Sabtu, 03 Oktober 2015

Makalah "Perkembangan Bahasa Daerah di Sulawesi Selatan"

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Indonesia merupakan negara kepulauan yang terdiri dari banyak pulau dan memiliki berbagai macam suku bangsa, bahasa, adat istiadat atau yang sering kita sebut kebudayaan. Keanekaragaman budaya yang terdapat di Indonesia merupakan suatu bukti bahwa Indonesia merupakan negara yang kaya akan budaya. Tidak bisa kita pungkiri, bahwa kebudayaan daerah merupakan faktor utama berdirinya kebudayaan yang lebih global, yang biasa kita sebut dengan kebudayaan nasional. Maka atas dasar itulah segala bentuk kebudayaan daerah akan sangat berpengaruh terhadap budaya nasional, begitu pula sebaliknya kebudayaan nasional yang bersumber dari kebudayaan daerah, akan sangat berpebgaruh pula terhadap kebudayaan daerah / kebudayaan lokal. Karena bahasa-bahasa daerah Sulawesi Selatan pada saat ini mengalami ancaman penyusutan-penyusutan dalam berbagai dimensinya, diperlukan program pemercepatan.
Program pemercepatan mengandung makna membuat perkembangan bahasa-bahasa daerah jauh lebih cepat guna mengimbangi kecepatan ancaman proses kepunahan yang telah ada di depan mata. Saat ini bahasa-bahasa daerah sedang mengalamai ancaman yang sangat dahsyat yang dapat menyebabkannya menjadi punah. Ancaman yang dahsyat itu perlu diimbangi dengan suatu program atau tindakan yang volumenya jauh lebih besar dibandingkan dengan volume ancaman kepunahan. Sebaliknya, jika ancaman kepunahan sama besarnya dengan tindakan yang diberikan, maka besar kemungkinan bahasa-bahasa daerah itu hanya berjalan di tempat. Artinya, ancaman dan tindakan hanya menghasilkan keadaan yang seimbang, sehingga bahasa daerah sulit diharapkan mengalami meningkatan sebagaimana yang ditargetkan. Singkatnya, diperlukan usaha pemerkembangan bahasa daerah yang volumenya jauh lebih besar daripada volume ancaman kepunahan yang terimplementasi dalam program pemerkembangan.
B.     Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang akan dibahas pada makalah ini, yaitu:
1.         Mengapa bahasa daerah perlu dikembangkan?
2.         Bagaimana model perkembangan Bahasa-bahasa Daerah Sulawesi Selatan?
3.         Jelaskan alternatif tindakan atau kegiatan-kegiatan yang dapat membantu tercapainya perkembangan bahasa daerah!
C.    Tujuan
Makalah  ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana perkembangan Bahasa Daerah Sulawesi Selatan saat ini.
D.    Manfaat
Adapun manfaatnya yang dapat diperoleh melalui makalah ini, yaitu:
1.      Menambah pengetahuan penulis mengenai Bahasa Daerah(Bugis) di Sulawesi Selatan.
2.      Penulis dapat mengetahui perkembangan Bahasa Daerah saat ini.
3.      Meningkatkan rasa cinta terhadap kebudayaan asli bangsa Indonesia.



BAB II
PEMBAHASAN
A.       Perkembangan bahasa daerah di Sulawesi Selatan
Perlunya program pemerkembangan bahasa-bahasa daerah Sulawesi Selatan didasarkan atas delapan alasan, yaitu:
1.    Kedudukan Bahasa Daerah
Bahasa daerah memiliki kedudukan utama dalam perkembangan bahasa Indonesia. Untuk memperkaya bahasa Indonesia, kosa kata bahasa daerah merupakan penyumbang utama. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, baru ada 11 bahasa daerah sebagai penyumbang. Namun, belum satu pun bahasa daerah Sulawesi Selatan yang tercatat sebagai penyumbang. Hal ini cukup memprihatinkan bila dibandingkan dengan banyaknya jumlah putra Sulawesi Selatan yang telah berpartsipasi aktif dalam percaturan nasional. Artinya, keunggulan bahasa daerah dapat dinilai dari kontribusinya terhadap pengembangan bahasa Indonesia. Bila Sulawesi Selatan dikenal sebagai masyarakat bahari yang pernah mengukir kejayaan dalam menaklukkan nusantara, maka seyogyanya kosa kata yang dapat disumbangkan adalah istilah-istilah yang berkaitan dengan bahari. Karena itu, penutur bahasa daerah Sulawesi Selatan dapat berperan aktif untuk memperkembangkan bahasa Indonesia, sekaligus mendorong pemerkembangan bahasa daerahnya. Gambar berikut menunjukkan kedudukan strategis bahasa daerah dalam tataran nasional.



