyerap dengn pembagian menjadi dua bagian seprti (inner dan outer code mixing) telah pula dilakukan.
Dari paparan di atas, dapat ditentukan bahwa tidak ada keterkaitan antara teori campur kode campuran dengan penelitian ini. Ini disebabkan oleh dalam penelitian in subjek yang diteliti yaitu guru hanya menggunakan Bahasa Bali dan bahasa Indonesia dalam proses belajar mengajar.

1 komentar:

Yuni Nur Wulandari mengatakan...

Kak maaf. Itu bukunya yg jendra nama bukunya apa ya?

Posting Komentar