1.
Pengertian Campur
Kode
Thelender (1976:
103 melalui Chaer dan Agustina, 115: 2010) mencoba menjelaskan mengenai alih
kode dan campur kode. Bila dalam suatu peristiwa tutur terjadi peralihan dari
satu klausa suatu bahasa ke klausa bahasa lain, maka peristiwa yang terjadi
adalah alih kode. Tetapi apabila di dalam suatu peristiwa tutur,
klausa-klausa maupun frase-frase yang digunakan terdiri dari klausa dan frase
campuran (hybrid clauses, hybrid phrases), dan masing-masing klausa atau frase
itu tidak lagi mendukung fungsi sendiri-sendiri, maka peristiwa yang terjadi
adalah campur kode bukan alih kode.
Menurut Nababan
(1986:32) “Campur bahasa merupakan mencampur dua atau lebih bahasa atau ragam
bahasa dalam suatu tindakan bahasa (speech act atau discourse) tanpa ada
sesuatu dalam situasi berbahasa itu yang menuntut pencampuran bahasa itu. Dalam
keadaan yang demikian, hanya kesantaian penutur dan atau kebiasaannya yang
dituruti.” Berdasarkan peryataan tersebut dapat dinyatakan bahwa pencampuran
bahasa tidak dipengaruhi oleh situasi berbahasa. Auzar dan Hermandra (2006:49)
memperjelas bahwa campur kode adalah kegiatan mencampur dua bahasa atau lebih
dalam suatu tindakan berbahasa.
Berdasarkan
beberapa konsep mengenai campur bahasa dapat dapat dinyatakan membali bahwa
campur kode merupakan penggunaan atau pemakaian dua bahasa atau lebih dalam
situasi tertentu. Pemakaian dua bahasa atau lebih ini dapat berwujud kata,
frase, klausa, ungkapan, dan idiom. Pemakaian hal-hal tersebut bertujuan
menimbulkan gaya terhadap sebuah tuturan. Gaya atau cara yang digunakan
dihubungkan dengan wujud campur kode, dan membatasi wujud campur kode tersebut
terhadap situasi dan tidak lagi menduduki fungsi-fungsi sendiri.
Contoh :
a.
“ Ok, kita harus stand by”
b.
“ Hari ini kita akan memberikan
surprise yang meriah kepada Anggi”
c.
“ Wina akan segera married”
2.
Faktor Penyebab
Campur Kode
Campur kode (code mixing) terjadi
apabila seorang penutur menggunakan suatu bahasa secara dominan untuk mendukung
suatu tuturan yang disisipi dengan unsur bahasa lainnya. Gejala campur kode ini
biasanya terkait dengan karakteristik penutur, misal, latar belakang sosil,
pendidikan, dan kepercayaan. Setidaknya ada dua hal yang paling
melatarbelakangi penggunaan campur kode.
Faktor pendorong terjadinya campur
kode oleh Suwito (dalam Maulidini, 2007:37-43) dapat dibedakan atas
latar belakang sikap (atitudinal type) atau nonkebahasaan
dan latar belakang kebahasaan (linguistic type)
a.
Faktor
Nonkebahasaan (atitudinal type)
1.
Need for Synonim maksudnya adalah
penutur menggunakan bahasa lain untuk lebih memperhalus maksud tuturan.
Contohnya sebagai
berikut:
”Hpnya blackmarket jadi tidak
diperjualbelikan di Indonesia. Kalau di service selain datanya hilang ada
resiko terburuk mati total, gimana?”
Blackmarket di sini sengaja digunakan
oleh penutur untuk memberitahukan pada pelanggan bahwa hp tersebut termasuk
dalam kategori hp selundupan.
2.
Social Value,yaitu penutur sengaja
mengambil kata dari bahasa lain dengan mempertimbangkan faktor sosial.
Pada kasus disini penutur cenderung bercampur
kode dengan bahasa asing yaitu bahasa Inggris dengan maksud menunjukan bahwa
penutur merupakan seorang yang berpendidikan dan modern sehingga dalam
berkomunikasi dengan pelanggan banyak menyisipkan kata atau istilah dalam
bahasa asing.