Fungsi bahasa daerah, seperti tergambar pada gambar diatas menunjukkan bahwa di samping sebagai alat komunikasi pada daerah yang bersangkutan, juga sebagai pemerkaya kosa kata bahasa Indonesia. Ungkapan yang belum ditemukan dalam bahasa Indonesia dapat diserap dari bahasa-bahasa daerah dari seluruh persada nusantara. Dalam hal pembentukan istilah, bahasa daerah menempati kedudukan pertama setelah bahasa Indonesia, dan bahasa asing menempati urutan terakhir  (Purbo, Hadiwidjojo, M. M. 1999:127.).
2.    Keterasingan Generasi Muda dari Bahasa Daerahnya
Menurut pengamatan kami, generasi muda Sulawesi Selatan (Bugis-Makassar) saat ini mulai mengalami keterasingan terhadap bahasa-bahasa daerahnya sendiri. Di kota-kota di Sulawesi Selatan, para orang tua di rumah lebih bangga menggunakan bahasa Indonesia daripada bahasa daerahnya walaupun ibu-bapaknya adalah orang asli Sulawesi Selatan yang masih fasih menggunakan bahasa daerahnya sendiri. Dalam pergaulan sehari-hari, sangat jarang dijumpai sesama penutur bahasa-bahasa daerah Sulawesi Selatan yang menggunakan bahasanya sendiri ketika mereka bertemu di mana pun. Menggunakan bahasa-bahasa daerah Sulawesi Selatan lebih canggung dibandingkan dengan teman-teman kita dari Jawa yang masih sangat fasih menggunakan bahasa Jawa di mana pun mereka bertemu sesama Jawa. 
3.    Surutnya Kebanggaan terhadap Budaya Asli Daerah
Di forum-forum resmi, kebanggaan putra-putri Sulawesi Selatan sendiri menggunakan falsafah leluhurnya belum terlihat. Putra-putri terbaik Sulawesi Selatan lebih nyaman menggunakan falsafah orang lain daripada falsafahnya sendiri. Mungkin pemahaman dan pengimplementasian nilai-nilai budaya mulai tergusur dari eksistensinya dalam lubuk hati generasi muda Bugis-Makassar, sehingga falsafah leluhurnya yang sangat sesuai dengan pemerintahan yang baik, demokrasi, kontrak sosial, penegakan hukum, etos kerja, prestasi dan sebagainya kurang ditonjolkan. Falsafah pemerintahan yang baik  dalam hal kepemimpinan dikenal dengan ”falsafah Sulapa Eppa”. Seorang pemimpin haruslah memiliki sifat empat yang tak terpisahkan, yaitu: ”Maccai na Malempu; Waranawi na Magetteng (Cendekia lagi Jujur; Berani lagi Teguh dalam Pendirian)
Dalam hal etos kerja dan mencari kesejahteraan, falsafah kerja keras ”Resopa natinulu na temmangingngi malomo naletei pammase Dewata” (Hanya dengan kerja keras dan ketekunanlah yang dapat menjadi sarana mendapat rizki dari Tuhan). Artinya, sarana untuk memperoleh kesejahteraan adalah kerja keras dan ketekunan. Dalam hal penegakan hukum, ada falsafah ”adekumi kupopuang” (hanya hukum yang kupertuan). Artinya, hanya hukumlah yang harus kutaati. Dalam hal demokrasi, falsafah Bugis-Makassar dikenal dengan ungkapan:
Rusa taro arung, tenrusa taro ade,
Rusa taro ade, tenrusa taro anang,
Rusa taro anang, tenrusa taro tomaega.
Artinya,
Batal ketetapan raja, tidak batal ketetapan adat,
Batal ketetapan adat, tidak batal ketetapan kaum,
Batal ketetapan kaum, tidak batal ketetapan orang banyak.
4.    Ketercerabutan dari Akar Budaya
Banyak dimensi budaya yang tidak bisa diserap dan dijelaskan tanpa menggunakan bahasa daerah. Dalam bahasa Bugis-Makassar, falsafah Rewako atau Ewako, sama dengan falsafah ”pesse” atau ”pacce” yang berarti nyali. Artinya, seorang Bugis-Makassar haruslah memiliki nyali untuk mencapai kesuksesan. Hanya saja sering disalahartikan. Akibatnya, banyak generasi muda Bugis-Makassar bertindak nekat walaupun dia berada di pihak yang salah. Karena itu, memperkenalkan bahasa daerah terhadap putra-putrinya sejak dini merupakan sarana untuk menanamkan nilai-nilai budaya yang sesungguhnya sangat sesuai dengan peradaban yang saat ini didominasi dunia luar. Kita bangga dengan kontrak sosial dengan menggunakan teori-teori dari luar, padahal sesungguhnya praktik kontrak sosial sudah lama dikenal (sejak abad ke-15) di negeri Bugis-Makassar jauh sebelum Prancis mengumandangkan kontrak sosial pada abad ke-18 (Abdullah, H. 1985:86), agar generasi mendatang tidak tercerabut dari akar sosial-budayanya dan tetap berwawasan nasional, memperkenalkan budaya lokal melalui bahasa daerah masing-masing perlu diperkembangkan.
5.    Penyusutan Fungsional Bahasa Daerah
Bahasa-bahasa daerah di Sulawesi Selatan telah menunjukkan penyusutan fungsionalnya. Keadaan bahasa-bahasa daerah Sulawesi Selatan sejak tahun 1945 (kemerdekaan) mengalami serangan dari bahasa Indonesia dan bahasa asing, khususnya bahasa Inggris. Pemerkayaan bahasa Indonesia yang seharusnya didukung oleh bahasa-bahasa daerah yang tersebar di Indonesia, tampaknya peran bahasa-bahasa daerah Sulawesi Selatan tidak menunjukkan sumbangan yang berarti. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), hanya ada 11 bahasa daerah yang tercatat memberi sumbangan pemerkayaan bahasa Indonesia, yaitu bahasa Bali, Batak, Dayak, Jawa, Lampung, Madura, Minangkabau, Minahasa, Manado, Palembang, dan Sunda (Departemen Pendidikan. 2003:xxvii). Ada sumbangan kata bahasa Bugis dalam KBBI, yaitu ”gantole” yang berasal dari bahasa Bugis ”gantolle” tetapi bahasa-bahasa daerah Sulawesi Selatan tidak dicatat sebagai salah satu penyumbang utama seperti halnya 11 bahasa daerah lainnya yang dicatat di atas.  Padahal, pada dasarnya, bahasa-bahasa daerah Sulawesi Selatan dapat memberi sumbangan dalam penerjemahan dari bahasa Inggris atau asing ke dalam bahasa Indonesia. Karena itu, bahasa-bahasa daerah tidak sekedar dilestarikan atau dipertahankan, tetapi harus dikondisikan agar dapat berfungsi secara maksimal.
6.    Gejala Ketercerabutan akan Kebanggaan dari Kebudayaan Asli
Seni tradisional kecapi, sinrili, yang dipentaskan pada acara-acara seperti pernikahan dan upacara lainnya disertai dengan lagu-lagu yang mengandung nasihat dan perjuangan telah berangsur-angsur digantikan dengan musik dari luar. Seni bela diri seperti pencak silat mulai ditinggalkan dan digantikan oleh seni bela diri dari luar seperti taekwondo, karate, kungfu, dsb. Di Makassar ada kata asing yang digunakan seperti Emergency, Islamic Centre, Racing Centre, di Jakarta, nama-nama perumahan, tempat-tempat umum didominasi oleh nama-nama yang berbau asing, seperti The Plasa Semanggi, Ocean Palace, Cibubur Juction, Proyek Rest Area, BusWay, WaterWay. Hal ini menunjukkan bahwa kebanggaan terhadap bahasa dan budaya sendiri telah tercerabut dari habitatnya.
7.    Gejala Ketertindasan Budaya Lokal
Di banyak daerah, nama-nama tempat umum yang memiliki nilai sejarah diganti dengan nama-nama populer dengan alasan nasionalisme. Contoh, ”Jalan Nanakeng” diganti dengan nama bahasa Indonesia ”Jalan Cempeda”. Nama-nama tempat umum seperti gedung-gedung pemerintah telah banyak diberi nama-nama orang luar atas nama nasionalisme. Contoh, nama rumah sakit kebanggaan masyarakat Sulawesi Selatan sama sekali tidak menggambarkan nilai-nilai budaya lokal. Nama-nama daerah para transmigran menggunakan nama daerah asal para transmigran, seperti Wonomulyo di Sulawesi Barat. Tentunya hal ini merupakan gambaran tertindasnya budaya lokal.