3.
Perkembangan dan Perkenalan dengan Budaya Baru
Hal ini turut menjadifaktor pendorong
munculnya campur kode oleh penutur, sebab terdapat banyak istilah dan strategi
penjualan dalam bidang telekomunikasi yangmempergunakan bahasa asing. Sehingga
hal ini mempengaruhi prilaku pemakaian kata-kata bahasa asing oleh penutur yang
sebenarnya bukanmerupakan bahasa asli penutur.
A:
” Maaf Bu, memorycardnya dibawa?”
B:
” Kan, saya tinggal disini kemarin, mbak”.
A:
”Ibu, diformulir servicenya dituliskan bahwa semua kelengkapan hpnya tidak ditinggal.”
b.
Faktor Kebahasaan
(linguistic type)
Latar belakang kebahasaan yang menyebabkan
seseorang melakukancampur kode disebabkan oleh hal-hal berikut ini :
1.
Low frequency of word,yaitu karena kata-kata dalam bahasa asing tersebut lebih
mudah diingat dan lebih stabil maknanya.Contohnya adalah pada dialog:
CS
: “Kita disini menyediakan handset original untuk hp mas
supayamenghasilkan suara jernih dan bagus.”
2. Pernicious
Homonimy, maksudnya adalah jika penutur menggunakankata dari bahasanya sendiri
maka kata tersebut dapat menimbulkan masalah homonim yaitu makna ambigu.
Contohnya dalam dialogberikut:
CS
: “Untuk speakernya
Ibu sudah kami urgentkan dipusat mudah-mudahan dalam minggu ini sudah
datang dan hpnya bisa segera kami perbaiki.”
3. Oversight,
yaitu keterbatasan kata-kata yang dimiliki oleh bahasapenutur. Banyaknya
istilah dalam bidang telekomunikasi yang berasaldari bahasa asing menyebabkan
penutur sulit menemukan padanannyadalam bahasa penutur. Contohnya: software, install,
flash, restart, hang,blank
4. End (Purpose
and Goal), yaitu akibat atau hasil yang dikehendaki. End (tujuan) meliputi
membujuk, dengan meyakinkan, menerangkan. Untuk mencapai hasil tersebebut
penutur harus menggunakan campur kode. Halini dapat dilihat pada beberapa
contoh berikut:
CS
: “Maaf Ibu ,untuk charger tidak bisa diservice, tapi kalo selama 6bulan
dari tanggal pembelian dapat direplace tapi kita kirim ke jakarta, diganti
charger baru .”
Campur kode
tidak muncul karena tuntutan situasi, tetapi ada hal lain yang menjadi faktor
terjadinya campur kode itu. Pada penjelasan sbelumnya telah dibahas menganai
ciri-ciri peristiwa campur kode,yaitu tidak dituntut oleh situasi dan konteks
pembicaraan, adanya ketergantungan bahasa yang mengutamakan peran dan fungsi
kebahasaan yang biasanya terjadi pada situasi yang santai.
Berdasarkan
hal tersebut, Suwito (1983) memaparkan beberapa faktor yang
melatarbelakangi terjadinya campur kode yaitu sebagai berikut.
1) Faktor
peran
Yang
termasuk peran adalah status sosial, pendidikan, serta golongan dari peserta
bicara atau penutur bahasa tersebut.
2) Faktor
ragam
Ragam
ditentukan oleh bahasa yang digunakan oeh penutur pada waktu melakukan campur
kode, yang akan menempat pada hirarki status sosial.
3) Faktor
keinginan untuk menjelaskan dan menafsirkan
Yang
termasuk faktor ini adalah tampak pada peristiwa campur kode yang menandai
sikap dan hubungan penutur terhadap orang lain, dan hubungan orang lain
terhadapnya.
3.