8.    Gejala Menuju Kepunahan
Adanya gejala kepunahan bahasa-bahasa daerah Sulawesi Selatan ditandai dengan berkurangnya pajanan (exposure) bahasa daerah, baik di rumah tangga, di sekolah maupun di lingkungan masyarakat. Di banyak rumah tangga, bahasa keluarga telah didominasi oleh bahasa Indonesia. Jurusan bahasa Bugis-Makassar Universitas Negeri Makassar sudah ditutup karena tidak adanya pengangkatan guru bahasa daerah. Jurusan Sastra Daerah di Universitas Hasanuddin mulai mengalami penyusutan jumlah mahasiswa. Di samping itu, ditengarai berkurangnya penutur bahasa-bahasa daerah Sulawesi Selatan karena serangan bahasa Indonesia dan bahasa asing lain, seperti bahasa Inggris yang mengglobal saat ini.
B.       Model Perkembangan Bahasa-Bahasa Daerah Sulawesi Selatan
Sebelum masa negara persatuan Republik Indonensia, bahasa daerah menduduki posisi penting pada tiap-tiap daerah sebagai alat komunikasi dalam berbagai aspek kehidupan suku bangsa yang bersangkutan. Namun, seiring dengan diterimanya bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi negara Republik Indonesia, bahasa daerah mengalami stagnasi dalam perkembangannya karena para penutur bahasa-bahasa daerah tanpa menyadari mulai meninggalkan bahasa daerahnya sebagai alat komunikasi sehari-hari, khususnya di ibu kota provinsi, kota, dan kabupaten. Selanjutnya, serangan bahasa asing yang melanda dunia global semakin menyingkirkan bahasa daerah dalam pentas nasional. Menyadari hal tersebut, diadakanlah kongres bahasa daerah yang dimulai dari kongres bahasa Jawa, kongres bahasa Sunda dan pada saat ini adalah kongres bahasa-bahasa Sulawesi Selatan. Hal tersebut dimaksudkan untuk menghambat laju kepunahan bahasa-bahasa daerah di Indonesia. Pada dasarnya ada 5 model perjalanan ke depan bahasa-bahasa daerah Sulawesi Selatan, yaitu model 1 adalah model ”pembiaran”, model 2 adalah ”pelestarian”, model 3, 4, dan 5 adalah model ”pemerkembangan”. Model pembiaran adalah membiarkan perjalanan bahasa daerah ke depan apa adanya, sebagaimana tergambar pada grafik hipotetik (kurva 1 gambar 2). Kurva itu menunjukkan bahwa jumlah penutur bahasa daerah semakin hari semakin berkurang. Ini berarti bahwa jika penurunan eksistensi bahasa daerah dibiarkan tanpa intervensi, maka secara alami bahasa daerah akan diakhiri dengan kepunahan. Untuk melestarikan bahasa-bahasa daerah di Sulawesi Selatan (sesuai dengan makna lestari yang telah dijelaskan di atas), maka gambarannya sama dengan kurva 2 gambar 2. Namun, jika paradigma ini digunakan, maka kondisi bahasa daerah ke depan sama dengan keadaannya sekarang.
Kondisinya telah mengalami penyusutan-penyusutan dalam perjalanannya selama 61 tahun Indonesia merdeka. Posisinya sangat terancam karena dahsyatnya arus globalisasi yang dapat merambah sampai ke seluruh sendi-sendi peradaban masyarakat di daerah. Pemerkembangan bahasa daerah dapat ditempuh melalui 3 paradigma peta kinerja, yaitu peta kinerja yang ditunjukkan pada kurva 3, kurva 4, dan kurva 5 pada gambar 2. Peta kinerja pada kurva 3 menunjukkan bahwa pemerkembangan bahasa daerah ditempuh melalui tindakan secara pelan-pelan yang semakin lama semakin intensif, tetapi ketercapaian tujuannya lebih lambat daripada kurva 4. Pada paradigma peta kinerja kurva 4, pemerkembangan bahasa daerah lebih bersifat monoton, tetapi pencapaian tujuan lebih cepat daripada paradigma kurva 3 karena keintesifannya sedikit lebih tinggi. Paradigma peta kinerja pada kurva 5 menunjukkan pemerkembangan  bahasa-bahasa daerah yang lebih intensif sejak dari awal tindakan, tetapi memerlukan usaha maksimal dan biaya yang lebih besar. Paradigma peta kinerja ini merupakan paradigma unggulan untuk memperkembangkan bahasa-bahasa daerah secara maksimal dan diharapkan capaian kemajuannya sama dengan kondisi sebelum tahun 1945.

Text Box: Jumlah penutur ( % ) 



Berdasarkan pilihan paradigma yang akan diambil pada gambar 2, model pemerkembangan pada gambar 3 dapat dijadikan sebagai model yang bersifat implementatif.
C.    Alternatif Tindakan atau kegiatan-kegiatan yang dapat membantu tercapainya perkembangan bahasa daerah.
Berdasarkan masukan dari hasil evaluasi, secara garis besar tindakan dan pengondisian dapat ditempuh melalui 4 cara, yaitu:
1.      Peraturan daerah
2.      Kebijakan
3.      Sarana dan Prasarana
4.      Kegiatan-kegiatan
1.    Peraturan Daerah
Peraturan yang dimaksudkan adalah penerbitan  PERDA sesuai dengan kondisi yang diharapkan. Misalnya, di jenjang pendidikan sekolah Bahasa daerah dijadikan muatan lokal dalam kurikulum pendidikan dasar dan menengah.
2.    Kebijakan
Penjabaran PERDA berupa langkah-langkah yang bersifat teknis. Misalnya, penetapan rencana pembangunan jangka menengah yang lebih rinci mengenai pemerkembangan bahasa-bahasa daerah.
3.    Sarana/Prasarana
Pengadaan sarana/prasana sesuai dengan kebutuhan seperti:
1)      Pengembangan Program Studi Sastra daerah yang didanai oleh PEMDA.
2)      Pembentukan Pusat Studi Bahasa dan Kebudayaan Sulawesi-Selatan.
3)      Pembentukan lembaga ”Kalang Budaya” yang berfungsi sebagai think-tank pemerintah daerah dalam bidang kebudayaan.
4)      Pengadaan rubrik koran/majalah berbahasa daerah.
5)      Website (situs) berbahasa daerah.
6)      Pembentukan Lembaga Swadaya Masyarakat dalam bidang bahasa dan kebudayaan Sulawesi Selatan.
7)      Dll...
4.    Kegiatan-kegiatan
a.    Akademik
1)        Pembelajaran bahasa-bahasa dan kebudayaan daerah.
2)        Penelitian dan pengabdian pada masyarakat.
3)        Pengembangan Kamus bahasa-bahasa daerah.
4)        Dll..
b.   Non-formal
1)        Lomba pidato, baca puisi, prosa, MC, dsb. dalam bahasa daerah
2)        Lomba penulisan prosa, puisi dalam aksara lontara
3)        Penggunaan dwi-bahasa nama-nama jalan, tempat umum, seperti gedung pemerintah, swalayan, pasar, sekolah, tempat hiburan, rumah sakit, dan sejenisnya.
4)        Penulisan karya sastra yang bernuansa budaya Sulawesi Selatan.
5)        Mengangkat kepermukaan budaya Sulawesi Selatan ke dalam film-film laga.
6)        Pengadaan acara berbahasa daerah melalui radio dan televisi.
7)        Penggubahan lagu-lagu berbahasa daerah dan musik trandisional, tari-tarian dan seni tradisional lainnya.
8)        Penggunaan bahasa daerah dalam pidato-pidato (formal dan informal), komunikasi verbal pada acara-acara resmi dan tidak resmi (pernikahan, rapat, ulang tahun, dsb.)
9)        Lomba musik tradisional, seperti kecapi, sinrilik, dsb.