Tipe Campur Kode
Suwito
(1985:76) membagi campur kode menjadi dua
macam, yaitu
1. Campur
kode ke dalam (innercode-mixing)
Campur kode yang bersumber dari bahasa asli (intern) dengan
segala variasinya Dikatakan campur kode kedalam
(intern) apabila antara bahasa sumber dengan bahasa sasaran masih
mempunyai hubungan kekerabatan secara geografis maupun secara
geanologis, bahasa yang satu dengan bahasa yang
lain merupakan bagian-bagian sehingga hubungan antarbahasa ini bersifat
vertikal. Bahasa yang terlibat dalam campur kode intern umumnya
masih dalam satu wilayah politis yang tidak berbeda.
2. Campur
kode ke luar/ ekstern (outer code-mixing)
Dikatakan campur kode ekstern
apabila antara bahasa sumber dengan bahasa secara
politis. Campur kode ekstern ini terjadi
diantaranya karena kemampuan sasaran tidak mempunyai
hubungan kekerabatan, secara geografis, geanologis ataupun
intelektualitas yang tinggi, memancarkan nilai moderat.
Dengandemikian hubungan campur kode tipe
ini adalah keasingan antar bahasa yang terlibat.
Contoh:
“Data-data yang ada di phone memory kemungkinan akan hilang
seperti nomer-nomer telepon, pesan, kalender dan catatan”.
Kata phone memory dalam teks berasal
dari bahasa Inggris, bahasa Inggris tidak memiliki
hubungan kekerabatan dengan bahasa Indonesia, antara kedua bahasa
tersebut juga tidak ada hubungan genetis oleh sebab itu
maka tipe campur kode pada kata tersebut adalah tipe campur kode keluar
atau ekstern.
Berdasarkan
unsur serapan yang menimbulkan terjadinya campur kode itu, campur kode dibagi
menjadi tiga bagian (Jendre, 2001). Bagian-bagian tersebut akan
diuraikan di bawah ini.
a.
Campur Kode ke Luar (outer code
mixing)
Dalam
hal ini, “campur kode keluar adalah campur kode yang menyerap unsur- unsur
bahasa asing” (Jendre, 2001:132). Misalnya, dalam peristiwa campur kode pada
pemakaian bahasa Indonesia terdapat sisipan dari bahasa asing seperti bahas
Inggris, bahasa Arab, bahasa Jepang, bahasa Cina, dan lain sebagainya.
b.
Campur Kode ke Dalam (Inner Code
Mixing)
Mengenai
definisi tentang campur kode ke dalam, ada beberapa ahli yang memiliki
pandangan yang hampir sama. Suwito (1983) mengatakan bahwa seorang yang dalam
pemakaian bahasa Indonesianya banyak menyisipkan unsur- unsur bahasa daerah,
atau sebaliknya. Maka, penutur tersebut bercampur kode ke dalam. Sementara itu,
Jendre (1991) menyatakan campur kode ke dalam adalah jenis kode yang menyerap
unsur-unsur bahasa Bali yang sekerabat. Umpamanya gejala campur kode pada
peristiwa tururan bahasa Indonesia terdapat di dalamnya unsur-unsur bahasa
daerah seperti bahasa Melayu Loloan, Bali, bahasa Jawa, bahasa Sunda, dan
sebagainya.
c.
Campur Kode Campuran
Definisi
mengenai campur kode campuran ialah “campur kode yang di dalam (mungkin klausa
atau kalimat) telah menyerap unsur bahasa Bali/Melayu/Sunda (bahasa daerah) dan
bahasa asing” (Jendra, 1991:132). Selanjutnya Jendra (1991) lebih tegas
mengatakan bahwa campur kode campuran merupakan unsur serapan yang diterima
oleh bahasa penyerap dengn pembagian menjadi dua bagian seprti (inner dan outer
code mixing) telah pula dilakukan.
Dari
paparan di atas, dapat ditentukan bahwa tidak ada keterkaitan antara teori
campur kode campuran dengan penelitian ini. Ini disebabkan oleh dalam
penelitian in subjek yang diteliti yaitu guru hanya menggunakan Bahasa Bali dan
bahasa Indonesia dalam proses belajar mengajar.



1 komentar:
Kak maaf. Itu bukunya yg jendra nama bukunya apa ya?
Posting Komentar