c.    Informal

Pemerkembangan bahasa daerah yang bersifat informal dilakukan dalam lingkungan keluarga sebagai bahasa rumah tangga. Penanaman kecintaan terhadap bahasa dan kebudayaan daerah dapat dilakukan melalui ceritera rakyat yang dikemas sedemikian rupa sehingga bisa lebih menarik, seperti dikemas dalam bentuk buku ceritera bergambar, komik, CD. Banyak ceritera rakyat Sulwesi Selatan yang dapat membangun semangat berprestasi bagi generasi mendatang. McClelland, seorang psikolog Amerika dari Harvard University menunjukkan bahwa bangsa maju didominasi oleh genarasi produktif yang di masa kecilnya banyak membaca ceritera perjuangan.

BAB III
PENUTUP
A.      Kesimpulan
1.         Adanya gejala kepunahan bahasa-bahasa daerah Sulawesi Selatan ditandai dengan berkurangnya pajanan (exposure) bahasa daerah, baik di rumah tangga, di sekolah maupun di lingkungan masyarakat.
2.         Alternatif Tindakan atau kegiatan-kegiatan yang dapat membantu tercapainya perkembangan bahasa daerah dapat ditempuh melalui 4 cara, yaitu:
-            Peraturan daerah
-            Kebijakan
-            Sarana dan Prasarana
-            Kegiatan-kegiatan
B.       Saran
Seiring dengan dahsyatnya serangan globalisasi terhadap bahasa-bahasa daerah,  yang memungkinkan terancamkan keberadaan bahasa-bahasa daerah Sulawesi Selatan, diperlukan  usaha-usaha maksimal. Usaha-usaha maksimal itu tidak hanya diarahkan pada pelestarian bahasa-bahasa daerah, tetapi lebih jauh dari itu, yaitu membuat bahasa daerah lebih diperkembangkan. Dengan kata lain, diperlukan penciptaan kondisi-kondisi untuk membuat bahasa daerah berkembang guna mengembalikan eksistensi bahasa daerah.



DAFTAR PUSTAKA

Departemen Pendidikan Nasional. ( 2003). Kamus Besar Bahasa Indenesia.Jakarta: Balai Pustaka.
Purbo-Hadiwidjojo, M. M. (1999). Kata dan Makna: teman penulis dan penerjemah menemukan kata dan istilah . Bandung: Penerbit ITB, hlm 127.
Said, Mashadi. (1998). Konsep Jati Diri Manusia Bugis dalam Lontara: Sebuah Telaah Falsafi tentang Kebijaksanaan Manusia Bugis. Disertasi Universitas Negeri Malang. Belum diterbitkan.


0 komentar:

Posting Komentar